SELAMAT DATANG DI HUNIAN SASTRA

SELAMAT DATANG DI HUNIAN PECINTA SASTRA INDONESIA

AYO KITA BELAJAR MENGEKSPRESIKAN DIRI DENGAN MENULIS DAN MENULIS!

Sabtu, 29 Januari 2011

A.S.M

Pernahkah kau merasakan bayangan seseorang mengikutimu, namanya begitu indah saat kita menyebutnya, berdebar saat mendengar suaranya, selalu terkenang kata-katanya, tak menghapus pesannya yang ada diponsel dan selalu membaca pesan itu berulang-ulang terkadang bisa sampai tiga kali dalam sehari seperti kita minum obat resep dari dokter.

Mungkin semua itu kau pernah merasakan, tapi pasti perasaan untuk sang kekasih, ah pasti beda dengan apa yang kurasakan. Aku juga tak mengerti mengapa bisa merasakan semua ini, karena yang kurasakan ini bukan untuk kekasihku namun hanya untuk orang yang begitu singkat ku kenal, kau tau sejak pertemuan pertama aku dengan dia kita berada dalam suatu forum yang ramai tapi kebetulan jarakku dengannya begitu dekat.

Dari gaya bicaranya dia begitu menyukai keindahan, dia cerdas, tiap kata yang keluar dari bibirnya tersa begitu enak didengar aku melihatnya dengan penuh perhatian, kusimak tiap ucapannya. Kutulis kata-katanya yang menurutku penting, tak jarang aku tersenyum. Tak kuduga saat itu dia melemparkan pertanyaan untukku.
“Saya tidak tahu.” Jawabku singkat
Dia tersenyum sambil berkata,
“Kok dari tadi sampean tidak tahu terus.” Aku hanya tersenyum tak tahu arti senyumku, senyum malu atau bahagia dia mengomentariku. Waktu berjalan jadwal kita bertemu sekali dalam seminggu pada hari rabu di forum yang sama tentu dengan banyak orang pula, aku berpikir dia tak mungkin mengingatku. Aku tak peduli, itu biasa dan aku yang akan mengingat dia, karena sebelum bertemu kita tak ada perjanjian jika nanti setelah kita bertemu dia harus mengingatku.

Saat itu pulang dari pertemuan aku mulai mengingat kata-katanya, pertemuan kita membahas tentang Tuhan itu memancarkan keindahan melalui firman-Nya yang diberikan pada manusia dimana manusia dibekali dengan cipta, karsa dan rasa.
Ada pula kata-katanya yang menyinggung tentang cinta dan perasaan, kata dia untuk mencintai kita tak mengunakan logika melainkan perasaan. Sepertinya terbalik sekali dengan apa yang kurasakan, kau kan tahu aku begitu mengedepankan logika dan membuang perasaan. Tapi semenjak kata-kata itu kudengar aku mulai memikirkannya.

Ya, kau tahu kan kalau aku orang yang tidak begitu mengerti tentang apa itu cinta, aneh sekali sejak dia yang berkata aku mulai mengenal apa itu kata cinta yang untuk mencintai aku harus mengunakan perasaan bukan logika. Hampir dua tahun aku menjalin hubungan dengan seseorang namun aku belum mengerti apa itu cinta.

Sebelum bertemu dengan dia, nama dia pernah ku temukan dalam buku Sejarah Sastra Indonesia juga dibuku koleksi perpustakaan sekolah Aliyah dulu. Entahlah aku merindukan pertemuan berikutnya, malang sekali malam rabu berikutnya hujan turun begitu lebat hingga membanjiri jalan-jalan di ibu kota hingga dia tak dapat hadir dalam pertemuan bersamaan jatuhnya air ke bumi airmataku pun jatuh. Biarlah kesempatan ini kubuat untuk lebih fokus mengerti hal yang belum kuketahui, akan kutanyakan nanti ketika pertemuan aku ingin berdialog dengannya tapi aku tak tahu caranya bagaiman, ya dengan bertanya kita akan berdialog.

Hari begitu lama, pertemuan demi pertemuan dengan orang-orang lain tak dapat mengantikannya, kau ingat saat aku begitu sibuk membuat pertanyaan, saat itu aku bersiap bertemu dengan dia sang penulis tentang kehidupan. Tapi sayang dia selalu datang terlambat dan selalu mengakhiri pertemuan sebelum sampai waktunya. Aku berusaha keras membuat pertanyaan untuk dia agar dia tak beranjak pulang tapi ada kalanya aku kehabisan kata-kata tanya untuk dia dan tiap pertanyaanku sudah di jawabnya dengan terampil.

Dia kini mulai mengenalku entah mungkin hanya sekedar mengenalku bukan untuk mengingatku, aku mulai menceritakan mulai menceritakan sesuatu pada dia, entah apa itu.

Kau juga tahu aku orangnya sangat tertutup bahkan dengan saudaraku sendiri aku enggan untuk bercerita apalagi dengan kekasihku aku tak pernah bercerita, tapi aneh aku mulai membuka cerita-cerita padanya. Saat ini aku merasa lebih akrab dengan dia, apa dia beraggapan sama? Aku tak tahu, aku tak pernah menyangkanya menurutku dia orang besar dan aku merasa kerdil dihadapan dia. Namun kutahu dia rendah hati walau terkadang dia membanggakan dirinya itu wajar karena memang patut dibanggakan.

Aku menulis sebuah pesan pada dia. Ketika pesan balasan dia masuk dalam ponselku tak pernah aku menghapusnya, sampai akhirnya ponselku hilang dan tentu pesan-pesan dia ikut hilang. Ah biarlah ponsel itu hilang namun pesan-pesannya masih tersimpan rapi dibenakku, sekecil apapun hal itu aku selalu menganggapnya istimewa.

Kau masih ingat saat kekasihku telepon dan aku menangis, kau pasti mengira aku menangis gara-gara bertengkar. Tidak aku menangis karena dia tak hadir dalam pertemuan karena harus dinas keluar kota, kekasihku pun binggung mendengar aku menangis sesenggukan.
“Kenapa menangis?” tanyanya diujung sana
“Ya, hari ini tidak ada pertemuan dengan dia. Aku benci ketidak hadirannya.”
“Karena dia atau materi yang akan disampaikannya?”
“Pertama karena aku sangat mencintai materinya, kedua karena aku mengagumi dia tentunya. Dan aku benci untuk menunggu hari berikutnya.”
Tak dapat kulihat ekspresi kekasihku diujung sana, dia berusaha menghibur agar aku berhenti menangis, namun ketika ponsel kututup tangisku makin menjadi dan begitu menyesakkan dada. Aku tak pernah mengalami renjana seperti ini pada kekasihku, kau tahu sendiri bagaimana aku tidak begitu peduli dengan itu perasaan.

Tak jarang aku duduk diberanda hanya untuk mendengar dia mengisi pertemuan yang lain, aku mencuri dengar. Ya, aku ingin mencuri. Banyak yang aku dapatkan dari mencuri itu, mungkin dia melihatku mencuri dengar, tapi aku tak perduli.

Dia juga merupakan orang yang telah membuatku bangun dari tidur panjang, ya tidur panjang dari kecintaanku menulis, aku tak menyangka dia sudi membaca karya-karyaku yang tak berharga yang selama ini menjadi koleksi perpustakaan pribadiku. Hampir dua tahun aku tak lagi menulis karena semua yang kutulis tak tahu kemana arahnya tak tahu dimana kurangnya, sesekali aku menulis namun hanya dalam angan. Kini dia mengarahkanku. Saat cerita aku sedang bermasalah dia menyarankan aku untuk menulis pasti lebih mengena.
“Kau sedang mengalami masa subur, kau pasti sedang hamil”
Kurang lebih seperti itu pesan singkatnya yang kuterima, saat itu kau pasti tahu bakso yang kubeli tak kuasa aku memakannya, aku meraba perutku yang lapar, seketika aku duduk lemas dan kukirimkan pesan menanyakan maksudnya mungkin dia salah kirim.
“Tidak. Itu kata yang sering saya gunakan, hamil ide, gagasan, permasalahan.”
Memang aku begitu bodoh, memang dia seperti itu penuh dengan teka-teki tiap ucapannya mengandung makna tersembunyi, kenapa aku tak begitu pintar untuk memahaminya, saat aku menunjukkan pesan itu pada kekasihku nampaknya kekasihku kaget.
“Apa maksudnya? Aku tak pernah menyentuhmu, untuk bertemu saja kita begitu jarang” Tanyanya
“Sabar dibaca pesan yang bawah, aku juga kaget awalnya.”
Senyum kekasihku membias kala membaca penjelasannya, kami tertawa bersamaan.

