SELAMAT DATANG DI HUNIAN SASTRA

SELAMAT DATANG DI HUNIAN PECINTA SASTRA INDONESIA

AYO KITA BELAJAR MENGEKSPRESIKAN DIRI DENGAN MENULIS DAN MENULIS!

Kamis, 06 Oktober 2011

Bekisar Merah karya Ahmad Tohari

Bekisar Merah dan B

elantik hasil Ahmad Tohari berkisah tentang hiruk pikuk kehidupan para tokoh yang hidup di desa kecil Karangsoga, yang kebanyakan penduduknya bekerja sebagai penderes nira kelapa untuk dibuat gula merah kemudian dijual. Terdapat juga sisi lain dari novel tersebut yaitu tentang perdagangan selain gula merah.

Perdagangan tak hanya berlaku untuk barang-barang tertentu, seperti kebutuhan sandang dan pangan. Dalam Bekisar Merah dan Belantik, Ahmad Tohari mengisahkan perdagangan terselubung atas diri anak manusia. Lasi, perawan desa yang mempunyai kelebihan bentuk tubuh dan wajah yang indah, menjadi “barang dagangan baru” yang langka dan sangat berharga bagi ibu Koneng, yang lalu diserahkan ke Ibu Lanting, mucikari tingkat tinggi yang melayani para pejabat, dengan imbalan batu mulia dan kepingan rupiah.

Para pejabat selalu mencari bekisar merah untuk hiasan rumah megah mereka, Bekisar adalah peranakan ayam hutan dan ayam kampung yang mempunyai keindahan bentuk, bulu, dan kokoknya. Lasi sebagai symbol bekisar merah, karena lahir akibat percampuran antara Karangsoga dan Jepang.

Karya-karya Ahmad Tohari identik dengan rasa sakit, keluhan, jeritan seorang wanita. Wanita dijajah dan dihianati. Lasiyah tokoh yang teraniaya, kesetiaan telah diberikan sepenuhkan pada Darsa suaminya yang pertama, ketika Darsa jatuh dari pohon kelapa hingga, bertahun tubuhnya tak berdaya. Lasi dengan penuh kasih mengobati serta merawat Darsa, namun ketika Darsa sembuh, ia berhianat dengan menghamili Sipah.

Akhirnya Lasiyah kabur dan akhirnya Lasi dijadikan barang dagangan, tanpa disadarinya Lasi terjerat pernikahan yang hanya membuat dia dipenjara. Pak Handarbeni menikahi Lasi hanya untuk dijadikan hiasan semata, tak ubahnya seperti bekisar merah. Semua kebutuhan materi tercukupi namun Han tidak bisa memberinakah batin Lasi, karena Han menderita ‘lemah pucuk’. Yang teramat menyakitkan, kala Han member kebebasan Lasi untuk memilih teman laki-laki untuk menyalurkan nafsunya, asal Lasi tetap tutup mulut dan tetap mau menjadi bekisar diistana handarbeni. Tak cukup penderitaan itu, Lasi direbut Bambung. Dan dengan sengaja Handarbeni menyerahkannya, tak ubahanya menyerahkan binatang peliharaan.

Tokoh Lasi tampak begitu lugu, mengikuti aliran air tidak berpikir untuk melawan arus. Tokoh perempuan Ahmad Tohari benar-benar dibuat lemah tidak mampu melawan. Pergulan emosi pembaca dituntun sampai pada akhir cerita, Kanjat berhasil menolong Lasi, menyatukan cinta yang selama ini terpisah. namun sayang akhir cerita sudah bisa tertebak didepan, hingga pembaca tidak mendapat sesuatu yang mengejutkan diparagraf terakhir. Akhir kisah yang identik sama dengan negeri dongeng. Apa memang karena Negara kita sudah terbiasa dengan “akhir yang bahagia”.

Satrawan yang selalu mendapat inspirasi dari desanya ini, menggambarkan kemiskinan penduduk dengan sangat menyentuh. Pemahaman kondisi sosial masyarakat miskin, yang erat kaitannya dengan struktur perdagangan gula yang tidak pernah adil, digambarkan dengan sangat rinci. Kekuatan lain dari karyanya adalah pemaparan yang sangat nyata tentang alam pedesaan.

Pembaca seolah dibawa ke alam pedesaan hingga dapat merasakan angin sejuk pagi hari yang semilir, menyaksikan burung jalak yang memberi makan anak-anaknya, kelentang-kelentung bunyi pongkor, ataupun gemericik sungai Kalirong yang jernih yang airnya mengalir lewat batu-batu berlumut. Pemahaman tentang masalah sumber daya alam juga sangat dalam, misalnya tentang perusakan hutan tutupan oleh penduduk setempat karena faktor kemiskinan mereka.

karena keakrabannya dengan alam pedesaan, dengan enak novelis kelahiran 13 Juni 1948 ini menggambarkan pergulatan tokoh-tokoh dalam ceritanya, cengkeraman struktur politik negara yang selalu tidak adil bagi rakyat kecil. Bahkan pemaparan tentang kehidupan dalam kemiskinan seseorang, di mana yang ada hanyalah kepasrahan total. ketika listrik mulai masuk Karangsoga, pohon-pohon kelapa penduduk harus ditebang. Akibatnya tetu saja menambah susah para penduduk dalam mata pencaharian.

Karena suara mesin gergaji yang terus meraung-raung, makin banyak orang keluar dan berkerumun menyaksikan penebangan pohon-pohon kelapa itu. Tetapi mereka diam. Wajah mereka adalah gambaran kepasrahan. Atau ketidakberdayaan.

Terlihat saat kanjat ingin membuat perubahan dalam pengolahan nira rupanya penduduk Karangsoga belum dapat menerima perubahan tersebut.
“Dalam penelitian ulang kami menemukan pengolahan nira secara masal dengan cara modern yang kami rencanakan ternyata akan menghadapi banyak kesulitan. Para penyadap tak akan mau menjual nira karena hal semacam itu baru bagi mereka. Para penyadap masih sangat sulit menerima perubahan”

Tidak ada alternatif. Kemarahan karena perlakuan yang tidak adil dalam hidup tidak tahu harus ditumpahkan kepada siapa. Kepekaan Tohari dengan kehidupan masyarakat miskin membuat berhenti sejenak dan merenung. Membuat kita berpikir dan merasakan, betapa ada jenis kehidupan lain yang berbeda dengan jenis kehidupan kita. Betapa masih ada tempat dengan keadaan yang masih asing. Namun, sesuatu yang asing tersebut mampu menumbuhkan nurani yang sudah terbiasa oleh kenikmatan materi dalam hidup sehari-hari.

Karya yang cocok untuk dibaca bagi seorang yang masih hidup dalam kekeringan aroma pedesaan, dan jauh dari kesejukan alam. Cocok pula untuk seorang yang masih belum berpengalaman menjelajahi ibu kota, agar lebih bisa membaca keadaan. Harus pandai memanfaatkan keadaan sebelum dimanfaatkan. Karena terkadang ibu kota lebih kejam dari pada ibu tiri.

Tidak ada komentar: