SELAMAT DATANG DI HUNIAN SASTRA

SELAMAT DATANG DI HUNIAN PECINTA SASTRA INDONESIA

AYO KITA BELAJAR MENGEKSPRESIKAN DIRI DENGAN MENULIS DAN MENULIS!

Selasa, 15 Maret 2011

KENIKMATAN WAKTU

“Sayang, aku berangkat kerja dulu. Jangan lupa nanti makan siang.” Kata Ari sambil menciumku dengan mesra. Kita seperti sepasang suami istri yang berbahagia, kita begitu saling menyayangi. Tapi hubungan kita terlarang.

Aku berdiri didepan cermin yang selalu jujur, dan aku yakin cermin ini juga jujur padaku. Kulitku putih, hidung mancung, pandangan mataku begitu tajam, tinggiku lumayan, walaupun aku sedikit agak kurus untuk mencapai berat ideal aku harus naik berat badan sekitar lima kilo, lemakku juga masih dibawah normal tapi aku nyaman dengan keadaanku ini. Tapi aku mengalami hal yang aneh aku tidak bersyukur dengan ketampananku ini, aku iri jika melihat perempuan yang cantik.

Usiaku dua puluh satu tahun, mahasiswa jurusan geografi disebuah universitas negeri ternama di Surabaya, aku mulai mengalami keanehan semenjak tinggal di kota pahlawan ini. Disini aku mempunyai kebebasan yang belum pernah kudapatkan, aku tak lagi tertarik dengan kecantikan seorang perempuan sebaliknya aku selalu tergoda jika ada lelaki tampan.
“Mbak, aku lagi puspa.” Kata Ardian sahabatku
“Kenapa lagi Yan?”
“Pacarku kabur lagi, ah lebih baik aku cari om-om saja yang banyak uang.”
“Terserah kamu, yang penting kamu nyaman.”

Ardian biasa di panggil Dian, sahabatku kita berasal dari kota yang sama tapi baru bertemu di Surabaya saat aku mulai mengenal duniaku yang baru. Dian kuliah jurusan desainer di perguruan tinggi swata, Dian satu tahun dibawahku. Dian menjadi seorang gay akibat ayahnya yang menjadi polisi terlalu otoriter dalam mendidik, Dian selalu dituntut menjadi nomor satu dalam segala hal. Dian tak dapat brontak sampai untuk memilih perguruan tinggipun ayahnya yang menentukan sekaligus jurusannya. Untunglah saat itu ibu Dian ikut angkat bicara hingga Dian bisa memilih sendiri.

Namun ayahnya tetap saja menuntut Dian agar menjadi nomor satu, kenyataannya kini berbalik Dian begitu kurang bersemangat kuliah akibatnya beberapa mata kuliah harus dia tidak lulus. Kehidupan begitu sulit aku pahami begitu juga Dian mengalami hal yang sama denganku, sepertinya kehidupan tak lagi berpihak padaku, apa dosa yang kulakukan hingga semua ini harus kujalani.

Aku menikmati keadaanku saat ini, hidup bebas. Dulu aku pernah beberapa kali mencintai seorang gadis namun mereka hanya menyakiti hatiku saja, aku juga tak dapat bebas berbuat karena pasti ada batasan-batasan antara pria dan wanita. Namun sekarang tak ada lagi batasan, aku satu kamar dengan kekasihku Ari, kos kami berada didekat kampusku Surabaya selatan tak jauh dari pusat perbelanjaan. Ari mengajarkan aku bagaimana bercinta kami.

Aku masih ingat bagaimana Ari mengajarkan aku tentang hubungan sesama jenis. Kini naluri untuk menjadi seorang homoseksual telah terbentuk, dan aku telah mendapatkan pasangan yang sesuai dengan kriteria. ketika sudah memiliki kekasih, seperti hubungan normal lainnya, kami juga melakukan penetrasi awal seperti berpelukan, berciuman bahkan yang lebih dari itu. Kita juga melakukan hubungan intim. Kita mendapat kepuasan sama seperti pasangan normal, hanya saja gaya bercinta kita yang berbeda.

Matahari kian terik aku harus segera kekampus, aku juga harus kuliah dengan benar aku tak ingin mengecewakan orang tuaku. Walau begini keadaanku aku tetap harus memikirkan mereka, berbeda dengan Dian yang lahir dikelurga kaya, aku hanyalah anak dari keluarga yang sederhana tak jarang kiriman dari rumah terlambat aku terima, untunglah Ari mencukupi kebutuhan sehari-hariku hingga aku tak begitu kualahan ketika belum dapat kiriman dari rumah.