Hari berganti bulan, masa pertemuan telah sampai pada penghujung perpisahan, rasa ketidak relaan menguasaiku, ingin ku ungkapkan agar dia tahu aku akan sangat kehilangan dia, tapi apa peduli dia tentang aku. Toh tugas dia selesai, tapi bagiku ini baru permulaan aku mulai belajar dari dia. Jika memang ini perpisahan aku belum mengucapkan kata perpisahan untuk dia, aku tidak siap dengan perpisahan yang begitu cepat menjemput.

Aku memohon pada Allah agar mempertemukanku dengan dia lagi dalam pertemuan berikutnya, aku mulai penasaran saat jadwal pertemuan berada ditanganku. Aku tak melihat sebelas huruf yang menunjukkan namanya. Tak dapat kusembunyikan wajah kecewaku dan dadaku terasa begitu sesak. Sepertinya aku akan sulit bertemu dengan dia, nomor ponsel dia kuhapus agar aku tak terlalu memikirka dia. Dalam ponselku dapat dengan mudah kuhapus namun dalam ingatanku nomor itu terus berjajar. Belum sempat aku mengucapkan kata terimakasih dan maaf dia lebih dulu mengirim pesan padaku yang berisi.
“maafkan kalau ada kesalahan saya”
Yang lebih pantas mengucapkan kalimat itu adalah aku, tapi dia memang salah membiarkan aku tak mengucapkan kata perpisahan, aku semakin merindukannya.

Sering kali namanya meluncur dari bibirku,
Pernahkah namaku terlintas dalam benak dia?
Aku hampir selalu mengingat dia,
Adakah dia pernah mengingatku walau sesaat?
Aku begitu bangga mengenalnya,
Banggakah dia mengenalku?

Pada siapa harusnya aku menanyakan semua itu, apa kau bisa membantuku. Ah kau hanya bisa mendengar ceritaku tanpa bisa berkomentar apalagi membantuku menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu. Jangan kau bilang aku harus bertanya langsung pada dia, itu tak mungkin terjadi. Aku begitu menghormati dan menghargai dia, dalam norma kesopanan pasti aku dianggap tidak sopan kalau aku menanyakan semua itu.

Aku akan mencoba mencari jawab dalam tanya dikebisuan malam, dalam kehampaan, dan sepertinya pada perasaanku sendiri aku kan bertanya pasti disana didapat jawaban. Tapi aku terkadang takut jika jawabannya semua tidak. Jika seperti itu biarkan semua dalam angan ku atau biarlah angin membantuku menyampaikan pada dia pasti angin jujur membisikannya.

Kau juga pasti sudah tahu dari dulu aku selalu merasakan kekaguman yang mungkin bisa dibilang berlebihan pada penebar ilmu. Tapi tak separah kekagumanku pada dia.
Kini aku tak lagi bertemu dengan dia, adakah pertemuan lain yang dapat membawaku kembali menemukan senyumnya, tak dapat ku melupakan dia. Sebagai obat kerinduanku Ku pandangi karya-karya dia yang ada di rak buku ku, sepertinya dia menertawakan kerinduanku. Menertawakan kebodohannku.

Perpisahan yang semu tanpa penjelasan. Siapa dia? Dia merupakan orang yang sangat berkesan untukku, ucapan terimakasihku untuk dia tak lagi dapat kuungkapkan, entah itu melalui ucapan atau perbutan. Rasulullah bersabda “Barang siapa tidak berterimakasih kepada manusia, berarti dia juga tidak berterimakasih kepada Allah.” Bagaimana aku berterimakasih pada dia, aku rasa tak pantas jika hanya ucapan “Terimakasih”.

Tak dapat lagi kuceritakan tentang dia, begitu banyak tentang dia yang tak bisa kuungkapkan walau hanya sebatas pertemuan diforum. Dialah orang kedua yang selalu ku idolakan setelah ayah. Ya, dia hampir berdiri sesejajar dengan ayah dalam hatiku. Kenangan yang akan ku simpan rapi dalam angan.

Andai aku berkesempatan bertemu dengan dia sekali lagi, aku akan berkata sesuatu, kau ingin tahu apa yang akan aku katakan pada dia? Tidak, kau tidak perlu tahu. Biarlah itu menjadi rahasiaku dengan Allah. Dan dia orang pertama yang akan mendengarkan kata-kataku.

Dimanapun dia saat ini semoga dia selalu menebarkan ilmunya. Aku merindukan dia, saat ini dan sampai aku dapat berjumpa dengan dia lagi.




Surabaya, Oktober 2010

Kelembutan Sengsara

Badanku terasa begitu berat, enggan rasanya meninggalkan tempat. Walau begitu aku harus tetap memaksakan tubuh ini, tak boleh aku kalah dengan rasa capek, diluar pekerjaanku menanti, kuliahku pun tak lupa aku pikirkan. Aku terlahir dikeluarga yang sederhana tapi aku tak ingin cita-citaku untuk mengenyam pendidikan diperguruan tinggi hanya karena tiada biaya, maka aku selalu berusaha untuk mendapat beasiswa dan bekerja paruh waktu.

Aku masuk perguruan negeri yang berdasar agama ternama di Jawa Timur, biayanya memang tak semahal yang kubayangkan. Namun dengan kondisi seperti ini aku tetap merasa berat.

”Kamu kenapa melamun Rifa?”
“Aku capek sekali Lin, tapi sudah waktunya kerja.”
“Tetap semangat! Mana Rifa yang biasanya?”
“Benar juga aku harus semangat.”

Aku bergegas mandi dan bersiap untuk bekerja, hari minggu aku bekerja sampai pukul sembilan malam, aku menjadi kasir di restoran sebuah mall, aku bersama Lina sama-sama berjuang dari kota tahu campur. Bisa dikatakan aku lebih beruntung dari Lina, Lina benar-benar tidak mampu dan entah ketika pengajuan beasiswa Lina selalu gagal mendapatkan.

Walau dikampus aku tidak begitu berprestasi kebetulan keberuntungan selalu berpihak padaku, dan yang lebih mempermudahku mendapatkan beasiswa mungkin karena aku dekat Pak Mustaqim, beliaulah yang menentukan mahasiswa penerima beasiswa. Pak Mustaqim Dekan di fakultasku sekaligus memegang mata kuliah bahasa Indonesia.

Akhirnya aku sampai ditempat kerja, rasanya begitu lain hari ini. Waktu bergulir begitu lama, detak jarum jam sangat lambat tamu demi tamu kami melayani sepenuh hati, rasa lelah tak menjadi alasan kita para karyawan untuk tidak tersenyum pada para pengunjung. Akhirnya jarum jam tepat menunjukkan pukul 21.00. Pulang.
Angin malam menusuk kulitku dalam perjalanan pulang, Lina dijemput Rudi kekasihnya sedang aku naik angkot sendirian, dingin sekali malam ini. Ponselku berdering tertera nama Pak Mustaqim memanggil.
“Assalamualaikum, ada apa pak?”
“Waalaikumsalam. Kamu dimana Rif?”
“Pulang kerja pak, masih dijalan.”
“Rifa naik angkot? Saya kan sudah bilang jangan naik angkot malam-malam begini, Rifa bisa minta tolong saya untuk menjemput Rifa.”
“Tidak apa-apa pak, saya sudah biasa seperti ini, saya juga tidak ingin merepotkan bapak, saya sebentar lagi sampai.”
“Ya sudah hati-hati tapi lain kali jangan diulangi lagi.”
Pak Mustaqim mematikan teleponnya, aku seperti menemukan ayah ketika bertemu dengan beliau, setelah lama bapak dan ibuku bercerai. Ya ibuku bercerai dengan bapak waktu aku masih duduk disekolah dasar, bapak menikah lagi begitu pula ibu dan aku sekarang tinggal dengan bapak tiri dengan adik dari pernikahan ibu dan bapak tiriku, tapi aku sangat menyayanginya tak pernah terlintas dibenakku kalau Dewi saudara lain bapak.

