SELAMAT DATANG DI HUNIAN SASTRA

SELAMAT DATANG DI HUNIAN PECINTA SASTRA INDONESIA

AYO KITA BELAJAR MENGEKSPRESIKAN DIRI DENGAN MENULIS DAN MENULIS!

Sabtu, 29 Januari 2011

Kelembutan Sengsara

Badanku terasa begitu berat, enggan rasanya meninggalkan tempat. Walau begitu aku harus tetap memaksakan tubuh ini, tak boleh aku kalah dengan rasa capek, diluar pekerjaanku menanti, kuliahku pun tak lupa aku pikirkan. Aku terlahir dikeluarga yang sederhana tapi aku tak ingin cita-citaku untuk mengenyam pendidikan diperguruan tinggi hanya karena tiada biaya, maka aku selalu berusaha untuk mendapat beasiswa dan bekerja paruh waktu.

Aku masuk perguruan negeri yang berdasar agama ternama di Jawa Timur, biayanya memang tak semahal yang kubayangkan. Namun dengan kondisi seperti ini aku tetap merasa berat.

”Kamu kenapa melamun Rifa?”
“Aku capek sekali Lin, tapi sudah waktunya kerja.”
“Tetap semangat! Mana Rifa yang biasanya?”
“Benar juga aku harus semangat.”

Aku bergegas mandi dan bersiap untuk bekerja, hari minggu aku bekerja sampai pukul sembilan malam, aku menjadi kasir di restoran sebuah mall, aku bersama Lina sama-sama berjuang dari kota tahu campur. Bisa dikatakan aku lebih beruntung dari Lina, Lina benar-benar tidak mampu dan entah ketika pengajuan beasiswa Lina selalu gagal mendapatkan.

Walau dikampus aku tidak begitu berprestasi kebetulan keberuntungan selalu berpihak padaku, dan yang lebih mempermudahku mendapatkan beasiswa mungkin karena aku dekat Pak Mustaqim, beliaulah yang menentukan mahasiswa penerima beasiswa. Pak Mustaqim Dekan di fakultasku sekaligus memegang mata kuliah bahasa Indonesia.

Akhirnya aku sampai ditempat kerja, rasanya begitu lain hari ini. Waktu bergulir begitu lama, detak jarum jam sangat lambat tamu demi tamu kami melayani sepenuh hati, rasa lelah tak menjadi alasan kita para karyawan untuk tidak tersenyum pada para pengunjung. Akhirnya jarum jam tepat menunjukkan pukul 21.00. Pulang.
Angin malam menusuk kulitku dalam perjalanan pulang, Lina dijemput Rudi kekasihnya sedang aku naik angkot sendirian, dingin sekali malam ini. Ponselku berdering tertera nama Pak Mustaqim memanggil.
“Assalamualaikum, ada apa pak?”
“Waalaikumsalam. Kamu dimana Rif?”
“Pulang kerja pak, masih dijalan.”
“Rifa naik angkot? Saya kan sudah bilang jangan naik angkot malam-malam begini, Rifa bisa minta tolong saya untuk menjemput Rifa.”
“Tidak apa-apa pak, saya sudah biasa seperti ini, saya juga tidak ingin merepotkan bapak, saya sebentar lagi sampai.”
“Ya sudah hati-hati tapi lain kali jangan diulangi lagi.”
Pak Mustaqim mematikan teleponnya, aku seperti menemukan ayah ketika bertemu dengan beliau, setelah lama bapak dan ibuku bercerai. Ya ibuku bercerai dengan bapak waktu aku masih duduk disekolah dasar, bapak menikah lagi begitu pula ibu dan aku sekarang tinggal dengan bapak tiri dengan adik dari pernikahan ibu dan bapak tiriku, tapi aku sangat menyayanginya tak pernah terlintas dibenakku kalau Dewi saudara lain bapak.

