SELAMAT DATANG DI HUNIAN SASTRA

SELAMAT DATANG DI HUNIAN PECINTA SASTRA INDONESIA

AYO KITA BELAJAR MENGEKSPRESIKAN DIRI DENGAN MENULIS DAN MENULIS!

Minggu, 03 April 2011

Bolehkah Kujual Tubuhku?

Oleh Titin Supriatin
Dimuat di Harian Jawa Pos, Senin, 21 Juni 2010

Ibu kota yang kukira menjanjikan semua impian ternyata hanya sebuah kenyataan pahit yang harus kuhadapi. Aku hanyalah gadis desa yang mencoba mencari keberuntungan,
memperjuangkan nasib, tapi kenapa aku harus akhiri kegadisanku, membuka jilbabku demi sesuap nasi.

Bertahun-tahun aku menghabiskan waktu di lembah hitam ini. Rupiah memang selalu mengalir bagai air turun dari langit tapi entahlah rupiah itu juga mudah
sekali lenyap dari genggaman bagaikan debu tertiup angin, mungkin karena aku mendapatkannya ya dengan cara tidak halal. Pernah terpikir untuk meninggalkan
semua kemewahan semu ini. Tapi, aku tak tahu lagi pekerjaan apa yang dapat aku lakukan kecuali memanfaatkan wajahku ini untuk mendapatkan rupiah dari pria
hidung belang.

”Presti, ada yang cari kamu,” kata Run. ”Siapa sih malam-malam begini, kan udah tahu Selasa aku libur,” jawabku ketus sambil membuka pintu. Kulihat
sepasang mata menatapku dengan melas. ”Maaf Anda siapa?” Dia hanya diam, lalu memelukku erat sambil menangis. Air matanya membasahi baju tidurku. Aku
membalas pelukannya, dia semakin erat memelukku.

Aku mencoba melepaskan pelukannya perlahan, dia menatapku dalam-dalam sehingga membuatku binggung. ”Kamu yang bernama Presti?” tanyanya di dalam isak
tangisnya, aku hanya mengangguk pelan. ”Aku memohon padamu! Tinggalkan suamiku, anak-anak butuh ayahnya.” Aku semakin bingung. ”Siapa suami Mbak?”
Aku tak tahu siapa suaminya, laki-laki yang menghampiriku terlalu banyak, mana mungkin aku menghafalkannya.

”Handoko. Kamu pasti mengenalnya bukan?” Spontan terbayang wajah Handoko yang berhasil mendapatkan hatiku.

”Aku tidak pernah merayu suamimu Mbak, dia yang berjanji menikahiku.”

”Aku tak akan direla dimadu, apalagi dengan seorang penjual tubuh seperti kamu. Aku datang ke sini dengan niat baik Presti.”

”Mbak, aku memang penjual tubuh, tapi aku tak pernah meminta Handoko untuk menikahiku. Aku bisa mendapatkan sepuluh bahkan lebih lelaki seperti Handoko,”
ujarku.

”Aku percaya padamu, tinggalkan dia. Permisi,” kata wanita itu. Dia berlalu meninggalkan kenangan buruk di hatiku. Aku tak pernah ingin merebut suami
orang, tak pernah. Mungkin wanita itu merupakan salah seorang di antara jutaan wanita yang menderita akibat suaminya bersamaku. Begitu banyak dosaku ini,
bagaimana jika aku jadi mereka. Tapi, kenapa aku harus menyesali, toh bukan aku yang merayu mereka. Merekalah yang datang padaku. Malam ini aku tidur dengan
kegelisahan.

***

Kenapa banyak orang di depan rumahku, mereka membawa api, ya api. ”Bakar, bakar! Bakar saja rumah pelacur ini, dia telah merebut ayah anak-anak kita,”
teriak salah seorang di antara mereka. Mereka bermuka merah terbakar amarah. Hampir saja api itu melayang dan membakar rumahku, tapi terdengar suara yang
menghentikannya.

“Kita manusia tak punya hak menghakimi. Allah Maha Menerima taubat dari harnba-Nya.” Tak terlihat siapa yang mengucapkannya, tapi dia berhasil menyelamatkanku
dari kobaran api.

Aku tersadar dari tidurku ketika ponselku berbunyi. Terlihat nama Handoko memanggil dan aku tak menghiraukannya. Aku teringat mimpiku, hampir semua tubuhku
basah oleh keringat dingin, apa arti mimpi itu? Apa memang aku patut dihukum, tubuhku tiba-tiba menggigil kedinginan, rasa ketakutan yang luar biasa menguasaiku.

Terdengar sayup-sayup suara azan subuh. Aku semakin takut setelah sekian lama aku tiada pernah mendengar seruan itu. Hidup di mana aku selama ini hingga
aku tak pernah mendengar azan. Tulikah aku ini?

Suara azan itu tak terdengar lagi, kini naluriku berkata, mengajakku memenuhi panggilan untuk bersujud pada-Nya. Aku membuka lemari dan mencari mukenaku.
Ya Allah, tak dapat aku menemukannya, betapa hinanya aku ini. Aku mengambil dua kain sarung sebagai pengganti mukena.

Betapa sejuknya ketika air wudu membasahi kulitku yang berlumur dosa ini. Kutundukkan hatiku, kuserahkan semua-Nya kepada pemberi nyawaku. Ketika kubangkit
dari sujud, dunia ini tampak gelap, gelap sekali, apa aku buta? Kegelapan itu semakin dekat dan entah sosok apakah yang sedang mendekatiku itu. Aku pasrah
kepada Allah, gelap semakin gelap dan semakin dingin.

Di mana aku ini? Kenapa aku sendirian? Siapa dia? Kenapa dia memberiku pertanyaan-pertanyaan yang tidak aku mengerti? Kenapa tempat ini begitu sempit?
Di mana rumahku yang besar? Di mana lelaki hidung belang yang memujaku? Inikah harga yang harus aku bayar? ***