SELAMAT DATANG DI HUNIAN SASTRA

SELAMAT DATANG DI HUNIAN PECINTA SASTRA INDONESIA

AYO KITA BELAJAR MENGEKSPRESIKAN DIRI DENGAN MENULIS DAN MENULIS!

Sabtu, 31 Desember 2011

Termanggu

Jemariku menari di atas kebord
menyentuh lembut huruf demi huruf
Namun masih kelu, kosong, hampa
tak berbentuk apapun
angan tak tercapai
anganku mendapatkannya musnah

Selasa, 27 Desember 2011

Bisu

Apa yang harus aku lalukan ketika merindukan?
salah menuang anggur pada cawan yang telah penuh.
aku memaksakan anggur itu hingga tumpah tercecer, menyiram luka mengangga.
kau tak peduli dan terus membisu dengan angkuh, menertawakan aku yang sekarat karenamu. kau bahkan mungkin menikmati kesakitanku.
BIADAB

Kamis, 06 Oktober 2011

PAKET MAYAT karya M. Shoim Anwar

Membaca cerpen M. Shoim Anwar kita akan di bawa ke kejadian-kejadian yang mengejutkan, sastrawan yang lahir di Jombang Jawa Timur ini telah memberi arah baru dalam kesusastraan Indonesia, baru dalam ceritanya dan gaya bahasanya.

Gaya bahasa yang digunakan dapat dianggap sebagai gaya yang baru dan berbeda, walau settingnya diluar negeri namun M. Shoim Anwar tidak menghilangkan bahasa-bahasa akrab yang biasa di gunakan di Indonesia dalam percakapan antar tokoh, kita lihat pada dialog Aku dan Suparjan, “Ya untuk sangu berangkat saya ke sini ini.” kata “Sangu” bisa saja di tulis dengan “uang saku” atau “biaya” tapi pengarang punya perhitungan lain, dengan bahasa yang sederhana pengarang menyampaikan cerita, membuat pembaca serasa akrab dengan cerita.

Selain unsur-unsur intrinsik yang membangun karya sastra, Sastra juga mendapat pengaruh dari agama, adat istidat, hukum, pendidikan, politik serta sosial, dalam pengertian sastra adalah segala tulisan yang mengakibatkan beberapa pemikiran, jika kita lihat lebih dalam cerpen ini terdapat pengaruh fungsi-fungsi sosial.
Teori sosial sastra sudah muncul sejak sebelum masehi. Sastra di anggap sebagai unsur kebudayaan yang dapat mempengaruhi dan dipengaruhi masyarakatnya, karena pada awal perkembangannya tidak dapat di pisahkan dari kegiatan sosial. Dalam bukunya yang berjudul Teori Kesusastraan Wellek dan Warren menyinggung tentang masalah sastra dan masyarakat.

Sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa. Teknik-teknik satra tradisional seperti simbolisme dan matra bersifat sosial karena merupakan konvensi dan norma masyarakat. Lagi pula sastra “menyajikan kehidupan”, dan “kehidupan” sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. (Welleck & Warren, 1990:109).
Novelis tidak mempunyai jalan pintas. Dunia yang diciptakannya akan dikontraskan dengan kebanaran di bidang ilmu sosial. Fungsi utama sastrawan adalah membuat manusia melihat apa yang sehari-hari ada didalam kehidupan, dan membayangkan apa yang secara konseptual dan nyata sebenarnya sudah di ketahui (Welleck & Warren, 1990:30-31).

Dari kutipan-kutipan di atas kita dapat melihat karya sastra juga dapat di jadikan kritikan atau penyampain pesan pada masyarakat, dan kebanyaakan karya satra ditujukan utuk para pemimpin-pemimpin bangsa. Kritikan tak harus dengan dengan kata-kata yang yang menentang atau kekerasan, tetapi penolakan juga bisa disampaikan dengan bahasa yang santun, indah, dan perlambangan.

Suparjan adalah adik iparku. Sudah sembilan bulan dia bekerja di sini. Dulu aku menyarankan agar dia masuk lewat jalur resmi. Tapi rupanya dia punya perhitungan lain. Dia ikut-ikutan jalur gelap. Aku membayangkan pasti dia diangkut kapal laut saat malam hari. Ketika jarak sudah dekat, dia pasti dipaksa mencebur ke laut dan berenang ke tepi hutan. (150)

Penggalan cerpen diatas menerangkan begitu sengsaranya menjadi seorang bekerja liar, yang selalu takut adanya operasi sampai rela berenang dilaut, disini kita lihat pengarang menyampaikan agar tidak ada lagi pekerja liar seperti Suparjan, hendaknya kita lewat jalur resmi agar tidak di hantui rasa ketakutan. Karya sastra juga menyampaikan cermin keadaan masyarakat walaupun tidak mutlak.

Banyak tenaga proyek, apalagi diperkebunan, adalah pekerja liar. Polisi juga tahu itu tapi tak mau operasi di wilayah proyek. Para pekerja liar sengaja di manfaatkan dengan segala posisi lemahnya. Ada banyak cerita, ketika proyek menjelang rampung, polisi sengaja polisi sengaja didatangkan untuk menggerebek mereka. Parapekerja berlarian. Maka mereka tak terbayar. (151)

Kutipan tersebut dapat bermanfaat sebagai wacana bagi pembaca. Ternyata pekerja liar pun di Malaysia di perlukan untuk kepentingan sepihak, tapi semua tak lepas dari diri pekerja sendiri yang telah memutuskan untuk menjadi pekerja liar.

Terlihat juga dataran hijau yang dan tampak botak disana-sini. Itu pasti hutan yang gundul karena kayunya dicuri oleh para pembalak dan cukong. Mereka ada yang bersekongkol dengan para pejabat, aparat keamanan, serta pekerja hukum. Sungai tampak berkelok-kelok menanggung beban yang makin sarat. Dataran yang luas tapi porak-poranda. Penduduknya terlunta-lunta. Sementara pejabatnya sibuk memperebutkan kursi kekuasaan. (156)

Terlihat sekali kritik yang diarahkan kepada pemimpin yang tidak bersungguh-bersungguh dalam membela kepentingan rakyat. Pesan-pesan yang disampaikan melalui cerpen ini memberikan peringatan kepada orang-orang yang telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Sepertinya rakyat kecil sudah tidak punya ruang lagi untuk mencari makan di negeri yang sebenarnya kaya dan berlimpah, hingga sebagian besar berlarian menyambung hidup di negeri orang dan kebanyakan terlunta-lunta.

Cerpen ini lahir karena banyak kejadian yang menimpa warga Indonesia seperti apa yang di alami oleh Suparjan ketika di luar negeri terlebih pekerja liar, tapi bukan berarti pengarang menyuarakan keiginan-keinginan masyarakat tertentu, yang pasti pengarang hanyalah mewakili hati nuraninya sendiri, namun ketika kita membaca cerpen ini tidak menutup kemungkinan jika kita merasa terwakili.

Secara global, M. Shoim Anwar dalam cerpen Paket Mayat mengungkapkan upaya penduduk Indonesia untuk melepaskan diri dari kesengsaraan hidup di negeri sendiri. Hal yang menarik dari cerpen ini salah satunya adalah permainan perasaan pengarangnya yang memberikan suasana haru. Dalam cerpennya M. Shoim Anwar pandai menyelipkan pertanyaan yang tersirat dari awal sampai akhir cerita.

Namun, dengan segala keindahan dan kelebihannya, cerpen karangan ketua komite dewan kesenian Jawa Timur ini memikat dan penuh dengan muatan pesan yang dapat di renungkan dan diterjemahkan lebih dalam dan tentuya cerita ini telah membawa suatu kemajuan bagi sastra Indonesia. Tidak rugi jika mencoba untuk membacanya.

