SELAMAT DATANG DI HUNIAN SASTRA

SELAMAT DATANG DI HUNIAN PECINTA SASTRA INDONESIA

AYO KITA BELAJAR MENGEKSPRESIKAN DIRI DENGAN MENULIS DAN MENULIS!

Rabu, 01 Desember 2010

AMUKAN ALAM

Air yang dulu menjadi sumber penghidupan kini menjadi pemangsa yang menyeramkan, tak peduli apapun yang dilewatinya disapu bersihnya, seakan dia telah muak dengan semua ulah manusia yang sombong. Gemuruh warga desa menyelamatkan diri, ada juga yang sempat membawa harta mereka, bahkan binatang piaraan masih sempat diselamatkan, “Kita harus kemana?” para warga bingung dengan keadaan yang kian memburuk.
“Sementara kita di tanggul* dulu.” Kata pak RT, warga hanya menurut apayang diperintahkan pak RT, sambil menunggu bantuan dari pemerintah warga membuat pengungsian, namun banyak juga warga yang takmau ketanggul dan tetap membuat antru** didalam rumah mereka. Sementara cuara hari tampak selalu redup mentari enggan keluar mendung tebal seakan memayungi penduduk desa.
Cacing-cacing keluar dari sarangnya membentuk sebuah tumpukan yang menjijikan, Siti menaikkan kakinya kekursi karena merasa jijik, “ambillah abu taburkan diatasnya pasti cacingnya mati” kata Yadi ayah Siti, Siti menurut dia mengambil abu dan ditaburkan diatas kruntelan cacing-cacing itu, cacing-cacing mengeliat mungkin abu itu membuatnya perih atau kenapa, perut Siti mual, tak lama cacing-cacing itu hilang entah kemana.
Hari makin senja air semakin naik, kini rumah Yadi yang terlatak di atas tanggul kemasukan air, “Sejak bapak lahir tak pernah rumah ini, kebanjiran.” Ucap Yadi pada anak-anaknya, sementara warga yang membuat antru tidak dapat lagi bertahan air hampir menengelamkan atap rumah, mereka segera mendayung perahu bagi warga yang mampu membeli perahu, banyak yang menggunakan jajaran batang pisang.
Hampir limabelas tahun desa yang terletak di pinggiran anak bengawan Solo ini bebas banjir, wargapun lengah sudah tidak lagi sidia perahu seperti dulu, kini warga kelabakan. Sungguh pemandangan yang membingungkan, sebagian warga tidak tidur terus berjaga ditanggul yang rawan jebol, termasuk Yadi, warga kembali gempar mendengar kabar tanggul desa sebelah jebol, warga panik air terus bertambah.
Malam seakan tak berakhir tetap dengan mendung yang bergayut, semua berharap pagi segera tiba dengan kehangatan sang mentari, suara kodok bersaut-sautan mengucapkan selamat datang banjir, kucing-kucing mengeong tak beraturan saling kerah satu sama lain, perlahan rinai menghiasi malam yang mencekam, semua warga diliputi cemas yang dahsyat, ada ibu-ibu yang menangis, anak-anak tidur dengan pulas seharian mereka bermain air tak mengerti itu musibah.
Senyum sekilas terlihat pada warga karena surya kembali menyapa, air sepertinya makin surut, “Jangan riang dulu, ini hanya sementara air akan naik lagi.” Kata Yadi pada warga, Yadi sepertinya bisa memprediksi kejadian sebelumkejadian, “Rasanya tidak cak Di, pasti banjir ini telah usai lihatlah air dalam hitungan jam saja sudah surut banyak.” Kata Hartono, “Kamu kok mbantah cak Di, cak Di itu pengucapannya selalu benar.” Kata Toha, “Bukan membantah tapi kita lihat saja kenyataannya.” Bantah Hartono, “Sudah, jangan berdebat lihat saja nanti.” Yadi menghentikan perdebatan Hartono dan Toha.
Sebagian warga ada yang kembali melihat kondisi sudah aman, namun sebagian ada yang tetap ditanggul. Bantuan dari pemerintah turun berupa mie instan dan beras, ada juga pakaian bekas, suasana mulai tenang dan aman dan mentari tersenyum.
“Air naik lagi.” Teriak pak RT “Kita harus jaga tanggul jangan sampai jebol.” Pak RT menghimbau, warga semua sigap setiap tangan membawa cangkul, ibu-ibu membuat makanan seadanya. Rebusan singkong, jagung, dan kacang tanah yang dipanen dengan paksa dari pada hilang disapu banjir. Bapak-bapak sibuk membendung tanggul yang sudah hampir tak kuat menahan air, aliran kecil telah tampak melewati tanggul, namun segera dibendung.
Tiba-tiba keluar ular kecil dari lubang air, Marno melihat ular nafsu membunuhnya keluar, “Ada ular.” Teriak Marno, “Jangan dibunuh!” Seru orang-orang hampir bersamaan. Terlambat Marno telah mengayunkan cangkulnya tepat dikepala ular hingga terputus jadi dua. “Kenapa kamu bunuh? Memangnya ular itu mengganggumu?” Tanya Hadi, “Jelas ular mengganggu cak.” Semuanya melihat kearah Marno dan Hadi, “Semoga tidak terjadi apa-apa, sudahlah ayo kita pulang” Seru Yadi yang diikuti pak RT.
Berita pebunuhan ular yang dilakukan Marno dengan cepat mengegerkan warga, terutama kaum wanita dilanda takut yang mencekam, beberapa warga memparcayai kalau ular itu penunngu tanggul, mereka takut kalau ular itu di bunuh tanggul akan jebol, semua menyalahkan Marno tapi apa boleh buat semua telah terjadi. Bulan lagi-lagi tak bersinar menambah kelamnya malam.
Malam yang mencekam dan lama akhirnya berubah menjadi pagi yang cerah, disusul dengan siang yang menyengat. Perbincanagan warga masih seputar ular yang terbunuh, “Nyatanya tidak ada apa-apa, pasti semuanya hanya mitos.” Kata salah satu warga. Sinar surya bagai butiran kristal namun tak indah lagi karena panas dan gerah, sepasang pengantin baru yang baru saja menengok ibunya berjalan pulang, tak lama mereka kembali dan berteriak, “Tanggul jebol,tanggul jebol.” Semua berhamburan,dengan singkat air ditanggul amblas, Siti dan ibunya binggung karena Yadi sedang kedesa sebelah menjenguk anaknya dipengungsian.
Semua berhamburan melihat tanggul yang dengan cepatnya longsor, pohon-pohon tumbang, aneh ditengah air yang dahsyat ada pohon pisang yang tetap tegar berdiri tak goyah sedikitpun, perlahan gumpalan-gumpalan itu melebar kesamping, Siti yang saat itu satu-satunya perempuan yang ikut melihat berteriak histeris, dan berlari.
Rumah-rumah yang didataran rendah hampir tengelam, delapan rumah hanyut tak berbekas, satu rumah ambrol sisa separo, sungguh air sedang mengamuk, air yang sempat mengenangi rumah diatas tanggul sekaligus kering, arus sungai sangat deras, seakan siap menghanyutkan segala yang ada.
Pergantian tahun yang memilukan, tiada terdengar suara sorakan seperti biasanya, sampai malam tiba Yadi kembali, Siti mendengarkan perbincangan ayah dan ibunya, “Tadi sempat kulihat ada keganjilan, ini ada hubungannya dengan kematian ular itu.” Ucap Yadi, “Semua hanya kejadian alam pak, tidak ada yang seperti itu, sungguh masuk akal tanggul jebol karena sudah tidak dapat menahan air.” Jawab Siti, sementara gemuruh suara air yang terus gemerojok terdengar menyeramkan dan membuat tiap warga tak dapat memejamkan mata.
“Ada bantuan makanan.” Kata pak RT, “Tidak usah ambil kita sudah punya makanan biar untuk mereka yang tidak punya.” . Seru Yadi pada anak dan istrinya.
Bantuan baru benar-benar datang jika sudah seperti ini, sebuah tenda pengungsian diletakkan didepan rumah Yadi yang pelatarannya luas, wartawan-wartawan televisi merebut mencari informasi, reporter dengan tangkas mewawancarai salah satu warga termasuk Yadi. Listrik padam, warga desa mengeluh karena tidak dapat mengunakan handphon mereka, terutama pemuda-pemudi. Suasana seperti ini dimanfaatkan oleh desa seberang sungai setiap ikut mengisi batrai handphone mereka dikenakan biaya.
Tahun baru yang memilukan, pemandangan yang ironis warga semakin hari semakin kehabisan bahan pangan, segala yang ada disekitarnya sebisa mungkin dijadikan bahan pangan, sampai benar sudah tidak ada lagi yang dapat dijadikan bahan pangan mereka harus makan mie instan dari bantuan yang ada, sedang alat masak mereka harus dengan kompor dulu yang biasanya warga mengunakan kayu bakar tentu saja merasakan beratnya ekonomi, mata pencaharian tiada, padi-padi yang mulai menguning kini tak ada bekas.
Kondisi memilukan pun masih ada manusia yang gelap mata, mencuri barang-barang yang tergeletak dijalan-jalan tanggul, nasib anak-anak sekolah yang menjelang ujian semesterpun tak karuan, warga benar-benar dilanda kecemasan kalau-kalau semua ini ulah ular yang tidak terima dirinya dibunuh dan akan menghabiskan penduduk desa.
Desa yang dulu rejo*** sekarang sepi sawah yang hijau tak terlihat lagi, semua musnah alam sedang menunjukkan kedahsyatannya pada manusia, entahlah mungkin tanpa disadari manusia-manusia itu menyakiti alam, hingga alam mengamuk, air yang menyegarkan kini menyeramkan dan membinasakan.
Pasrah dan berdoa yang dilakukan penduduk desa bagaimanapun semua harus dilalui sampai dipertengahan bulan januari air sepertinya telah surut, secerca cahaya menyinari hati tiap penduduk, berharap banjir benar-benar berlalu dan mereka dapat memulai kehidupan yang baru.
Harapan mereka terwujud air semakin surut dan hilang bagai ditelan bumi, warga yang sudah rindu dengan rumah mereka segera membersihkan bekas-bekas banjir, sementara beberapa warga yang rumahnya digodol banjir terpaksa masih mengungsi. Keadaan pulih kembali anak-anak berlarian bermain, hanya aroma yang ditinggalkan banjir itutak hilang juga.
Kala semua warga lengah bala tentara air itu siap untuk menyerang kembali, warga pun menjeris kembali.

========================AMUKAN ALAM======================

TUBAN, MARET 2008
* Tanggul : Dataran tinggi di desa
** Antru : Rumah panggung pada saat banjir

Tidak ada komentar: