SELAMAT DATANG DI HUNIAN SASTRA

SELAMAT DATANG DI HUNIAN PECINTA SASTRA INDONESIA

AYO KITA BELAJAR MENGEKSPRESIKAN DIRI DENGAN MENULIS DAN MENULIS!

Kamis, 16 Desember 2010

FENOMENA HOMOSEKSUAL DALAM SASTRA

Realitas homoseksual bukan lagi pembahasan baru dalam masyarakat. Namun tidak sedikit masyarakat yang masih menganggap bahwa homoseksual merupakan hal yang tabu, terlebih pada masyarakat pedesaan yang masih kental dengan etika-etika dan berpegang teguh dengan agama.
Lupakan hal yang tabu, disini kita akan melihat fenomenal homoseksual dalam sastra indonesia, realitas homoseksual baik gay maupun lesbian kini sudah banyak ditulis dalam cerpen maupun novel di Indonesia seperti tampak pada novel Tabularasa oleh Ratih Kumala, Nayla oleh Djenar Maesa Ayu, Aku Seorang Gay oleh Betty W. Kusuma, dan Lelaki yang Terindah oleh Seno Gumira Ajidarma.
Dari ketiga novel dan satu cerpen diatas tampak digambarkan adanya hubungan emosional dan seksual sesama jenis. Dalam novel Tabularasa antara Raras dan Violet, dalam Nayla antara Nayla dan Juli, dalam Aku Seorang Gay antara Rexa dan Glen, dan dalam cerpen Lelaki Yang Terindah antara dua orang lelaki yang oleh Seno tidak disebutkan nama nama tokohnya.
Mari kita mencoba mencermati bagaimana fenomena munculnya homoseksual tersebut dalam sastra, apa memiliki hubungan homoseksual dalam realitas. Berdasarkan pengamatan terhadap sejumlah novel yang tersebut diatas didominasi oleh pengarang perempuan.
Dalam novel Tabularasa hubungan homoseksual antara Raras dengan Violet menyebabkan hubungan cinta Raras dengan Galih berakhir, karena Raras memendam hasrat cinta dengan Violet, teman perempuannya. Keputusan Raras untuk meninggalkan Galih, yang telah menjadi kekasih dan menggimilinya, juga diperkuat oleh keberanian sahabat Raras, seorang Gay yang memutuskan menikahi pasangan gay-nya.
Ketika hubungannya dengan Galih, sebagai seorang perempuan Raras dalam Tabularasa tidak dapat menikmati posisi sebagai subjek, tetapi malah bertindak sebagai seorang pengamat, Raras selalu mengamati apa yang Galih lakukan padanya.
Karena tidak dapat menikmati hubungan seksnya dengan Galih, posisi Raras malah menjadi objek seks Galih terlebih dia harus mengandung anak dari hubungan tersebut. Raras pun tersiksa dan menolak kehamilannya dengan melakukan aborsi.
Dalam novel Nayla, hubungan lesbian antara Nayla dan Juli membuat Nayla lebih bebas mengekspresikan hidupnya, berbeda dengan Raras yang hanya memendam rasa cintanya pada Violet, disini Nayla tidak menutupi hubungannya dengan Juli. Dalam Novel Nayla sangat menonjol teori feminisme radikal yang bertujuan persamaan gender. Dalam novel Aku Seorang Gay karya Betty W. Kusuma ini tidak begitu membela adanya kaum gay, Seno Gumira menulis dalam cerpennya Lelaki yang Terindah yang meceritakan tentang bagaimana pria gay dapat menarik pria normal untuk masuk dalam dunianya.
Dari sekelumit contoh karya sastra tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa kaum homoseksual ingin keberadaannya, mereka ingin mendapatkan kebebasan dalam hidup masyarakat tidak lagi dipandang sebelah mata. Karya sastra memang gambaran dari kehidupan. Karya sastra sebagai karya imajinatif , acuan sastra adalah dunia fiksi dan imajinasi mentransformasikan dunia nyata pada dunia fiksi.
Sastra berfungsi membuat manusia melihat apa yang sehari-hari ada dalam kehidupannya namun tidak begitu diperhatikannya, tapi sastra tidak mewakili kelompok tertentu jika ada sebagian yang merasa terwakili oleh sastra itu hak bagi mereka. Majulah sastra Indonesia.

Rabu, 01 Desember 2010

AMUKAN ALAM

Air yang dulu menjadi sumber penghidupan kini menjadi pemangsa yang menyeramkan, tak peduli apapun yang dilewatinya disapu bersihnya, seakan dia telah muak dengan semua ulah manusia yang sombong. Gemuruh warga desa menyelamatkan diri, ada juga yang sempat membawa harta mereka, bahkan binatang piaraan masih sempat diselamatkan, “Kita harus kemana?” para warga bingung dengan keadaan yang kian memburuk.
“Sementara kita di tanggul* dulu.” Kata pak RT, warga hanya menurut apayang diperintahkan pak RT, sambil menunggu bantuan dari pemerintah warga membuat pengungsian, namun banyak juga warga yang takmau ketanggul dan tetap membuat antru** didalam rumah mereka. Sementara cuara hari tampak selalu redup mentari enggan keluar mendung tebal seakan memayungi penduduk desa.
Cacing-cacing keluar dari sarangnya membentuk sebuah tumpukan yang menjijikan, Siti menaikkan kakinya kekursi karena merasa jijik, “ambillah abu taburkan diatasnya pasti cacingnya mati” kata Yadi ayah Siti, Siti menurut dia mengambil abu dan ditaburkan diatas kruntelan cacing-cacing itu, cacing-cacing mengeliat mungkin abu itu membuatnya perih atau kenapa, perut Siti mual, tak lama cacing-cacing itu hilang entah kemana.
Hari makin senja air semakin naik, kini rumah Yadi yang terlatak di atas tanggul kemasukan air, “Sejak bapak lahir tak pernah rumah ini, kebanjiran.” Ucap Yadi pada anak-anaknya, sementara warga yang membuat antru tidak dapat lagi bertahan air hampir menengelamkan atap rumah, mereka segera mendayung perahu bagi warga yang mampu membeli perahu, banyak yang menggunakan jajaran batang pisang.
Hampir limabelas tahun desa yang terletak di pinggiran anak bengawan Solo ini bebas banjir, wargapun lengah sudah tidak lagi sidia perahu seperti dulu, kini warga kelabakan. Sungguh pemandangan yang membingungkan, sebagian warga tidak tidur terus berjaga ditanggul yang rawan jebol, termasuk Yadi, warga kembali gempar mendengar kabar tanggul desa sebelah jebol, warga panik air terus bertambah.
Malam seakan tak berakhir tetap dengan mendung yang bergayut, semua berharap pagi segera tiba dengan kehangatan sang mentari, suara kodok bersaut-sautan mengucapkan selamat datang banjir, kucing-kucing mengeong tak beraturan saling kerah satu sama lain, perlahan rinai menghiasi malam yang mencekam, semua warga diliputi cemas yang dahsyat, ada ibu-ibu yang menangis, anak-anak tidur dengan pulas seharian mereka bermain air tak mengerti itu musibah.
Senyum sekilas terlihat pada warga karena surya kembali menyapa, air sepertinya makin surut, “Jangan riang dulu, ini hanya sementara air akan naik lagi.” Kata Yadi pada warga, Yadi sepertinya bisa memprediksi kejadian sebelumkejadian, “Rasanya tidak cak Di, pasti banjir ini telah usai lihatlah air dalam hitungan jam saja sudah surut banyak.” Kata Hartono, “Kamu kok mbantah cak Di, cak Di itu pengucapannya selalu benar.” Kata Toha, “Bukan membantah tapi kita lihat saja kenyataannya.” Bantah Hartono, “Sudah, jangan berdebat lihat saja nanti.” Yadi menghentikan perdebatan Hartono dan Toha.
Sebagian warga ada yang kembali melihat kondisi sudah aman, namun sebagian ada yang tetap ditanggul. Bantuan dari pemerintah turun berupa mie instan dan beras, ada juga pakaian bekas, suasana mulai tenang dan aman dan mentari tersenyum.
“Air naik lagi.” Teriak pak RT “Kita harus jaga tanggul jangan sampai jebol.” Pak RT menghimbau, warga semua sigap setiap tangan membawa cangkul, ibu-ibu membuat makanan seadanya. Rebusan singkong, jagung, dan kacang tanah yang dipanen dengan paksa dari pada hilang disapu banjir. Bapak-bapak sibuk membendung tanggul yang sudah hampir tak kuat menahan air, aliran kecil telah tampak melewati tanggul, namun segera dibendung.
Tiba-tiba keluar ular kecil dari lubang air, Marno melihat ular nafsu membunuhnya keluar, “Ada ular.” Teriak Marno, “Jangan dibunuh!” Seru orang-orang hampir bersamaan. Terlambat Marno telah mengayunkan cangkulnya tepat dikepala ular hingga terputus jadi dua. “Kenapa kamu bunuh? Memangnya ular itu mengganggumu?” Tanya Hadi, “Jelas ular mengganggu cak.” Semuanya melihat kearah Marno dan Hadi, “Semoga tidak terjadi apa-apa, sudahlah ayo kita pulang” Seru Yadi yang diikuti pak RT.
Berita pebunuhan ular yang dilakukan Marno dengan cepat mengegerkan warga, terutama kaum wanita dilanda takut yang mencekam, beberapa warga memparcayai kalau ular itu penunngu tanggul, mereka takut kalau ular itu di bunuh tanggul akan jebol, semua menyalahkan Marno tapi apa boleh buat semua telah terjadi. Bulan lagi-lagi tak bersinar menambah kelamnya malam.
Malam yang mencekam dan lama akhirnya berubah menjadi pagi yang cerah, disusul dengan siang yang menyengat. Perbincanagan warga masih seputar ular yang terbunuh, “Nyatanya tidak ada apa-apa, pasti semuanya hanya mitos.” Kata salah satu warga. Sinar surya bagai butiran kristal namun tak indah lagi karena panas dan gerah, sepasang pengantin baru yang baru saja menengok ibunya berjalan pulang, tak lama mereka kembali dan berteriak, “Tanggul jebol,tanggul jebol.” Semua berhamburan,dengan singkat air ditanggul amblas, Siti dan ibunya binggung karena Yadi sedang kedesa sebelah menjenguk anaknya dipengungsian.
Semua berhamburan melihat tanggul yang dengan cepatnya longsor, pohon-pohon tumbang, aneh ditengah air yang dahsyat ada pohon pisang yang tetap tegar berdiri tak goyah sedikitpun, perlahan gumpalan-gumpalan itu melebar kesamping, Siti yang saat itu satu-satunya perempuan yang ikut melihat berteriak histeris, dan berlari.
Rumah-rumah yang didataran rendah hampir tengelam, delapan rumah hanyut tak berbekas, satu rumah ambrol sisa separo, sungguh air sedang mengamuk, air yang sempat mengenangi rumah diatas tanggul sekaligus kering, arus sungai sangat deras, seakan siap menghanyutkan segala yang ada.
Pergantian tahun yang memilukan, tiada terdengar suara sorakan seperti biasanya, sampai malam tiba Yadi kembali, Siti mendengarkan perbincangan ayah dan ibunya, “Tadi sempat kulihat ada keganjilan, ini ada hubungannya dengan kematian ular itu.” Ucap Yadi, “Semua hanya kejadian alam pak, tidak ada yang seperti itu, sungguh masuk akal tanggul jebol karena sudah tidak dapat menahan air.” Jawab Siti, sementara gemuruh suara air yang terus gemerojok terdengar menyeramkan dan membuat tiap warga tak dapat memejamkan mata.
“Ada bantuan makanan.” Kata pak RT, “Tidak usah ambil kita sudah punya makanan biar untuk mereka yang tidak punya.” . Seru Yadi pada anak dan istrinya.
Bantuan baru benar-benar datang jika sudah seperti ini, sebuah tenda pengungsian diletakkan didepan rumah Yadi yang pelatarannya luas, wartawan-wartawan televisi merebut mencari informasi, reporter dengan tangkas mewawancarai salah satu warga termasuk Yadi. Listrik padam, warga desa mengeluh karena tidak dapat mengunakan handphon mereka, terutama pemuda-pemudi. Suasana seperti ini dimanfaatkan oleh desa seberang sungai setiap ikut mengisi batrai handphone mereka dikenakan biaya.
Tahun baru yang memilukan, pemandangan yang ironis warga semakin hari semakin kehabisan bahan pangan, segala yang ada disekitarnya sebisa mungkin dijadikan bahan pangan, sampai benar sudah tidak ada lagi yang dapat dijadikan bahan pangan mereka harus makan mie instan dari bantuan yang ada, sedang alat masak mereka harus dengan kompor dulu yang biasanya warga mengunakan kayu bakar tentu saja merasakan beratnya ekonomi, mata pencaharian tiada, padi-padi yang mulai menguning kini tak ada bekas.
Kondisi memilukan pun masih ada manusia yang gelap mata, mencuri barang-barang yang tergeletak dijalan-jalan tanggul, nasib anak-anak sekolah yang menjelang ujian semesterpun tak karuan, warga benar-benar dilanda kecemasan kalau-kalau semua ini ulah ular yang tidak terima dirinya dibunuh dan akan menghabiskan penduduk desa.
Desa yang dulu rejo*** sekarang sepi sawah yang hijau tak terlihat lagi, semua musnah alam sedang menunjukkan kedahsyatannya pada manusia, entahlah mungkin tanpa disadari manusia-manusia itu menyakiti alam, hingga alam mengamuk, air yang menyegarkan kini menyeramkan dan membinasakan.
Pasrah dan berdoa yang dilakukan penduduk desa bagaimanapun semua harus dilalui sampai dipertengahan bulan januari air sepertinya telah surut, secerca cahaya menyinari hati tiap penduduk, berharap banjir benar-benar berlalu dan mereka dapat memulai kehidupan yang baru.
Harapan mereka terwujud air semakin surut dan hilang bagai ditelan bumi, warga yang sudah rindu dengan rumah mereka segera membersihkan bekas-bekas banjir, sementara beberapa warga yang rumahnya digodol banjir terpaksa masih mengungsi. Keadaan pulih kembali anak-anak berlarian bermain, hanya aroma yang ditinggalkan banjir itutak hilang juga.
Kala semua warga lengah bala tentara air itu siap untuk menyerang kembali, warga pun menjeris kembali.

========================AMUKAN ALAM======================

TUBAN, MARET 2008
* Tanggul : Dataran tinggi di desa
** Antru : Rumah panggung pada saat banjir

JEJAK REMBULAN

Malam ini begitu sepi, sunyi dan gelap. Terasa desir angin terdengar membisikkan bahasa malam yang tak dapat kuberi makna, entahlah mungkin mereka mencemoohku, aku yang dari tadi termenung dibawah langit hitam yang tak kunjung hilang. Angin malam memelukku dengan dinginnya, membuatku bangkit mengumpulkan kayu mungkin dengan api unggun rasa dingin sedikit berkurang, ah tapi api sedang tidak bersahabat dengan kayu, berkali-kali kayu menolak pelukan api apalagi angin membantu memadamkan api kecilku.
Aku terbawa angin malam sampai pada kenangan saat bersama Bulan. Malam seperti ini aku sedang bersamanya menikmati indahnya bintang dan hanggatnya kopi yang disuguhkan untukku, walau terkadang kopi itu pahit namun entah kenapa tetap terasa manis di lidahku, “Gula tidak bagus untuk tubuh kita.” Katanya sambil mengaduk kopi dalam cangkir, aku rindu itu.
Suara hewan malam bagai nyanyian sebuah lagu aku tak tahu pasti lagu apa yang mereka nyanyikan bahagia ataukah nestapa. Kanapa malam begitu lama aku semakin merasa diabaikan oleh alam, nyamuk liar yang tak bersahabat berkali-kali mereka mengusik ketenanganku, kutatap langit hitam tampak satu bintang berkedip manja padaku seolah sedang mengadu kalau dirinya kesepian karena bulan menghilang. Mungkin dia juga tahu akupun sedang ditinggal Bulan dan hidupku jadi sepi dan selalu sepi. Aku lengah sebentar ketika kembali kutatap langit bintang itu telah menghilang, dia pasti mencari bulan.
Hitam pekatnya langit menyembunyikan sinar bulan, pasti sulit untuk mencarinya, aku tersenyum sendiri terkadang jika aku memikirkan tentang bintang dan bulan. Kenapa bulan selalu setia pada bintang yang telah banyak mempunyai pasangan, kenapa bulan masih saja sendiri? Adakah dia tak ingin seperti bintang, kali ini sepertinya bintang merindukan bulan yang tak tampak.
Pohon-pohon saling berbisik lewat daunnya yang rimbun sepertinya tak menyukai kehadiranku disini, mungkin mereka membicarakan tentang keserakahan manusia dan menganggap aku salah satu dari orang-orang seperti itu, aku tak menyalahkan pohon-pohon itu. Biarlah mereka berbisik dan saling berdebat tentang kehaadiranku aku tak peduli.
Kali ini dikejauhan terdengar suara raja hutan, aku ketakutan kusandarkan tubuhku disebatang pohon sepertinya dia menolak kujadikan sandaran dan menertawakan aku atas ketakutanku. Terlintas dalam benakku novel dari Mochtar Lubis yang berjudul Harimau-harimau yang kubaca saat SMA, Ku coba memejamkan mata untuk sedikit menghilangkan rasa lelahku. Aku tak peduli dengan serangan nyamuk-nyamuk nakal, biarlah mereka menikmati segarnya darahku. Aku mulai memasuki lorong gelap yang tak pernah kuketahui.
***
Dilorong yang sunyi Bulan tertawa dengan riangnya, aku mendekatinya dengan meraba jalan yang kulalui aku tak jelas melihat semuanya hanya Bulan yang tampak, matanya yang bersinar dan hitamnya rambut yang mengalahkan pekatnya malam. “Kenapa kau disini?” Tanyaku, “Aku tahu kau takut pada kegelapan dan aku akan menemanimu.” Jawabnya dengan senyum manisnya. Ya, aku benci dengan gelap, karena kegelapan selalu memisahkan aku dengan bayang-bayangku, karena itu aku selalu berada disamping bulan yang selalu menerangi hidupku.
Bahagia merayap keseluruh aliran darahku, Bulan masih ingat tentang diriku dan ketakutanku. “Aku ingin kita bersama lagi.....” Kata-kata ku terputus oleh tiupan angin yang mengigil, Bulan berhenti tertawa dan memandangku dalam hitamnya malam, “Masih juga kau belum sadar dengan mimpi-mimpi mu?” tanyanya dengan nada tinggi “Aku akan selalu bermimpi untuk bertemu denganmu, sampai kapan pun.” Aku mencoba meraihnya namun tak sempat tanganku menyentuhnya, sebuah ombak menghempaskan Bulan ketengah samudra yang luas.
Pantai yang indah, kenapa aku sampai pada bumi berpasir ini,terik matahari membuat pasir-pasir ini bercahaya dan bayang-bayangku kembali menemaniku, aku ingin mereguk air yang segar dengan rasa asin ini, tapi aku tak cukup nyali aku takut tengelam, aku bukan perenang yang hebat tapi aku dapat merenangi kehidupan ini, ku telusuri pulau yang tak kuketahui namanya ini, ada sepasang kakek dan nenek bermain pasir dengan riang. Mereka melihat kearahku.
“Kek, ini namanya pantai apa?” Tanyaku pada mereka
“Pantai pemimpi, hanya mereka-mereka yang suka dengan dunia mimpi yang sanggup datang ke pantai ini, aku tahu kau pemimpi yang sedang bermimpi.” Aku tak mengerti jawaban kakek itu, apa aku sedang bermimpi? Sepertinya tidak semua tampak begitu nyata. “Benar, kau sedang bermimpi .” Jawabnya seakan tahu apa yang aku pikirkan “Beruntung dirimu dapat bermimpi kepantai yang indah seperti ini, dalam dunia nyata kau tak akan dapat menjumpainya lagi, semua telah rusak, kotor dan menyedihkan, semuanya ulah dari bangsa mu, coba lihat kami adalah sisa-sisa dari dunia nyata yang terselamatkan olah dunia mimpi dan kami tak mau kembali lagi kedunia mu” katanya melanjutkan, aku hanya diam terpaku tak hanya hutan yang tak menyukaiku.
“Tapi aku tak pernah merusak apapun yang ada didunia ini,mungkin ada dari sebagian saudaraku yang melakukannya namun aku yakin mereka tidak bermaksud merusak kalian.” Aku mencoba membela manusia-manusia tak tak sepantasnya dibela.
“Apapun yang kau katakan kami tak percaya lagi, tanah saja menangis kala di jadikan bahan pembuatan manusia oleh sang pencipta, kalian terlalu rakus.”
“Apa yang harus kulakukan untuk menebus kesalahan kami?”
“Bersahabatlah dengan alam, kami sudah tua jangan lagi merusak kami, kami butuh orang-orang seperti kau, tapi aku sulit menemukanmu, sampaikan saja pesan kami pada mereka nak, sekarang kembalilah kamu keduniamu, kamu akan menemukan Bulan, Bulan telah menuntunmu kemari tanpa kau sadari, pergilah!”
“Kakek dan nenek tahu aku sedang mencari bulan?”
“Pasti, kami bersahabat dengan pemimpi sepertimu, bawalah bintang laut ini untuk Bulan, dia pasti senang.”
“Terimakasih kek, nek. Dengan apa aku kembali kehutan, sedang aku pun tak sadar bagaiman aku sampai pada tempat ini.” Tanyaku sambil menerima bintang laut
“Pejamkan saja matamu Bulan akan menuntunmu kembali pada tempat asalmu.” Kali ini nenek yang menjawab, aku hanya menurut. Saat kupejamkan mata kembali kegelapan merayap memenuhi alam, tampak Bulan kembali tersenyum dan memegang tanganku dengan jari-jarinya yang seperti duri.
“Mau kemana?” Tanyaku
“Mengantarkan kau kembali, aku akan menunggu kau kembali.” Jawabnya dengan nada setengah berbisik hingga dia harus mendekatkan kepalanya kearahku.
***
Ketika embun pagi jatuh dari daun pepohonan tepat dikelopak mataku aku terbangun dan tersadar dari kegelapan lorong-lorong. Jauh berbeda dengan malam yang mencekam, pagi ini begitu indah, angin sejuk terasa dikulitku. Perutku memainkan sebuah nada, sepertinya cacing dalam perutku sedang berdansa, aku tercengang saat seekor bintang laut ada digenggamanku,mana mungkin dalam hutan ada bintang laut? Aku mencoba mengingat apa yang telah terjadi denganku.
Sepertinya aku berjumpa dengan Bulan dan dia membawaku kelaut dan kembali mengantarkan aku kesini, tapi......., mungkin hanya mimpi tapi bintang laut ini ada, aku ingat ini hadiah dari kakek dan nenek yang ada ditepi pantai itu, tepatnya dalam mimpiku, mungkin juga dalam nyata, aku sulit membedakan mimpi dan nyata.