Meskipun bapak tiriku tak banyak bicara denganku tapi beliau baik, terbukti beliau membiayai sekolahku sampai aku kuliahpun beliau mendukungnya. Turun dari angkot aku masih harus berjalan memasuki gang kosku, lega rasanya bisa sampai. Lina sudah lebih dulu sampai. Aku mandi dan kuteruskan sholat, setelah itu kurebahkan diriku, esok hari telah menunggu dengan segala tantangannya.

Pagi ini aku kekampus seusai mengikuti mata kuliah aku dipanggil Pak Mustaqim keruang dekan.
“Rif, ini namamu sudah terdaftar sebagai penerima beasiswa.”
“Ya pak, terimakasih bapak sudah membantu saya.”
“Sekarang saya mau minta bantuan kamu.”
“Apa yang bisa saya bantu pak?”
“Saya ingin kamu jadi istri kedua saya.”
Kata-kata yang membuatku terkejut luar biasa dan tak pernah kubayangkan kata-kata itu terucap dari bibir pak Mustaqim yang telah kuanggap sebagai bapak, lidahku kelu tak mampu berucap namun aku berusaha keras mengeluarkan suara karena aku tak mau diam, sebagian orang mengatakan diamnya wanita dianggap “ya”.
“Maaf pak, bisa saya membantu bapak dalam hal lain, kalau hal ini maaf saya tidak bisa.” Jawabku tertunduk
“Bagaimana kalau nama kamu, saya coret dari daftar ini.”
“Itu hak bapak, saya terima mungkin masih ada yang lebih membutuhkan dari saya.”
“Baik kamu saya beri waktu untuk berpikir, atau dengan cara lain?” wajah pak Mustaqim mendekat kewajahku dan aku menghindar. Tiba-tiba datang dosen yang lain sepertinya usianya lebih muda dari pak Mustaqim.
“Pak Harun, bagaimana kalau dia ini jadi istri kedua saya?”
“Kenapa tidak pak, sudah cocok.”
“Dia ini anak orang tidak punya pak Harun, untuk biaya kuliah selain beasiswa dia bekerja direstoran dengan pakaian terbuka pak, hingga para tamu leluasa untuk mempermainkannya, itu kan citra tidak baik buat kampus kita, makanya lebih baik jadi istri saya.”
Aku sangat merasa terhina, kenapa semua jadi seperti ini. Aku berusaha membantah kata-kata pak Mustaqim.
“Maaf pak, memang saya miskin tapi tidak benar bapak mengatakan saya bekerja dengan pakaian terbuka. Pak Mustaqim bisa datang ketempat kerja saya.” Aku tetap berusaha dengan nada rendah, walau saat ini hatiku membara.
“O... baguslah kalau kau tetap mempertahankan jilbab kamu. Ya sudah kamu boleh pergi nanti saya kabari lagi.”
“Terimakasih pak, saya permisi. Assalamualaikum!”
“Waalaikumsalam.”
Aku melangkahkan kaki dengan cepat, hatiku terluka aku serasa ditelanjangi didepan umum. Anganku kembali kemasa dimana kebaikan-kebaikan pak Mustaqim telah diberikan namun aku tak menyangka akan seperti ini. Apa memang seperti ini kehidupan di ibu kota.