“Agung, apa kabar kapan kita jalan bareng?” tanya Angga teman kampus yang tak begitu kukenal tapi tapi tak sengaja kita bertemu ditempat berkumpulnya para homoseksual.
“Maaf aku tak ada waktu,”
“Ah, sekali saja ganteng kita jalan berdua.”
“Aku harus kekelas sekarang.” Aku meninggalkan Angga, aku tak suka dengan dia kulitnya hitam, lagi pula aku tak mau nanti Ari marah melihatku berjalan dengan laki-laki lain. Cintaku hanya untuk Ari tidak ada yang lain.

Selama ini temanku dikampus tiada yang tahu kalau aku “sakit” tak jarang gadis-gadis dikampus mendekatiku karena rupaku yang rupawan. Begitu pula dikampungku aku begitu menjaga sikapku aku tak mau semua orang tahu tentang keadaanku, dulu sempat kos kebetulan banyak juga pendatang dari kampungku terpaksa aku pindah kos karena aku takut ketahuan dan mereka mengadu dikmpung. Tak kubayangkan jika kabar itu sampai keorang tuaku pasti mereka akan kecewa. Mungkin aku seorang pengecut biarlah aku akan menjadi seorang pecundang selamanya asal orang tetap memandangku.

Sebenarnya aku tahu suatu saat pasti akan diketahui orang keadaanku yang seperti ini, seperti Sasa temanku yang nama aslinya Porwanto, dia bekerja di sebuah restoran sebagai kasir pulang kerja dia jalan-jalan dengan semua atribut perempuan tak lupa, payudara palsu yang dibuat dari fiberglass, sempurna sekali kadang aku ingin seperti itu tapi aku masih takut. Bertahun-tahun Sasa menjalani tanpa sepengetahuan orang tuanya, suatu saat dia menangis.
“Apa yang terjadi Sa?” Tanya Dian
“Mamaku tahu kalau aku waria,”
“Bagaimana bisa, kamu cerita?” Tanyaku penasaran
“Waktu Mama bersih-bersih kamar, begitu ceroboh sebuah bra lupa belum ku masukkan dalam lemari. Mama langsung membuka lemariku yang penuh dengan pakaian wanita.”
“Mama kamu marah atau mau menerima keadaanmu sekarang?”
“Mama hanya menagis, tak sepatah katapun dia ucapkan padaku. Aku telah bersimpuh dikaki Mama, Mama memelukku entah apa yang ada dalam hatinya. Tapi aku tahu sorot matanya memancarkan kekecewaan.”
“Mungkin itu akan kita alami juga ketika orang tua kita tahu kita sebenarnya.” Kami saling berpandangan.

Apa yang terjadi pada kita sebenarnya memang pilihan ketika kita ingin kembali normal aku yakin pasti bisa, tapi aku nyaman dengan pilihanku saat ini, kita mendapatkan kebebasan, Kalau lawan jenis masuk kamar, pastilah 1 RT langsung ribut. Tapi kalo sesama jenis mau seharian juga tidak mesti mendatangkan kecurigaan. Dengan sesama jenis tidak perlu pusing soal keperawanan, pencegahan kehamilan, atau didesak soal pernikahan.

Malam telah menyapa, Ari datang dengan membawa makanan, seperti seorang istri aku menyiapkan air hangat untuk mandi, selepas mandi kita makan malam Ari membelai kepalaku mulai mencium leherku aku tahu Ari ingin menyalurkan hastratnya, kita bisa merasa nikmat karena kita tahu anatomi tubuh masing-masing, tahu persis daerah-daerah sensitif dan erogen masing-masing, dan tahu betul bagaimana cara memperlakukannya untuk mencapai kepuasan seksual.

Selain itu, sesama laki-laki kita lebih berani bereksperimen mengenai teknik-teknik baru dan menciptakan kejutan. Kalo dengan wanita, ada kekhawatiran “kesakitan”, “tersinggung,” karena perempuan harus dihormati. Tenaga sesama laki-laki lebih kuat, mampu memberi tekanan dan memperkuat rangsangan ke tubuh lawan mainnya. Demikian pula dengan tubuhnya, otot-ototnya lebih kuat, ketika Ari memelukku lebih berasa.

Sebenarnya untuk melakukan hubungan sesama jenis ada sextoys untuk kaum gay namanya vibrator alat semacam celana dalam yang memiliki lubang, ketika kami malakukannya ada semacam getaran yang dapat dirasakan. Tapi harganya terlalu malah untukku yang hanya mahasiswa maka kita melakukannya secara alami saja.
Namun kebahagiaanku harus hancur ketika aku beberapa hari pulang kampung, Ari selingkuh dengan temanku sendiri dan mereka melakukannya dikamar kita hatiku begitu sakit saat tahu hal itu, aku menemui Ari di salon miliknya mataku gelap.

“Sayang dengarkan aku!” Ari menatapku, namun tak banyak bicara helm yang masih kupegang ku pukulkan kekepalanya, semua isi salon tertegun melihatnya Ari lari kejalan raya untuk meminta pertolongan. Aku mengejarnya dengan diikuti Dian.
“Siapa yang mau menolong dia, mau ku apakan terserah dia suamiku”
Semua mata manatapku aku sudah perduli semua tahu tentang aku, saat ini aku begitu sakit, begitu setia aku menjaga hubungan kita teganya Ari menghianatiku. Saat Dian mulai menjajakan dirinya dan mengeruk banyak rupiah aku tetap setia padanya. Aku segera meninggalkan tempat itu dengan motor Dian.

Ketika mentari memancarkan keelokannya aku melangkahkan kaki ketempat Ayu, dia sahabat yang kuanggap sebagai adik karena aku ingin sekali jadi seorang kakak maka aku ketempat Ayu, Ayu selalu memberi nasihat agar aku meninggalkan duniaku namun begitu indah dia merangkai kata hingga aku tak merasa di gurui olehnya. Aku kagum padanya walau dia berjilbab dia tetap membuka diri untuk mengenal aku dan Dian.
Aku menangis dipundak Ayu dan menceritakan kesedihanku, Ayu memprlihatkan rasa ibanya,
“Kakak, mungkin ini jalan Allah yang telah ditunjukkan pada kakak.”
”Tidak Ayu aku masih mencintai Ari aku harus mengembalikan Ari kepelukannku.”
Terlihat airmuka Ayu kecewa dengan jawabanku, aku meninggalkan Ayu dan bertemu mbak Nia teman Ayu, setelah aku bercerita dia mengenalkan aku dengan mbak Anna. Mbak Anna bisa mengembalikan Ari, malam hari aku dimandikan dengan kembang tujuh rupa aku tak hafal macamnya dan airnya begitu wanggi. Dian juga diberi cincin agar dirinya laris.

Benar sekali Ari datang kekos dan mencium keningku berjanji tak akan mengulanginya lagi malam ini berlalu penuh cinta dan kehangatan.
Akan aku jalani hidup ini mengalir apa adanya, aku belum punya keinginan untuk berubah, tapi aku tetap juga berada dalam kemunafikan karena sesungguhnya aku takut dengan semua kenikmatan ini, Ayu tetap berusaha mengembalikanku, menyembuhkan dari sakitku.
Airmata Ayu menitik sambil memberikan sebuah bingkisan untukku, kado ulang tahunku yang sudah lewat hampir satu bulan,
”kakak janji apapun kado dari Ayu janganlah kakak membenci Ayu.”
”Pasti, aku tetap kakakmu yang akan sayang sama Ayu.”
“Semoga yang kakak ucapkan benar.”
Rasa penasaran merayap, kucepatkan langkah kakiku. Ingin cepat aku membuka kado dari Ayu kenapa dia sebpertinya dihantui ketakutan saat memberikannya. Sampai di kamar aku segera membukanya, sebuah buku berwarna coklat berjudul “Bahaya Homoseksual dan Cara Mengatasinya” tanganku bergetar keringatku dingin bercucuran, aku melihat sampul belakang aku membaca sedikit tulisan yang berbunyi “Rasulullah menghalalkan kaum homoseksual untuk dibunuh.”.

Tubuhku didera rasa takut yang amat sangat buku itu jatuh dan tak berani aku membuka isinya, aku belum siap untuk semua itu. Waktu terus memanjakanku dengan kenikmatan yang kurasakan, aku telah lupa dimana buku itu aku simpan dan aku tak ingin membacanya.