Aku berjalan menuju sungai untuk meneguk kesegaran airnya yang jernih. Kulihat bulan tampak pucat memantul di air, mungkin dia bersedih semalam tidak dapat menyinari alam atau mungkin lelah terus bersinar.
Entah sampai kapan aku terus begini menjelajahi bumi untuk mencari Bulanku yang hilang, gadis yang selama ini hidup denganku. Hampir seluruh hidupku kuhabiskan dengannya. Sepertinya semua tempat telah aku jejaki tapi tak dapat kutemukan satupun jejaknya, aku tahu dia jenuh hidup denganku karena aku selalu tengelam dalam karya-karyaku, andai dia tahu dialah sumber inspirasiku dalam bersyair tapi dia tak pernah pahami itu. Aku berharap ucapan kakek dan nenek itu benar aku akan segera bertemu dengan Bulan.
“Penyair itu pemimpi, dia hanya bisa hidup dengan hayalan dan mimpinya, ketika dia terbangun dari mimpi pasti dia tak bisa menerima kenyataan yang ada.” kata-kata itu diucapkan Bulan sebelum dia pergi dari hidupku.
Sekarang untuk siapa aku bersyair bila Bulan tiada lagi disisiku, kini aku harus bangun dari mimpiku dan menerima kenyataan yang ada bahwa Bulan tak lagi ada. Atau memang Bulan hanya ada dalam syair-syair indahku? Jika benar betapa bodohnya aku. pasti kini Bulan sedang menunggu persembahan syair dariku. Dan jika memang benar kemanapun Bulan kucari maka tak akan kutemui jejak Bulan karena dia hanya hidup dalam diriku bukan dimanapun.
Haruskah aku kembali ke istanaku? Aku tak mengerti apa yang terjadi, bukankah Bulan jenuh dengan pemimpi sepertiku? Tapi kenapa dia membawaku kedunia mimpi, apa yang sedang terjadi dengan hidupku, kemana ku bertanya, dipenghujung langit aku berteriak tentang dilemaku, apa memang aku hanya ada didunia mimpi, tapi kenapa aku ada di dunia yang fana ini, menjadi kumpulan dari manusia-manusia yang dibenci oleh alam raya, sungguh memuakkan, memalukan dan aku menyesal menjadi bagian dari mereka.
Dengan lesu aku melangkahkan kakiku dan membalikan arah jalanku, ya aku akan segera kembali pada kehidupanku dimana disana dapat kutemukan Bulan dalam syairku.
Langkahku makin cepat seakan ada sesuatu yang mendorongku agar secepatnya sampai ke istanaku yang lama aku tinggalkan, rerumputan tampak segar dengan embun yang masih melekat, aku merasa dia tersenyum, karena aku telah sadar untuk kembali pada mimpiku dan meninggalkan kefanaan ini.
Nyanyian burung-burung yang merdu pasti akan membuatku rindu pada perjalanan ini, tapi tak terlintas dalam benakku aku akan kembali lagi melangkah disini.
Dikejauhan telah tampak istanaku dengan hiasan syair-syair ditiap dindingnya, didepan istana menjulang tinggi pohon asa yang hampir berbuah. bunga-bunga senja bermekaran bagai permadani yang indah, Bulan tersenyum dibalik tirai jendela yang tembus pandang. Aku mempercepat langkahku.
Betapa bahagianya aku, Bulan telah menunggu kedatanganku dengan lesung pipitnya senyumnya membias, kugoreskan penaku dikertas yang tak putih lagi mungkin kerena terlalu lama aku meninggalkannya. Inilah hidupku bersama Bulan nan selalu menyinariku dari kegelapan dan syairku yang selalu menghibur dalam sepiku hingga waktu terus mengutukku tuk kembali dalam kenyataan.
Tapi inilah hidupku, aku hidup untuk diriku dan Bulan, bukan untuk orang lain aku tiada peduli hujatan orang disekelilingku karena mereka pun tak peduli denganku.
Akan aku lakukan apa yang menurutku pantas untuk dilakukan walau itu hanya dalam khayal dan mimpiku, asalkan Bulan selalu disampingku. Bersama Bulan kurawat pohon asa, sebelum bunga-bunga senja berhenti berbunga.