Hari berganti aku berusaha melupakan peristiwa yang terjadi, dengan menyibukkan diriku dengan pekerjaan dan tugas-tugas kuliahku. Aku tetap bertemu pak Mustaqim dikelas namun sifatnya begitu berbeda, pak Mustaqim merupan satu-satunya dosen yang killer tak begitu pantas untuk membawakan bahasa Indonesia. Beliau sepertinya tak lagi menghiraukan saya.
“Rif sepertinya kamu tak begitu dekat lagi dengan pak Mustaqim?”
“Sepertinya begitu Lin.”
“Kenapa? Aku senang melihat kamu menemukan kasih ayah dari beliau.”
“Beliau sedang sibuk. Ya sudah aku berangkat dulu sampai ketemu ditempat kerja.”
Aku tak pernah menceritakan pada siapapun tentang apa yang aku alami, aku malu walau sebenarnya aku butuh sekali seseorang untuk membantuku mencari jalan keluar atau hanya sekedar untuk berbagi rasa. Aku belum menemukan orangnya dan aku juga belum berani untuk bercerita.

Waktu istirahat tiba di layar ponselku tertera beberapa pesan, ada juga pesan dari pak Mustaqim.
“Nanti pulang kerja pukul berapa”
“Pukul 21.00 ada yang bisa saya bantu pak?”
“Bisa nanti kita bertemu setelah kamu pulang kerja?”
“Maaf pak nanti saya tidak dapat pintu kos.”
“Kamu pulang besok pagi saja.”
“Nanti saya bermalam dimana?”
“Nanti kita sewa kamar diluar, saya mahon dibantu!”
“Apa yang bisa saya bantu?”
“Saya sering pusing jika hajat saya tersalurkan, saya tidak minta sampai punyaku masuk”
Pesan terakhirnya membuatku lemas ambuk seketika mbak Ria memandangku lalu menghampiriku,
“Kamu kenapa Rif?” tanya mbak Ria, aku hanya diam sambil menangis ku ulurkan ponselku pada mbak Ria, seperti sudah mengerti bahasaku mbak Rifa membaca semua pesan dari pak Mustaqim. Mbak Ria memelukku erat sambil menenangkanku. Aku meminta mbak Ria untuk membalas pesan pak Mustaqim, rasa-rasanya tanganku telah lemas.
“Bapak bisa minta tolong dalam hal lain tapi maaf untuk ini saya tidak bisa, saya takut Allah pak, disebagian ayatnya di katakan janganlah kamu mendekati zina.”
“Dalam ayat tersebut mendekati belum dihukumi, kamu kan Cuma membantu saya.”
Kami berdua tercengang begitu tidak pantasnya seorang yang mengerti agama berucap demikian, untuk apa selama ini bernaung dalam lembaga agama hanya untuk berkedok dan untuk mencari celah ayat suci. Aku sudah tak berani melanjutkan pesan. Pak Mustaqim berkali-kali telepon tapi tak kuhiraukan, Mbak Ria menyuruhku hati-hati takut kalau tiba-tiba Pak Mustaqim menghadangku dijalan.

Kakiku enggan melangkah kekampus, tempat yang dulu sering kurindukan kini menjadi sesuatu yang menakutkan, aku takut bertemu pak Mustaqim. Dengan lesu aku paksakan untuk kekampus. Ketika kuliah usai aku bersemangat meninggalkan tempat yang kini seram kurasakan.
“Rifa, mau pulang?” Tiba-tiba pak Mustaqim tepat didepanku
“Ya pak.” Jawabku singkat tetap dengan nada sopan
“Kenapa telepon saya tidak diangkat? Kamu tidak usah takut kamu hanya membantu saya dan ayat itu belum dihukumi. Pokoknya kapanpun saya masih penasaran sama kamu tetap saya minta kamu untuk membantu saya. Beasiswa kamu sudah keluar.” Jelasnya panjang lebar, aku hanya mematung.

Aku perprasangka kalau bukan aku mahasiswa pertama yang mendapatkan perlakuan seperti ini, entahlah kini hari-hari selalu dihantui kata-kata pak Mustaqim aku takut jika suatu saat iman ini goyah, Ya Allah hanya pada-Mu aku menyerahkan segalanya. Tiap hari aku tetap bertemu pak Mustaqim dikampus wajahnya kian hari ku lihat semakin menyeramkan, begitu jauh saat aku mengenalnya beberapa bulan yang lalu. Dan aku semakin dicekik rasa takut.