...........S.............

Kau sengat aku dengan bibirmu

Desirn halus memenuhi dada

Tak tahu rasa apa itu

Kau buatku menggeliat

bagai ikan terlempar dari aquarium

MENGGELEPAR

Kau menikmati aku terbakar

CERITA LUCU

Hari berlalu
Tanpa masa lalu
Tiada dapat ku henti waktu
Untuk kembali kemasa lalu

Disaat semua masih bersama
Kini semua berpisah
Menempuh jalan berbeda
Menuju tujuan berbeda

Ku rindu...
Senyum kita, canda kita
Cerita-cerita kita nan lucu
Kini jadi kisah pilu

Cerita itu cepat berlalu
Tanpa kembali menyapaku

Tuban, 26 Mei 2006

BANGKIT

Api tlah melalap badanmu
Jangan kau jadi abu
Jadikan tiap kobaran api
Sebagai kobaran semangat baru
Anggaplah...
Tebakar sebuah kesombongan
Keangkuhan, kekikiran, kemurkaan
Bangkit, bangunlah
Ganti....
Jadikan kotaku
Kesederhanaan, kesabaran
Kedermawanan, kebijaksanaan
Biarlah....
Semua sirna
Sisakan semangat bangkitmu
Kota tercintaku

Tuban, 05 Mei 2006

LAUTAN API

Bandung lautan api
Peristiwa ini kembali
Di kota wali yang rapi
Bukan karena musuh

KEKUASAAN

Kakuasaan dan kekalahan
Api amarah tlah tersulut
Membakar gedung-gedung
Wujud amarah di tenggah kekalahan
Pembesar tak dapat di contoh
Anarkis jika kalah

Kotaku...
Jangan kau teteskan airmata
Tetaplah tersenyum
Suka, duka, kalah, menang
Kehancuran, pembangunan
Tetap sebagai liku hidup ini

Tuban, 30 April 2006

ASA

Asa............
Aku menunggumu...
Asa............
Aku menantimu...
Asa............
Aku merindukanmu...
Asa............
Aku ingin mendekapmu...
Asa............
Aku dahaga bertemu denganmu...
Asa............
Aku hanya menemukan bayangmu
Karenamu aku terus bertahan
Bertahan melawan si fana
Asa............
Aku akan segera menemukanmu.

Tuban, Pebruari 2006

DESAIN DERITA

Sulaman benang kehidupan
Akan di jadikan busana tahta
Dapat pula pakaian derita

Adalah luka ....
Saat pakaian derita dikenakan
Berlukis beban dan derita

Kamanakah ku bawa ?!
Diamkah?! larikah?!
Matikah?! Hidupkah?!

Diam?! Aku binggung!
Lari?! Aku bukan pecundang!
Mati?! Aku harus berjuang!
Hidup?! Aku tak sanggup!

Tuban, Pebruari 2006

BUKAN UNTUKMU

Puisi ini tertulis padamu
Namun bukan untukmu
Aku menulis untuk jiwaku
Aku menulis tanpa tinta

Tulisan yang telah terbaca
Namun tiada mengerti maknanya
Ku pikir memang tiada
Tiada yang mengerti

Apa aku mengerti ???
Sepertinya tidak juga
Entahlah siapa yang mengerti
Hanya Dia yang maha tahu.

Tuban, Mei 2006

Lelaki yang Terindah Karya Seno Gumira Ajidarma

Membaca karya-karya Seno kita sering kali dihadapkan dengan kejahanaman cinta yang tidak selalu berakhir dengan bahagia seperti cerita di negeri dongeng. Lelaki yang Terindah salah satu cerita pendek Seno yang terkumpul dalam buku kumpulan cerpen Sebuah Pertanyaan untuk Cinta, kita kembali di hadapkan dengan cerita cinta yang tak lazim.

Cerpen ini menceritakan adanya hubungan emosional dan seksual sesama jenis (homoseksual) khususnya gay. Cerpen yang merupakan perlawanan terhadap homopobia, perlawanan terhadap gagasan bahwa para pria selalu identik dengan keperkasaan namun mempunyai kemungkinan untuk berhubungan seksual dengan sesama pria.
Seno menceritakan tentang seorang laki-laki gay dan berhasil menjerat jantung laki-laki normal yang dulunya sangat memuja wanita, seperti tampak dalam kutipan berikut:

Aku tidak malu untuk mengakui, aku sangat mengagumi wanita karena kewanitaannya, apapun bentuknya. Apa boleh buat. Tuhan telah menciptakan wanita...
Tapi, kini aku berurusan dengan lelaki. Seorang lelaki terindah di dunia. Telah beratus-ratus, bahkan beribu-ribu lelaki lewat di depan mataku, namun aku tak pernah berpikir untuk mempertimbangkan keindahannya. (Lelaki yang Terindah, h. 51)

Hubungan antara keduanya yang mengidentifikasikan hubugan seksual diungkapkan secara terbuka oleh Seno.

Dan tangannya bergerak membuka ikat pinggangku.
Aku telah diseretnya ke dalam suatu petualangan di negeri entah-berantah. Keringat di tubuhnya yang tembaga, berkilat dalam cahaya malam, membuatnya seperti batu pualam. Pada malam yang sungguh-sungguh jahanam itu, ia telusuri segenap lekuk tubuhku dan kutelusuri segenap lekuk tubuhnya. Begitulah aku digulungnya, seperti gelombang laut menyerbu daratan.

Sastrawan kelahiran Boston 1958 ini melukiskan karakter homoseksual pada tokoh dia merupakan betuk penyimpangan karena dengan sengaja ingin merusak hubungan heteroseksual antara tokoh aku dengan kekasihnya, sedangkan aku tidak bisa menolak untuk jatuh cinta pada seorang wanita. Sastrawan yang namanya tercatat sebagai pengarang sebagai sastrawan garda depan ini melukiskan kemarahan totoh dia pada tokoh aku saat tercium bau wanita ditubuh tokoh aku,

“Diam kamu! Dasar laki-laki mata keranjang! Laki-laki memang tidak pernah bisa dipercaya! Apa kamu pikir tidak ada yang seorangpun yang melihatmu waktu keluar dari mote itu? Apa kamu pikir tidak ada yang mengenali kamu waktu kamu menjemputnya di airpot? Pakai peluk-pelukan lagi! Pakai cium-ciuman segala! Kamu pikir tidak ada yang melihat waktu wanita itu merebahkan dirinya di pangkuan kamu dalam mobil? Kamu penghianat!”

Kemarahan dia tak ubahnya saat seorang wanita melihat kekasihnya selingkuh dan bisa dikatakan kemarahan dia telah sampai pada puncaknya ketika saat diambilnya pedang samurai dan di ayunkan pada aku. Dia yang merasa cintanya terberai, terluka dan sakit hati karena merasa di hianati sang kekasih. Penghianatan membuatnya seolah-olah memiliki dendam yang tanpa ampun sampai ingin memotong kemaluan sang kekasih. Tapi melawan cintanya sendiri dia tidak mampu, bagaimanapun dia tak kuasa menyakiti kekasih. Cinta sungguh-sungguh terlalu sukar untuk dipahami dan dikuasai.

Pada satu sisi Seno dalam cerpen Lelaki yang Terindah, menampilkan cinta sebagai sesuatu yang tercerai berai, penuh kontra yang sangat melukai, serta mustahil untuk diwujudkan secara utuh. Cinta yang tak sampai pada kebahagiaan, ini terlihat di akhir dari cerita dia bunuh diri dengan cara menembak kemaluannya dan aku telah telah ditinggalkan oleh cinta baik cinta oleh wanita maupun oleh lelaki hingga yang tersisa hanyalah hati yang patah, perasaan kosong dan kelabu, serta dihantui dosa.
Namun disisi lain Seno juga menceritakan pula tentang betapa agung dan kuatnya cinta dia pada aku, keindahannya saat bercinta. Namun sayang tokoh dia terlihat terlalu berlebihan dan tokoh aku terlihat sekali tadak punya prinsip karena mudah terpengaruh.

Secara keseluruhan cerpen Lelaki yang Terindah diinterprestasikan bahwa bukan merupakan cerpen yang mendukung homoseksual. Namun berkisar tentang pengetahuan bahwa dalam masyarakat kita ada kehidupan yang dimikian. Karena sastra tidak pernah meninggalkan masyarakat.

Cerpen Air Mata Anakku Karya: M. Shoim Anwar

Cerita pendek karya pengarang kelahiran Jombang Jawa Timur ini benar-benar mengangkat kehidupan sehari-hari yang sudah akrab dengan lingkungan kita, dalam cerita ini kita dapat melihat akibat dari cara didikan yang salah dalam lingkungan sekolah. Terlihat dari kutipan berikut,

Dengan diam-diam kami diberi jalan pintas.

Jalan pintas yang dimaksud dalam kutipan tersebut adalah jalan pintas untuk lulus ketika menghadapi ujian nasional saat SMA, niat para guru adalah membantu anak didiknya agar semua lulus dan tentu saja agar nama sekolah tidak tercemar dengan adanya siswa yang tidak lulus. Namun terlihat ssekali bahwa niat untuk membantu pelaksanaannya menghalalkan segala cara. Tanpa sadar guru menjadi pelopor kecurangan.

Pelajaran agama tentang kejujuran yang diberikan selama tiga tahun dipatahkan dalam tiga hari ketika menghadapi UAS, tentu saja siswa-siswi merasa terbantu dengan adanya jalan pintas yang diberikan oleh guru mereka. Akibatnya nilai sempurna yang mereka dapatkan berbanding terbalik dengan pengetahuan mereka, dan sebagian siswa yang memang benar-benar mengerti harus siap-siap kecewa ketika yang siswa yang biasanya titip absen itu lebih unggul dari dia.

Akibatnya pengalaman yang mereka dapat dari sekolah tentang praktek kecurangan, ketidakjujuran, jalan pintas untuk mendapatkan kelulusan terbawa sampai ketika mereka terjun dimasyarakat, tokok Huki contohnya telah mengamalkan ilmu yang didapat ketika sekolah dulu, walau ilmunya tidak ada dalam catatannya tapi begitu mudah ilmunya melekat dalam ingatannya.

Dalam kehidupannya Huki selalu mengunakan jalan pintas dan tidak mau repot, ini ilmu yang tanpa sadar telah diberikan pihak sekolah padanya, sampai pada akhirnya dia begitu takut kehilangan jabatan yang dia dapatkan secara instan, hingga masa pensiunnya dia tetap terbawa angannya haus akan jabatan yang disandangnya. Anak disini menjadi korban orang tua, karena ketika orang tua yang menanam kemungkinan yang akan menuai hasilnya adalah anaknya, demikian juga kebaikan dan keburukan.

Kekurangan dalam cerpen ini adalah cara penyampaian yang kurang begitu langsung dapat dipahami oleh pembaca, dengan sudut pandang orang pertama yang menceritakan dalam keadaan gangguan kejiwaan. Sebagian pembaca ada juga yang binggung dengan judul karena hanya sedikit disinggung di akhir cerita sebagai berikut.

Tangis anakku tambah mengeras. Air matanya mengenai safariku. Santi, anak perempuan terakhirku, seakan tak rela melepas kepergianku ke kantor. Dia sesenggukan di dadaku. Baju safariku terasa makin basah oleh air matanya.

Cerita yang diutaran lebih dominan pada kehidupan sang tokoh yakni orang tua dari pada sang anak yang dimaksud dalam judul. Dibalik kekuranggan tersebut terletak kelebihan pula bahwa sang pengarang begitu detail menceritakan kisah demi kisah. Hal yang menarik dari cerpen ini salah satunya adalah permainan perasaan pengarangnya yang memberikan suasana haru. Membaca karya M. Shoim Anwar pembaca akan dibawa ke kejadian-kejadian yang mengejutkan.

Dalam kisah ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa niat yang baik harus dilaksanakan dengan jalan yang baik pula, apabila dalam suatu lembaga pendidikan diajarkan pola yang seperti dalam cerita tersebut maka ketika siswa-siswi terjun dalam kehidupan masyarakat maka yang terjadi akan menghalalkan segala cara pula untuk kenikmatan dirinya sendiri.

Bekisar Merah karya Ahmad Tohari

Bekisar Merah dan B

elantik hasil Ahmad Tohari berkisah tentang hiruk pikuk kehidupan para tokoh yang hidup di desa kecil Karangsoga, yang kebanyakan penduduknya bekerja sebagai penderes nira kelapa untuk dibuat gula merah kemudian dijual. Terdapat juga sisi lain dari novel tersebut yaitu tentang perdagangan selain gula merah.

Perdagangan tak hanya berlaku untuk barang-barang tertentu, seperti kebutuhan sandang dan pangan. Dalam Bekisar Merah dan Belantik, Ahmad Tohari mengisahkan perdagangan terselubung atas diri anak manusia. Lasi, perawan desa yang mempunyai kelebihan bentuk tubuh dan wajah yang indah, menjadi “barang dagangan baru” yang langka dan sangat berharga bagi ibu Koneng, yang lalu diserahkan ke Ibu Lanting, mucikari tingkat tinggi yang melayani para pejabat, dengan imbalan batu mulia dan kepingan rupiah.

Para pejabat selalu mencari bekisar merah untuk hiasan rumah megah mereka, Bekisar adalah peranakan ayam hutan dan ayam kampung yang mempunyai keindahan bentuk, bulu, dan kokoknya. Lasi sebagai symbol bekisar merah, karena lahir akibat percampuran antara Karangsoga dan Jepang.

Karya-karya Ahmad Tohari identik dengan rasa sakit, keluhan, jeritan seorang wanita. Wanita dijajah dan dihianati. Lasiyah tokoh yang teraniaya, kesetiaan telah diberikan sepenuhkan pada Darsa suaminya yang pertama, ketika Darsa jatuh dari pohon kelapa hingga, bertahun tubuhnya tak berdaya. Lasi dengan penuh kasih mengobati serta merawat Darsa, namun ketika Darsa sembuh, ia berhianat dengan menghamili Sipah.

Akhirnya Lasiyah kabur dan akhirnya Lasi dijadikan barang dagangan, tanpa disadarinya Lasi terjerat pernikahan yang hanya membuat dia dipenjara. Pak Handarbeni menikahi Lasi hanya untuk dijadikan hiasan semata, tak ubahnya seperti bekisar merah. Semua kebutuhan materi tercukupi namun Han tidak bisa memberinakah batin Lasi, karena Han menderita ‘lemah pucuk’. Yang teramat menyakitkan, kala Han member kebebasan Lasi untuk memilih teman laki-laki untuk menyalurkan nafsunya, asal Lasi tetap tutup mulut dan tetap mau menjadi bekisar diistana handarbeni. Tak cukup penderitaan itu, Lasi direbut Bambung. Dan dengan sengaja Handarbeni menyerahkannya, tak ubahanya menyerahkan binatang peliharaan.

Tokoh Lasi tampak begitu lugu, mengikuti aliran air tidak berpikir untuk melawan arus. Tokoh perempuan Ahmad Tohari benar-benar dibuat lemah tidak mampu melawan. Pergulan emosi pembaca dituntun sampai pada akhir cerita, Kanjat berhasil menolong Lasi, menyatukan cinta yang selama ini terpisah. namun sayang akhir cerita sudah bisa tertebak didepan, hingga pembaca tidak mendapat sesuatu yang mengejutkan diparagraf terakhir. Akhir kisah yang identik sama dengan negeri dongeng. Apa memang karena Negara kita sudah terbiasa dengan “akhir yang bahagia”.

Satrawan yang selalu mendapat inspirasi dari desanya ini, menggambarkan kemiskinan penduduk dengan sangat menyentuh. Pemahaman kondisi sosial masyarakat miskin, yang erat kaitannya dengan struktur perdagangan gula yang tidak pernah adil, digambarkan dengan sangat rinci. Kekuatan lain dari karyanya adalah pemaparan yang sangat nyata tentang alam pedesaan.

Pembaca seolah dibawa ke alam pedesaan hingga dapat merasakan angin sejuk pagi hari yang semilir, menyaksikan burung jalak yang memberi makan anak-anaknya, kelentang-kelentung bunyi pongkor, ataupun gemericik sungai Kalirong yang jernih yang airnya mengalir lewat batu-batu berlumut. Pemahaman tentang masalah sumber daya alam juga sangat dalam, misalnya tentang perusakan hutan tutupan oleh penduduk setempat karena faktor kemiskinan mereka.

karena keakrabannya dengan alam pedesaan, dengan enak novelis kelahiran 13 Juni 1948 ini menggambarkan pergulatan tokoh-tokoh dalam ceritanya, cengkeraman struktur politik negara yang selalu tidak adil bagi rakyat kecil. Bahkan pemaparan tentang kehidupan dalam kemiskinan seseorang, di mana yang ada hanyalah kepasrahan total. ketika listrik mulai masuk Karangsoga, pohon-pohon kelapa penduduk harus ditebang. Akibatnya tetu saja menambah susah para penduduk dalam mata pencaharian.

Karena suara mesin gergaji yang terus meraung-raung, makin banyak orang keluar dan berkerumun menyaksikan penebangan pohon-pohon kelapa itu. Tetapi mereka diam. Wajah mereka adalah gambaran kepasrahan. Atau ketidakberdayaan.

Terlihat saat kanjat ingin membuat perubahan dalam pengolahan nira rupanya penduduk Karangsoga belum dapat menerima perubahan tersebut.
“Dalam penelitian ulang kami menemukan pengolahan nira secara masal dengan cara modern yang kami rencanakan ternyata akan menghadapi banyak kesulitan. Para penyadap tak akan mau menjual nira karena hal semacam itu baru bagi mereka. Para penyadap masih sangat sulit menerima perubahan”

Tidak ada alternatif. Kemarahan karena perlakuan yang tidak adil dalam hidup tidak tahu harus ditumpahkan kepada siapa. Kepekaan Tohari dengan kehidupan masyarakat miskin membuat berhenti sejenak dan merenung. Membuat kita berpikir dan merasakan, betapa ada jenis kehidupan lain yang berbeda dengan jenis kehidupan kita. Betapa masih ada tempat dengan keadaan yang masih asing. Namun, sesuatu yang asing tersebut mampu menumbuhkan nurani yang sudah terbiasa oleh kenikmatan materi dalam hidup sehari-hari.

Karya yang cocok untuk dibaca bagi seorang yang masih hidup dalam kekeringan aroma pedesaan, dan jauh dari kesejukan alam. Cocok pula untuk seorang yang masih belum berpengalaman menjelajahi ibu kota, agar lebih bisa membaca keadaan. Harus pandai memanfaatkan keadaan sebelum dimanfaatkan. Karena terkadang ibu kota lebih kejam dari pada ibu tiri.

Apresiasi Puisi

Kupu Malam dan Biniku Karya; Chairi Anwar

Kupu Malam dan Biniku, sebuah puisi karya Chairil Anwar. Puisi yang dari segi bentuk masih terikat dengan aturan-aturan menulis puisi. Bentuknya berbait-bait, dan rimanya begitu diperhatikan.

Penyair yang lahir pada tanggal 22 Juli 1922, ini menulis puisi berjudul Kupu Malam dan Biniku. Puisi bertema pelacur, walau tidak ada kata-kata nyata tentang penjaja kenikmatan. Namun dapat dilihat dari judul. Kupu Malam identik dengan sebutan untuk penggila uang dan seks, yang biasa beterbangan dimalam hari.

Dalam puisi tampak sang aku usai mendatangi kupu malam. Terlihat dari barisan puisi berikut ini; Sambil berselisih lalu// Mengebu debu// Kupercepat langkah. Tak menoleh ke belakang. Ia segera bergegas pulang dan tak ingin lagi mengenang apa yang telah dilakukan.

Baris berikutnya ia mengakui, kalau ia telah mengoreskan luka dihati seseorang atas perbuatannya. Ngeri ini luka-terbuka sekali lagi terpandang// Barah ternganga.
Sang aku mulai teringat, perbuatannya melukai hati istrinya. Yang telah hidup dalam bahtera rumah tangga selama tujuh tahun. Melayang ingatan ke biniku// Lautan yang belum terduga// Biar lebih kami tujuh tahun bersatu.

Namun rupanya ia kembali menghilangkan rasa bersalahnya, dengan mencari kelemahan sang istri. Karena perasaannya mengatakan, mungkin saja selama mereka bersama, tanpa sepengetahuannya, istrinya juga telah menipunya diam-diam. Barangkali tak setahuku// Ia menipuku. Karena istrinya memang bagai Lautan yang belum terduga.

Tikus Berijazah

Sinopsis
Kehidupan yang semua serba mudah dirasakan Ilham dari kecil, lulus SMA dengan modal menjual sawah, ibunya berhasil memasukkan dia menjadi salah satu orang penting di perguruan tinggi swasta ternama di ibu kota. Ketika dia dituntut untuk menenpuh pendidikan lebih tinggi, dengan mudah dia mengambil kuliah yang hanya membayar sekian harga sudah didapat gelar . Kini, ketika Ilham berumah tangga ia selalu dituntut istrinya agar mempunyai pendapatan lebih. Karakter yang sudah dibentuk sejak masih pelajar kini membentuk sosok koruptor pada diri Ilham.

Sementara Laras, anak Ilham dan Wulandari tidak suka dengan kehidupan mewah yang diberikan orangtuanya karena ia mengetahui dari mana ayahnya mendapatkan semuanya. Suatu hari Wulandari selingkuh dengan Rosyid. Tini meninggal, Ilham ketahuan korupsi dan dipenjara. Wulandari lebih memilih Rosyid yang mempunyai segalanya, Ilham dicampakkan. Penyesalan mendera hati Ilham, hanya Laras harapan satu-satunya.

Tokoh-tokoh
Iman Muhtadi sebagai Ilham, suami berusia 40 tahun, koruptor dank keras.
Noordina Fahmiati sebagai Wulandari, istri berusia 37 tahun, matrealis, cerewet.
Titin Supriatin sebagai Laras, gadis berusia 17 tahun, keras kepala.
Siti Sarokha sebagai Tini, nenek berusia 57 tahun, lemah, penuh penyesalan.
Didin Muslim sebagai Rosyid, lelaki berusia 40 tahun, sombong.
Albiyah sebagai Retno, wanita berusia 30 tahun, sabar.

Bagian 1
Sebuah ruang tamu sederhana, hanya ada satu meja dan dua kursi kayu. Gelas berisi air putih masih ada dimeja, dari dalam suara batuk Tini terdengar nyaring. Perlahan dengan langkahnya tertatih ia menghampiri kursi, tetap dengan batuk yang kian nyaring.

Tini : (Membenahi letak jilbabnya) Semoga tidak ada orang yang mengalami seperti aku, (batuk-batuk) hidup hanya menanggung penyesalan (minum).
Retno : Assalamualaikum!
Tini : Waalaikumsalam, kamu Retno?
Retno : Bu Tini pasti belum makan (menyiapkan makanan) makan dulu bu.
Tini : (Terisak, menangis) harusnya anakku yang menyiapkan semua ini, tapi memang sudah nasibku, ini juga kesalahanku dalam mendidik dia.
Retno : Sudahlah Bu Tini makan dulu, tidak ada orang tua yang sengaja mendidik anaknya dengan cara yang salah. Berdoa saja semoga dia cepat sadar.
Tini : Kamu sering bertemu dia di kampus? Bagaimana perlakuannya?
Retno : Pernah, tapi tidak sering bu. Kalau ada rapat-rapat saja, menurut saya wajar saja bu perlakuannya. Tidak lama akan ada rapat dengan yayasan, saya dengan aka nada pemeriksaan kepengurusan.
Tini : Ya, semoga dia tidak kenapa-kenapa saya khawatir.
Retno : ibu berdoa saja. Oya saya pamit dulu bu, mau periksa kandungan. Assalamualaikum.
Tini : Waalaikumsalam. (Mulai memakan sesuap nasi, namun batuknya kian menjadi. Dibawanya nasi dan gelas kedalam)

Bagian 2
Sementara dirumah Ilham semua serba mewah, namun dia tak lagi ingat jika mempunyai seorang ibu yang butuh naungan.
Wulandari : (Mondar-mandir) Ayah ini, belum pulang juga. Sudah sore. Mamapir kemana saja!
Ilham : (menyerahkan tas kerjannya pada Wulandari) Laras apa sudah pulang Bu?
Wulandari : belum (ketus)
Ilham : (Duduk sambil melepas sepatu) kamu kenapa Bu? Suami datang kok ketus begitu. Bukannya dibuatin kopi, menyiapkan air buat mandi. Ayah ini capek seharian kerja!
Wulandari : (Membawa segelas air) capek apa?! Ayah dikantor juga Cuma duduk saja, Ibu sudah hafal. Orang-orang seperti Ayah ini tidak bisa apa-apa, hanya bisa suruh sana suruh sini. Apa yang bisa Ayah lakukan hanya dengan gelar-gelar yang kau dapat secara instan?
Ilham : Bu! Apa maksud Ibu bicara seperti itu? Bagaimanapun pekerjaanku telah banyak memberi kemakmuran pada kehidupan rumah tangga kita.
Wulandari : sejahtera dari mana Yah? Ibu kan sudah lama minta ganti mobil seperti punyanya Bu Warti sampai sekarang tidak dibelikan. Suaminya bu Warti itu juga Cuma guru SMP, buktinya bisa ganti mobil tiap satu tahun sekali. Harusnya kita bisa seperti itu! Ngakunya Rektor di Universitas, tapi istrinya hanya bisa membawa mobil kampungan. (membuang muka)
Ilham : Diam mulutmu! Tak pantas kata-kata itu keluar dari bibir indahmu. Apa yang masih kurang? Perhiasan? Tak pernah jari-jarimu itu lekang dari cincin, pergelangan tanganmu tak pernah sepi dari gelang, lehermu selalu bergantungkan kalung berlian, telingamu tak luput dari anting! Sampai bibirmu tak pernah lepas dari gincu. (sambil bertolak pinggang)
Wulandari : Baru seperti itu saja sudah bangga!
Ilham : (sambil menunjuk) masih kurang?! Apa kau tak tahu? Untuk mendapatkan semua ini aku harus meluluskan mahasiswa yang berani membayar mahal. Kupakai juga uang pembangunan, Semua itu untuk kecukupan keluarga kita.
Wulandari : Harusnya Ayah mendapat lebih banyak lagi, jangan tanggung-tanggung Yah. Jangan kalah dengan Gayus Tambunan yang berani korupsi 28 Milyar. Mumpung ayah masih punya kekuasaan.
Ilham : Bagaimana kalau Ayah ketahuan? Bisa dipenjara Bu. Sepertinya yayasan sudah mulai curiga denganku. Tak lama akan ada pemeriksaan, aku pusing. Sementara kau hanya menuntut. Kamu kira semua ini semudah membalikkan telapak tangan. Kamu juga rela kalau suamimu dipenjara seperti Gayus!
Wulandari : Itu bagaimana Ayah saja, melakukannya dengan rapi.
Laras : (menggebrak pintu) bosan aku! Tiap hari hanya suara-suara menyakitkan telingga kudengar. Tak pantas kemewahan ini disebut rumah! Apa yang mau Ayah Ibu contohkan pada Laras?! Kegaduhan? (marah)
Ilham : Laras! (membentak) Berani kamu membentak orang tua, siapa yang mengajari kamu?
Laras : Yah, bukan Laras membentak orang tua. Tapi sifat orang tua yang tidak bisa menjadi orang tua yang Laras bentak. Laras tahu, seburuk-buruk orang tua tetap mereka bagai kitab suci, yang hanya orang-orang suci yang boleh memegang.(melemah)
Wulandari : kami juga berdebat untuk kepentinganmu Ras, Ibu ingin kamu hidup dalam kecukupan.
Laras : Apa kepentingan Laras? Ibu hanya sibuk dengan kepentingan sendiri, sibuk dengan harta yang selalu kurang menurut Ibu. Laras tak ingin semua ini, Laras juga tahu dari mana ayah mendapat semua ini, Laras tahu Yah.
Ilham : Apa yang kamu tahu? Kau jangan sok baru dua minggu kau jadi mahasiswa, sudah mau mnggurui Ayah.
Laras : Ayah, Laras hanya ingin ayah menghentikan apa yang selama ini ayah lakukan.
Ilham : Kalau kau tak suka, boleh pergi. Cari jalanmu sendiri. (Marah, menampar Laras) memang tak tahu diuntung!
Laras : (Tanpa suara, menatap orang tuanya dengan tajam kemudian meninggalkan rumah)
Wulandari : Laras! (menarik tangan Laras namun tak kuasa menahan)


Bagian 3
Ilham : (Memakai sepatu) Bu, dasiku mana? Ayah buru-buru.
Wulandari : (membawa dasi, memakaikan keleher Ilham) Ayah tidak sarapan dulu?
Ilham : Tidak ada waktu bu, ini ada rapat dengan yayasan.
Wulandari : Apa kita tidak coba mencari Laras Yah? Bagaimanapun dia anak satu-satunya.
Ilham : Itu urusan kamu sebagai ibunya, urusanku mencari nafkah untuk kalian. (sambil berlalu)
Wulandari : Terserah. (bergumam) begitu mudahnya dia melempar taggung jawab seorang anak padaku,dia kan juga Ayahnya. Mencari sendiri? Lebih baik kau suruh aku menghitung uang dan perhiasan sendiri, itu lebih menyenangkan (sambil memainkan semua perhiasan di tangannya)
Rosyid : Assalamualaikum! (sambil mengetuk pintu)
Wulandari : (penuh keheranan, membelalakkan mata) Waalaikumsalam! Kamu Rosyid? Teman mas Ilham kan?
Rosyid : Ya iyalah mbak! Mana Ilham mbak? (sambil memainkan kunci mobil)
Wulandari : Baru saja berangkat ke kampus, ada rapat kepengurusan katanya. Oya katanya kamu di Jogja? Kapan datang? (dengan senyum kekaguman) wah gawat kamu bisa menggeser jabatan Mas Ilham di kampus.
Rosyid : Mbak bisa saja, tapi yang pasti tidak bisa menggeser mas Ilham dari hati mbak Wulan kan?
Wulandari : Husss… kalau ada yang lebih baik kenapa tidak? Kamu mau minum apa? Panas atau dingin?
Rosyid : Dingin saja nanti dihangatkan dengan senyum Mbak Wulan.
Wulandari : Kamu Syid dari dulu tidak berubah, sudah jangan panggil mbak. Memangnya aku sudah tua? Kamu ada perlu dengan mas Ilham? (sambil berlalu mengambil minuman)
Rosyid : Memang boleh aku panggil Wulan? Ehmm…sebenarnya tidak.
Wulandari :Lalu ada perlu apa kau kemari? (membawa segelas minuman, duduk disamping Rosyid, penasaran)
Rosyid: : Menemuimu (sembari meraih tangan Wulan). Dari dulu sebenarnya aku ingin mendapatakanmu, sayang…Ilham mendahuluiku. Sekarang aku sudah punya segalanya, hmm…hanya kau yang belum kumiliki. Aku punya sesuatu buat kamu mbak, eh Wulan. (sambil mengeluarkan sesuatu dari saku celana)
Wulandari : Apa itu?
Rosyid : (mengambil gelas dari tangan Wulan, menaruhnya dimeja) Kado istimewa, dari orang istimewa, untuk yang teristimewa, coba balikkan badanmu (memasangkan kalung keleher Wulan)
Laras : (menarik kalung yang akan dipasangkan dilehar Wulandari dan melemparnya) Murahan! Apa tidak ada tempat lain untuk melakukan adegan murahan Ibu ini, jangan menambah hina rumah ini. (naik pitam)
Wulandari : (kaget, kehilangan kata-kata)
Rosyid : (tangannya mencoba ramah menyapa Laras) Hey Laras, sudah besar kamu sekarang ya? Ooww sepertinya kalung itu lebih cocok buat kamu. (menujuk arah kalung)
Laras : (Menarik Ibunya dengan amarah) Mana Ayah? Pantas seorang istri menerima tamu tanpa sepengetahuan suami, seisi rumah ini lama-lama bukan hanya bejat tapi juga bodoh! Tak punya otak!
Wulandari : Jaga mulut kamu Laras (mencoba meredam emosi, memeluk Laras) kamu dari mana nak? Tinggal dimana dengan siapa? Ibu cemas.
Laras : Bulsyit semua kata-kata Ibu! Laras sudah tak butuh perhatianmu, (berpaling kearah Rosyid yang tetap mengembangkan senyum) Ternyata lama di Jogja ini yang anda dapatkan, mana adat ketimuran anda Tuan Rosyid yang terhormat? Sebaiknya segara anda angkat kaki dari sini, sebelum kata-kataku menghancurkanmu.
Rosyid : Ok. Aku akan pergi, tapi aku akan kembali dengan membawa kemenangan. (Berlalu)
Laras : Laras kecewa dengan ibu, Laras kembali ingin memperbaiki semuanya tapi semuanya percuma. Laras akan pergi dari sini.
Wulandari : Laras…(mencoba menghentikan)
Laras : (tetap berlalu)
Wulandari : Kenapa Laras harus datang disaat tidak tepat, lebih baik aku pilih Rosyid dan meninggalkan Ilham.

Bagian 4
Kabar dipecatnya Ilham dari Universitas akibat tindak korupsi dana pembangunan gedung, telah menyebar luas. Kini Ilham mendekam di hotel prodeo. Laras menghampiri nenek.
Retno : Ibu bagaimana kabar hari ini? Batuknya sudah mendingan? Ini ada kue Bu dari Kampus. Tadi ada rapat.
Tini : Ilham juga ada Ret?(batuk-batuk, memegang dada)
Retno : Itu yang ingin saya kabarkan pada Ibu. Tapi Ibu harus tabah menerimanya.
Tini : Katakan saja Ret, apapun yang akan terjadi Ibu akan berusaha sabar.
Retno : Ternyata pak Ilham kedapatan korupsi dana pembangunan gedung kampus, kini beliau sedang diproses pihak kepolisian.
Tini : Ini semua salah Ibu, sepeninggal Ayah Ilham Ibu berusaha membahagiakannya. Dulu Ibu begitu berkeinginan Ilham mendapat jabatan penting. Tak begitu sulit dengan modal sawah dan tentu saja karena Ibu punya kenalan orang dalam Ilham langsung menempati posisi rektor di Universitas itu, tentu saja gelar Ilham yang panjang itu hanya sebuah gelar. Ilham tak mempunyai pengalaman atau kecerdasan apapun. Keahlian Ilham hanya memerintah (menarik nafas), kini hanya penyesalan yang Ibu rasakan. (batuk-batuk, memegangi dada yang semakin sesak dan sakit) kini dia harus membayar semuanya.
Laras : Nek! Ibu nek…Ibu selingkuh dengan sahabat Ayah (menangil sambil memeluk Nenek)
Tini : Apa? (memegang dadanya, nafasnya semakin sesak). Nenek sudah lelah mendengar kabar kedua orangtuamu, kenapa malaikat menjemputku dengan cara seperti ini.
Laras : Nenek bicara apa? (melepas pelukan, sambil melihat mata Nenek)
Tini : Ayahmu kedapatan korupsi, Ibumu ketahuan selingkuh. Apa lagi yang Nenek harapkan? Hanya kau Laras…jangan sampai kau seperti mereka. (Akhirnya tak mampu menahan beban tubuhnya dan menghembuskan nafas terakhir)
Laras : Nek, nenek… bangun nek. Nenek harus bangun, Laras tidak punya siapa-siapa lagi. (tangis Laras bersatu dengan dendam dan amarah)
Retno : Ikhlaskan Nenek…mungkin ini jalan terbaik untuknya Laras. Sudah! Ibu akan kabarkan kepada warga. Sebaiknya kau segera member kabar ayahmu.



Bagian 5
Di hotel prodeo Ilham meratapi nasibnya, semua kemegahan yang dibangga-banggakan telah sirna dalam sekejap. Ia meratap, merintih memohon ampun. Laras menemuinya diruang tunggu.
Laras : (menjabat dan mencium tangan Ayah) bagaimana kabar Ayah? Kita harus bisa mengambil hikmah dari semua ini.
Ilham : Seperti yang kamu lihat, Ayah kesepian, Ayah menyesal, Ayah malu denganmu (menitikkan air mata) bagaimana kabar nenek? Ah belum pernah Ayah membahagiakan nenek. Setelah apa yang semua ia lakukan untuk Ayah. Nenek rela hanya bertempat tinggal digubuk, karena semua kekayaan nenek untuk membiayayai Ayah. Kenapa kamu sendirian dimana Ibumu?
Laras : (menahan haru, mengatur nafas) Nenek Yah…
Ilham : Ada apa dengan Nenekmu?
Laras : Nenek… Nenek telah menghadap-Nya.
Ilham : (matanya berkaca-kaca, mulutnya hanya komat-kamit tanpa suara)
Rosyid : (mengandeng tangan Wulandari) Hay sobat… apa tidurmu nyenyak ditempat barumu ini?
Ilham : (Menunjuk Wulan keheranan) Kenapa kamu bersamanya?
Rosyid : Oww… Wanitamu terlalu cantik untuk kau terlantarkan, biarkan dia menghiasi singgasanaku.
Ilham : Biadab! Kalian ternyata menusukku dari belakang. (mengayunkan pukulannya kearah Rosyid)
Laras : (menghentikan tangan Ilham) Hentikan Yah? Jangan kotori tangan Ayah!
Wulandari : Maafkan aku, apa yang kuharapkan lagi dari orang sepertimu, menantimu keluar dari penjara? Harus berapa lama?
Rosyid : Sudahlah sayang, jangan buang waktu. Ayo kita tinggalkan tempat kotor ini, singgasana kita telah menanti. (berlalu dari hadapan Laras dan Ilham)
Laras : Sudahlah Yah, biarkan mereka pergi. Laras akan selalu bersama Ayah, anggap semua ini harga yang Ayah bayar. Semua telah lunas, Ayah harus yakin nanti kita bisa memulainya dengan lebih baik. Laras yakin kita bisa,

Ilham mempunyai waktu untuk memperbaiki dirinya, dalam kesendiriannya Ilham semakin mendekatkan diri pada Ilahi.

Selesai

* di pentaskan di IKIP WIDYA DARMA

Puisi dari Dia

Titian waktu mengayun tak jemu
Ialah derai yang jinakkan langkah itu
Tiap ombak merindu pada dahaga
Impian lahir sunyikan lekuk dada
Nyanyi syahdu itu mengiang selalu

Sepi telah menjelma jadi gemuruh
Udara mengabur di kaca
Puisi menguncup pada bekas luka
Renai tak akan turun malam itu
Interlude telah rekatkan dua dunia
Ada detik yang mengukir cemas
Tratap di jantung mengalir pada bibir
Impian hari kian membukit
Nama menjelma jadi samodra

Kamis, 02 Juni 2011

JELMAAN ALAM

Kabut semakin tebal menghalangi pandanganku, udara dingin semakin menusuk tulangku. Kukuatkan kakiku melangkah menyusuri jalan yang kini sudah beraspal, yang ku ingat dulu jalan ini penuh dengan batu-batu. Sudah banyak yang berubah dari desaku disamping jalan tak lagi ada pohon yang rimbun. Aku berjalan menuju rumah Rahman.
Tapi banyak yang berubah rumah-rumah sudah banyak yang baru, aku bingung dimana rumah Rahman seingatku dulu dirumah Rahman ada pohon cerme, aku biasa duduk memanjat untuk mengambil buahnya yang ranum, aku merindukan semua itu. Tapi aku masih bertanya-tanya kenapa desa ini begitu berubah padahal hanya sebentar aku meninggalkannya.
Kini perutku sedang berdangdutan rasa lapar menyerangku, aku masih melihat di sekitarku mencari warung makan tapi lagi-lagi kabut ini menghalangiku, tidak tahu persis saat ini pukul berapa. Dari belakang ada seorang penjual nasi uduk dengan membawa sepeda.
“Nasi uduk mas.”
“Ya mbok, satu.”
“Sepertinya wajah mas ini tidak asing.”
“Tentu saya kan warga Tegalrejo asli mbok.”
“Namanya siapa? Kok saya tidak tahu?”
“Ruslan. Oya mbok rumah Rahman sebelah mana ya?”
“Ruslan suaminya Ndari, di ujung sana yang banyak bunganya.”
“Suaminya Ndari, kapan dia menikah?”
“piye to, ya sudah lama sudah punya anak satu.”
Selesai mbok membungkus nasi uduk aku merogoh sakuku aku masih ingat aku membawa uang seribu waktu berburu dan belum kugunakan.
“Berapa mbok?”
“Empat ribu.” Aku kaget kenapa mahal sekali dari mana ku dapat uang sebanyak itu
“Mbok tidak salah? Tapi uangku Cuma ada ini.”
“Salah bagaimana ya tidak, ini uang tahun berapa sekarang sudah tidak laku mas. Ya sudah kamu kan warga Tegalrejo kapan-kapan pasti bertemu.”
Mbok meninggalkanku dengan masih meninggalkan segudang pertanyaan, aku duduk menikmati nasi uduk. Mungkin hari ini masih pagi karena ada orang keliling jual sarapan. Tak lama aku melanjutkan perjalanan, kali ini kabut mulai menghilang dan banyak orang-orang yang berangkat kesawah. Salah satu diantara mereka ada yang menatapku dengan tajam kemudian memelukku.
“Ruslan, kamu kembali juga.”
“Maaf, bapak siapa?”
“Ah kamu masih muda Ruslan, aku Joko temanmu.”
“Joko? Kenapa kau setua ini?”
“Memang sudah saatnya tua Rus, kamu yang aneh kenapa bisa awet muda seperti ini?”
“Bisakah kau antar aku kerumah Rahman? Kita cerita nanti disana.”
“Pasti kawan, ayo!”
Sebenarnya aku ingin langsung ketemu dengan ibu, tapi aku ingin mengajak Rahman untuk menjelaskan kenapa aku tidak pamit, jalan ini sekarang beraspal tak ada lagi bebatuan yang sering menyakiti kaki ketika kaki telanjang. Rumah Rahman sudah dekat banyak bunga didepan rumahnya tapi tak kulihat pohon cerme. Sejak kapan Rahman menyukai bunga, sungguh semua telah berubah.
“Kita sudah sampai, nanti kita bertemu lagi sekarang aku tinggal dulu kesawah, tidak enak jika terlambat karena aku hanya buruh Rus.” Joko menepuk pundakku dan berlalu. Ku ketuk pintu Ruslan dengan ragu, rumah ini sekarang besar tak seperti dulu. Tak lama pintu terbuka seorang lelaki paro baya muncul dari balik pintu ketika dia melihatku langsug dia memelukku denga erat, apa dia Rahman.
“Ruslan. Kaukah ini? Kau begitu awet muda setelah menghilang tak kasih kabar, syo kita masuk kukenalkan pada istri dan anakku.”
Aku bagai kerbau yang dicocok hidungnya aku hanya menurut mengikuti Ruslan, seorang ibu dan anak duduk dimeja makan, sejak kapan Ruslan berkeluarga kenapa dia tidak mengundangku.
“Ruslan, aku istri Rahman apa kau masih ingat denganku?” aku pasti ingat dia Ndari wanita yang di idam-idamkan Rahman dari dulu karena kealimannya, garis kecantikannya tak pudar.
“Ceritakan pengalamanmu Rus! Apa resepawet mudamu?”
Rahman untuk kesekian kalinya menepuk pundakku, aku masih tidak mengerti dengan pertanyaan-pertanyaan yang dilemparkan oleh Rahman. Setahuku aku berpisah dengannya hanya beberapa hari tapi kenapa Rahman sudah setua ini, pasti ada sesuatu yang ganjil dengan semua ini.
“Man aku pulang dulu, nanti kita cerita lagi. Antar aku pulang ku sudah kengen dengan ibu Man.”
“Tabahkan hatimu Rus, ibumu sudah tiada. Bagaimana kalau kita kamakamnya sekarang.” Aku terpaku, Rahman mengambil peci hitamnya dan mengenakannya, aku mengikuti Rahman tanpa kata.
Aku berhadapan dengan gundukan tanah yang tak didalamnya terdapat ibu tercintaku semoga Allah mengampuni segala dosa ibu dan menerima semua amal ibu. Aku tercengang melihat tahun meninggal ibu yang tertulis dibatu nisan, tahun 2000 padahal seingatku saat aku pergi tahun 1990, berjuta pertanyaan bertarung dalam kepalaku.
Makam ibu terlihat bersih pasti Ruslan yang telah merawatnya,
“Bagaimana dengan rumahku Man?”
“Aku dan Ndari selalu merawat rumahmu. Sejak kau pergi ibumu jatuh sakit, aku berusaha mencarimu sampai dengan bantuan dukun tapi mereka bilang kau akan pulang dengan sendirinya, ibu sempat sehat dan hidup normal tapi ibu tak dapat melupakanmu begitu saja diam-diam ibu tetap memikirkanmu dan kembali jatuh sakit.”
“Antarkan aku pulang Man!” Kataku datar, kami beranjak meninggalkan makam ibu tapi doaku selalu terlantun untuk ibu, betapa aku merindukan ibu. Sepanjang perjalanan airmata ini berlinang, Rahman berusaha menguatkanku.
Rumahku terlihat paling tua namun tetap rapi, pasti Rahman merawatnya dengan baik. Isi rumah masih tetap seperti yang dulu, kamarku tetap terawat dan masih terletak foto Ningsih dimeja pojok kamarku, gambarnya buram tak lagi bisa di lihat dengan jelas.
“Man, bagaimana kabar Ningsih?”
“Dia menikah dengan Joko, tapi belum dikaruniai anak.”