~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~JEJAK REMBULAN~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~


Surabaya, Juli 2007

BINTANG

Pagi ini seperti biasa aku berdiri di sebelah halte, sambil menunggu angkutan umum berwarna coklat yang akan mengantarkan aku ketempat ku bekerja, aku sesekali membenahi dasi yang kukenakan, tapi lama-lama aku risih dengan dasi ini, rasanya tidak pas naik angkot denga mengenakan dasi. Angkot yang ku maksud berhenti didepanku tapi ketika aku melihat pemumpangnya tidak ada gadis yang kemarin lusa kujumpai aku tidak jadi naik.
Mentari mulai merangkak dan waktu ku tak lama lagi, aku tidak bisa menunggu lagi, aku segera naik taxi, semoga esok aku dapat menjumpainya lagi, didalam taxi aku kembali mengingat wajah gadis yang berbalut jilbab hitam menjulur keseluruh tubuhnya dengan hiasan bros putih warna yang bertentangan dengan jilbabnya hingga tampak mencolok, menyorotkan cahaya pantulan dari matahari yang menembus lewat kaca yang terbuka.
Dia seperti tak peduli dengan penumpang- penumpang yang lain, dia asyik membaca bukunya entahlah aku tidak mengerti buku apa yang dibacanya, bahkan aku tak dapat membaca sampulnya hanya sekilas aku lihat sampulnya ada gambar gadis berjilbab, mungkin dia sedang membaca tentang agama yang menganjurkan wanita berjilbab. Kadang terbias senyumya yang tipis, namun kadang matanya seperti menunjukkan tanda tanya atau keheranan. Terdengar ponselnya berdering beberapa kali tapi seperti tak dihiraukannya, rupanya dia lebih tertarik pada bukunya. Setelah ponselnya kembali berdering baru dia membuka entah pesan atau panggilan
“Ya Allah, Romo!” serunya bernada kaget namun tetap pelan, mungkin itu sebutan untuk ayah atau guru bisa juga kiai akupun tak henti memperhatikannya, tapi sepertinya gadis itu tak sedikitpiun menyadari, karena asyik dengan bukunya. Sampai akhirnya angkot berhenti ditempat tujuanku, aku turun dan terus mamandang gadis berjilbab hitam itu sampai benar-benar aku tak dapat melihatnya.
Aku terlambat sepuluh menit pasti aku kena poin dan resikonya gajiku harus dipotong seribu permenitnya, ah aku masih saja ingat dengan gadis itu, kurapikan buku-buku dimeja kerjaku dan entahlah aku ingin sekali membaca buku-buku ini, apa ini pengaruh gadis itu, aku membiarkan mataku membaca kalimat demi kalimat, tak terasa aku hampir membaca separo dari buku berjudul Success Stories dari Robert T. Kiyosaki, aku baru ingat kalau aku belum memulai pekerjaanku sama sekali.
“Pak Arman, maaf catridge sudah banyak yang kosong.” Kata Ticho
“Ya, nanti saya telpon Richa biar catridgenya diambil.” Jawabku enteng
Sambil memencet nomor telpon yang ku tuju aku kembali ingat dengan gadis itu, telpon sudah tersambung.
“Selamat pagi, dengan Dewi bisa di bantu?” kata operator dari ujung kabel
“Dengan Richanya bisa?”
“Baik, mohon ditunggu.”
Aku mendengarkan nada tunggu yang tak asing lagi, sebentar saja sudah terhubung dengan Richa dan aku katakan kebutuhannku, dia segera tanggap.
“Ok, aku tunggu ya.”
“Baik pak, selamat pagi”
Klik, telp aku tutup dan kembali membaca buku yang sempat aku tutup. Aku lupa halaman berapa yang aku baca.
***
Sebuah papan tulis tertera nama customer hari ini yang order barang, salah satunya Arman bagian pengadaan disebuah perusahaan percetakan yang pernah menerbitkan kumpulan cerpen Dosenku, Alhamdulillah dia termasuk customer yang paling sering order bisa empat kali dalam sebulan itupun dengan jumlah yang besar dan dia paling tidak suka jika ada kurir yang tidak tepat waktu tanpa konfirmasi, kurir-kurir bilang dia pemuda yang tampan selalu memakai dasi motif bintang apapun warnanya.
“Richa, apa kamu tidak ingin pakai warna lain selain hitam?” Suara mbak Dewi membuyarkan lamunanku, “Aku kan sering juga pakai warna lain mbak.” Jawabku, “Tidak begitu sering.” Bantahnya, aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaan yang selalu sama. Entahlah aku lebih suka dengan warnaku, tak peduli dengan orang lain. Sambil menunngu telpon berdering aku membaca buku kumpulan cerpen Asap Rokok di Jilbab Santi karya M. Shoim Anwar beliau sekaligus dosenku, kurang satu judul lagi aku selesai.
Kriiiiiiiiiiiiiing, dering telpon membuat aku berhenti membaca, “Selamat pagi, dengan Richa bisa dibantu?” tak terdengar suara apapun diujung sana, beberapa menit aku tunggu terpaksa aku tutup telponnya.