Meskipun bapak tiriku tak banyak bicara denganku tapi beliau baik, terbukti beliau membiayai sekolahku sampai aku kuliahpun beliau mendukungnya. Turun dari angkot aku masih harus berjalan memasuki gang kosku, lega rasanya bisa sampai. Lina sudah lebih dulu sampai. Aku mandi dan kuteruskan sholat, setelah itu kurebahkan diriku, esok hari telah menunggu dengan segala tantangannya.

Pagi ini aku kekampus seusai mengikuti mata kuliah aku dipanggil Pak Mustaqim keruang dekan.
“Rif, ini namamu sudah terdaftar sebagai penerima beasiswa.”
“Ya pak, terimakasih bapak sudah membantu saya.”
“Sekarang saya mau minta bantuan kamu.”
“Apa yang bisa saya bantu pak?”
“Saya ingin kamu jadi istri kedua saya.”
Kata-kata yang membuatku terkejut luar biasa dan tak pernah kubayangkan kata-kata itu terucap dari bibir pak Mustaqim yang telah kuanggap sebagai bapak, lidahku kelu tak mampu berucap namun aku berusaha keras mengeluarkan suara karena aku tak mau diam, sebagian orang mengatakan diamnya wanita dianggap “ya”.
“Maaf pak, bisa saya membantu bapak dalam hal lain, kalau hal ini maaf saya tidak bisa.” Jawabku tertunduk
“Bagaimana kalau nama kamu, saya coret dari daftar ini.”
“Itu hak bapak, saya terima mungkin masih ada yang lebih membutuhkan dari saya.”
“Baik kamu saya beri waktu untuk berpikir, atau dengan cara lain?” wajah pak Mustaqim mendekat kewajahku dan aku menghindar. Tiba-tiba datang dosen yang lain sepertinya usianya lebih muda dari pak Mustaqim.
“Pak Harun, bagaimana kalau dia ini jadi istri kedua saya?”
“Kenapa tidak pak, sudah cocok.”
“Dia ini anak orang tidak punya pak Harun, untuk biaya kuliah selain beasiswa dia bekerja direstoran dengan pakaian terbuka pak, hingga para tamu leluasa untuk mempermainkannya, itu kan citra tidak baik buat kampus kita, makanya lebih baik jadi istri saya.”
Aku sangat merasa terhina, kenapa semua jadi seperti ini. Aku berusaha membantah kata-kata pak Mustaqim.
“Maaf pak, memang saya miskin tapi tidak benar bapak mengatakan saya bekerja dengan pakaian terbuka. Pak Mustaqim bisa datang ketempat kerja saya.” Aku tetap berusaha dengan nada rendah, walau saat ini hatiku membara.
“O... baguslah kalau kau tetap mempertahankan jilbab kamu. Ya sudah kamu boleh pergi nanti saya kabari lagi.”
“Terimakasih pak, saya permisi. Assalamualaikum!”
“Waalaikumsalam.”
Aku melangkahkan kaki dengan cepat, hatiku terluka aku serasa ditelanjangi didepan umum. Anganku kembali kemasa dimana kebaikan-kebaikan pak Mustaqim telah diberikan namun aku tak menyangka akan seperti ini. Apa memang seperti ini kehidupan di ibu kota.

Hari berganti aku berusaha melupakan peristiwa yang terjadi, dengan menyibukkan diriku dengan pekerjaan dan tugas-tugas kuliahku. Aku tetap bertemu pak Mustaqim dikelas namun sifatnya begitu berbeda, pak Mustaqim merupan satu-satunya dosen yang killer tak begitu pantas untuk membawakan bahasa Indonesia. Beliau sepertinya tak lagi menghiraukan saya.
“Rif sepertinya kamu tak begitu dekat lagi dengan pak Mustaqim?”
“Sepertinya begitu Lin.”
“Kenapa? Aku senang melihat kamu menemukan kasih ayah dari beliau.”
“Beliau sedang sibuk. Ya sudah aku berangkat dulu sampai ketemu ditempat kerja.”
Aku tak pernah menceritakan pada siapapun tentang apa yang aku alami, aku malu walau sebenarnya aku butuh sekali seseorang untuk membantuku mencari jalan keluar atau hanya sekedar untuk berbagi rasa. Aku belum menemukan orangnya dan aku juga belum berani untuk bercerita.

Waktu istirahat tiba di layar ponselku tertera beberapa pesan, ada juga pesan dari pak Mustaqim.
“Nanti pulang kerja pukul berapa”
“Pukul 21.00 ada yang bisa saya bantu pak?”
“Bisa nanti kita bertemu setelah kamu pulang kerja?”
“Maaf pak nanti saya tidak dapat pintu kos.”
“Kamu pulang besok pagi saja.”
“Nanti saya bermalam dimana?”
“Nanti kita sewa kamar diluar, saya mahon dibantu!”
“Apa yang bisa saya bantu?”
“Saya sering pusing jika hajat saya tersalurkan, saya tidak minta sampai punyaku masuk”
Pesan terakhirnya membuatku lemas ambuk seketika mbak Ria memandangku lalu menghampiriku,
“Kamu kenapa Rif?” tanya mbak Ria, aku hanya diam sambil menangis ku ulurkan ponselku pada mbak Ria, seperti sudah mengerti bahasaku mbak Rifa membaca semua pesan dari pak Mustaqim. Mbak Ria memelukku erat sambil menenangkanku. Aku meminta mbak Ria untuk membalas pesan pak Mustaqim, rasa-rasanya tanganku telah lemas.
“Bapak bisa minta tolong dalam hal lain tapi maaf untuk ini saya tidak bisa, saya takut Allah pak, disebagian ayatnya di katakan janganlah kamu mendekati zina.”
“Dalam ayat tersebut mendekati belum dihukumi, kamu kan Cuma membantu saya.”
Kami berdua tercengang begitu tidak pantasnya seorang yang mengerti agama berucap demikian, untuk apa selama ini bernaung dalam lembaga agama hanya untuk berkedok dan untuk mencari celah ayat suci. Aku sudah tak berani melanjutkan pesan. Pak Mustaqim berkali-kali telepon tapi tak kuhiraukan, Mbak Ria menyuruhku hati-hati takut kalau tiba-tiba Pak Mustaqim menghadangku dijalan.

Kakiku enggan melangkah kekampus, tempat yang dulu sering kurindukan kini menjadi sesuatu yang menakutkan, aku takut bertemu pak Mustaqim. Dengan lesu aku paksakan untuk kekampus. Ketika kuliah usai aku bersemangat meninggalkan tempat yang kini seram kurasakan.
“Rifa, mau pulang?” Tiba-tiba pak Mustaqim tepat didepanku
“Ya pak.” Jawabku singkat tetap dengan nada sopan
“Kenapa telepon saya tidak diangkat? Kamu tidak usah takut kamu hanya membantu saya dan ayat itu belum dihukumi. Pokoknya kapanpun saya masih penasaran sama kamu tetap saya minta kamu untuk membantu saya. Beasiswa kamu sudah keluar.” Jelasnya panjang lebar, aku hanya mematung.

Aku perprasangka kalau bukan aku mahasiswa pertama yang mendapatkan perlakuan seperti ini, entahlah kini hari-hari selalu dihantui kata-kata pak Mustaqim aku takut jika suatu saat iman ini goyah, Ya Allah hanya pada-Mu aku menyerahkan segalanya. Tiap hari aku tetap bertemu pak Mustaqim dikampus wajahnya kian hari ku lihat semakin menyeramkan, begitu jauh saat aku mengenalnya beberapa bulan yang lalu. Dan aku semakin dicekik rasa takut.

2 komentar:

Rozi Kembara mengatakan...

cerpen yang menarik ..

Titin Ilfam Mulia mengatakan...

Terimaksih telah berkunjung ke hunian pecinta sasta.
Titin