Jam makan siang akhirnya datang juga teman-teman kerjaku berhamburan kekantin makan siang aku asyik dengan bukuku, terkadang barisan huruf diatas kertas itu tak terbaca sama sekali entahlah, anganku jauh menerawang, tak terasa sebuah butiran bening membasahi halaman buku dengan berisan huruf-huruf itu, aku menutupnya dan mengusap airmataku sebelum orang lain tahu.
Apa ada guna kita meneteskan airmata untuk sesuatu yang tidak penting? Aku rasa perlu, tapi entahlah aku masih ragu untuk hal itu. Hanya dengan mengeluarkan airmata aku bisa lega.
Lama rasanya mentari tak jua berjalan ke ufuk barat, aku terus melakukan pekerjaanku dan sesekali aku melanjutkan membaca buku.
“Mbak, pak Arman tadi pakai dasi biru tetap dengan motif bintang.” Kata kurir ku yang baru datang dari kantor pak Arman, “Terus apa hubungannya dengan aku Dana?” Tanya ku sambil tetap membaca buku, “Mbak kan suka bintang siapa tahu jodoh mbak.” Seisi ruangan ikut tertawa mendengar ucapan Dana, aku yang susah untuk tertawa pun ikut tertawa.
Senja mulai merambat dengan warnanya yang merah, aku bersemangat untuk pulang, selalu begini tiap hari mungkin bukan hanya aku tapi semuanya bersemangat jika jam kerja habis, tapi ada yang kurang mengenakkan, senja tiba-tiba menjadi kelabu mendung tebal menyelimuti.
Aku menunggu angkot lewat belum juga ada yang lewat, sementara rintikan air kini telah menyentuh jilbab ku,semakin lama semakin lebat. Sebuah taksi berwarna biru dengan tulisan full melintas, aku menunggu taksi berikutnya namun juga sama tak ada taksi lewat. Hujan makin deras payung ku hanya bisa untuk melindungi tas ku, dikejauhan sepertinya taksi lewat lagi aku niat akan naik taksi, angkot pun sepertinya lenyap tak ada yang lewat.
“Taksi.” Aku lupa tak membaca tulisan full, tapi nyatanya taksi itu berhenti, “Maaf pak, saya tidak tahu kalau sudah ada penumpangnya.” Kataku, “Tak apa, naik saja.” Kata sopir taksi itu.
Aku duduk disamping penumpang, seorang pria. Aku tersentak ketika penumpang itu mamakai dasi biru bermotif bintang.
***
Hujan membawa berkah, aku tak percaya jika aku akan bertemu dengan gadis yang selalu ada buku ditangannya itu, aku rasa dia juga tidak ingat kalau sebelumnya kita pernah berjumpa karena aku yakin dia tidak memperhatikan aku, dalam bisingnya suara hujan aku tengelam dalam keheningan.tidak sepatah katapun aku ucapkan begitupun aku tak mengucapkan sesuatu, bahkan untuk batuk pun aku mencoba menahannya, aku tak mau dia terganggu dengan suara batukku.
Perjalanan yang singkat, tak terasa taksi berhenti “Sudah sampai pak.” Kata sopir taksi, “Maaf pak saya salah saya mau keteman saya dulu, biar mbak diantar dulu saja.” Kataku berbohong, taksi mulai berjalan, aku sengaja ingin melihat turunnya gadis itu, dia mungkin mendengar percakapanku dengan sopir, tapi tak ada tanda-tanda dia merespon. Dia sibuk dengan buku nya, sekilas ku lihat dia tersenyum.
“Rumah sakit mbak.” Kata sopir, “Ya pak, terimakasih. Saya turun dulu ya mas.” Katanya sambil membayar taksi dan menoleh padaku, dia menyapaku, berpamitan denganku, ah tak ku sangka suaranya lembut bagai hembusan angin pagi yang sejuk, dan sepertinya tidak asing lagi, aku hanya membalas dengan anggukan kepalaku, kenapa dia turun rumah sakit? Apa ada yang sakit? Atau rumahnya dekat rumah sakit? “Mas mau kemana ini?” Suara sopir itu mengagetkanku “O.. kita balik lagi kerumah saya pak, tenang nanti bayar dobel.” Sopir itu melihatku penuh tanda tanya.
Sebuah buku berjudul “Asap Rokok di Jilbab Santi.” Kini ada di rak buku ku, ya buku itu tertinggal di dalam taksi yang aku ambil aku tidak berniat memilikinya, pasti aku akan berusaha mengembalikannya, buku yang terlihat rapi dengan sampul putih bening ada stiker bertuliskan “Perpustakaan ILFAM” ada juga nomor ponsel, mungkin dia pinjam diperpustakaan. Pasti dia kelabakan mencari bukunya. Aku lancang membuka isi buku dihalaman depan sebuah goresan pena, ada tanda tanggan sang pengarang dan nama terang.
Aku menatap deretan angka-angka di ponsel aku menekan satu persatu angka sesuai dengan nomor yang ada di buku, telepon terhubung tapi lama tak ada jawaban terdengar nada sambung sholawat entahlah aku tidak bisa menirukannya, “Assalamualaikum!” aku tersentak ada suara wanita yang tak asing lagi ditelinggaku, “Waalaikumsalam, Richa?” jawabku, “Pak Arman?” .



***************************************BINTANG**************************************

SURABAYA, APRIL 2010