Aku terpukul tapi bagaimanapun kau mengerti pasti Ningsih tidak bisa menungguku yang tidak jelas kabar beritanya, tapi aku tetap mencintainya.
“Rus, sekarang kamu harus menceritakan mengalamanmu selama dua puluh tahun kamu menghilang! Apa yang kamu lakukan selama itu?”
“kau masih ingat saat kita berburu kehutan?” Rahman mengangguk dan aku mulai bercerita.
***
Hutan yang lebat penuh dengan pohon-pohon yang hijau, hewan-hewan masih berkeliaran dengan bebas. Suara burung-burung sangat merdu. Aku bersama Ruslan baru pulang dari sekolah selesai makan kami selalu punya kegiatan rutin, berburu kelinci, Ruslan pemburu yang handal tak jarang dia selalu mendapat buruan lebih dulu.
Ruslan telah mendapat buruannya, sementara aku masih sibuk mengejar buruanku, hewan itu berlari kencang aku hampir kehilangan jejaknya namun mataku ini sudah biasa dengan mencari jejak, hewan lincah itu masuk kesemak-semak aku mengendap-endap seekor lalat hinggap ditelinggaku, membuyarkan konsentrasiku. Sungguh hewan yang lincah tiba-tiba lenyap dari pandanganku, terus kutelusuri tapi aku tertegun melihat pohon didepanku, sepertinya baru pertama aku melihatnya. Aku mendekat terfokus dengan lubang yang ada dibatang pohon itu, aku menyentuhnya.
Tiba-tiba aku berada ditempat yang asing, bahkan tak pernah ku bayangkan sebelumnya sebuah istana yang megah, bagus, tapi sepertinya bangunannya sudah tua. Tempatnya sepi tiada penghuni ku langkahkan kaki memasuki istana, belum sempat kubuka pintu terbuka dengan sendirinya. Seorang gadis menuntunku.
“Selamat datang di Kerajaan kami.”
“Kerajaan apa ini?”
“Nanti kau akan mengetahuinya, sekarang kau ikutlah aku menemui rajaku. Raja menunggu kehadiranmu, kami butuh pertolonganmu anak muda.”
Sepertinya istana ini sangat sejuk tapi ada yang aneh kesejukan itu tak dapat terpantul seakan ada sesuatu yang mengakibatkan semua ini terjadi, aku masih mencari jawaban untuk itu, sementara gadis ini terus melangkahkahkan kaki dan aku mengikutinya. Kenapa juga istana semegah ini begitu sepi tiada banyak penghuni, aku bersabar untuk tidak bertanya apa-apa pada gadis ini.
“Wajahmu begitu banyak tanya, bersabarlah semua kan terjawab jika bertemu dengan raja.”
“Kamu tahu apa yang aku pikirkan, tapi aku akan bersabar menanti jawabannya.”
Dia tersenyum indah, aku teringat senyum Ningsih. Kelinci itu gagal ku dapatkan untuk dia, Ningsih begitu menyukai kelinci apalagi itu pembirian dari hasilku berburu asal aku tidak melukainya. Senyumku tiba-tiba membias karena teringat Ningsih, gadis itu melirikku.
“Namaku Seruni, kamu teringat kekasihmu?”
“Ya, aku tadi ingin menangkap kelinci untuknya.”
“Ruslan, kelinci itu akan lebih senang hidup dialamnya, dari pada dalam pangkuan kekasihmu.”
“Kau tahu namaku?”
Seruni diam tak menjawab, langkah kakinya diperlambat. Dua orang berpakaian seperti prajurit memberi hormat pada Seruni seraya membukakan pintu sebuah kamar. Seorang wanita separo baya sedang menunggui suaminya terbaring tak berdaya, sebuah kamar yang megah dengan ranjang berukir terbuat dari kayu yang begitu apik. Seruni mengajakku mendekat.
“Ayah, Seruni datang dengan Ruslan.”
“Ayah sudah lama menunggunya.”
“Ruslan ini ayahku, ayah sedang sakit dan ingin meminta pertolonganmu, ayah masih berharap bisa sembuh. Ayah masih ingin memimpin kerajaan ini.”
“Kenapa harus aku? Raja sakit apa? Aku tidak bisa apa-apa.”
“Banyak hal yang tidak kau ketahui Ruslan. Kamu suka berburu kehutan, menangkap kelinci untuk kekasihmu.”
“Apa salah dengan yang kulakukan itu?”
“Salah tapi kamu masih tiada apa-apanya dari pada kesalahan orang-orang selain kamu yang menyebabkan aku sakit seperti ini, manusia memang hanya ingin kesenangannya tanpa mengindahkan kepentingan alam yang juga harus diperhatikan, mereka menebang pohon dengan liar.”
Seorang prajurit memberi hormat lalu berkata
“Manusia tidak lagi mau menanam pohon, namun mereka selalu menebang pohon yang telah dewasa, hingga hutan menjadi gundul, dan akibatnya semua air hujan menjadi banjir karena tak dapat lagi diserap oleh akar-akar pohon, dengan mengendap-endap dimalam hari agar tidak diketahui, tanpa mereka sadari dengan menebang pohon-pohon itu dia menghancurkan hidupnya sendiri lihatlah banyak korban manusia terseret banjir itu juga karena penebangan pohon liar.”
“Apa yang bisa kulakukan?”
“Ingatkan mereka Ruslan!” raja tak melanjutkan kata-katanya, Seruni mulai menerangkan
“Ayahku ini sudah tua sekali Ruslan, sekarang dia sakit dan susah untuk disembuhkan, itu tak lain karena ulah manusia yang menghancurkan alam. Ayah masih menyayangi manusia yang masih membutuhkan alam maka ayah masih bertahan untuk hidup, ayah akan sembuh jika ada penghijauan kembali hutan-hutan yang telah rusak.”
“Lihatlah istana kami yang begitu luas namun tiada berpenghuni, satu persatu mereka mati mengenaskan, kini tiba giliranku untuk menunggu kematianku dalamistana yang menyeramkan ini. Namun aku berharap padamu Ruslan agar mau membantu kami yang tak berdaya lagi menghadapi kekejaman manusia.”
Aku terbayang setiap hari ada pohon yang hilang dari hutan, hingga hutan tak lagi rimbun maka tiada lagi binatang-binatang menghuni yang ada hanya kelinci putih, dan betapa teganya aku masih ingin menangkap kelinci mungil itu. Aku dan manusia lainnya memang hanya memikirkan diri sendiri tanpa mau memahami lingkungan dan alam yang telah banyak memberi kekayaannya pada kita.
“Pesan kami harus kau sampaikan pada kaummu, jangan lagi menyakiti kami, karena jika kami mulai tak mau lagi bersahabat dengan manusia, mala petaka kan datang menimpa manusia yang egois.”
“Maafkan kami manusia yang sudah berbuat salah pada alam, kami tak akan ku sampaikan pesan ini, lalu bagaimana aku harus keluar dari tempat ini?”
“Kau harus melihat kondisi kerajaan erutan ini terlebih dahulu.”
Aku hanya menurut, tempat yang sepi redup waktu senja yang tak jua berujung malam, aku memasuki dimana ada sungai tercemar, gunung yang terkikis habis, hutan yang gundul, laut yang semakin sedikit tumbu karangnya,pemandangan yang menyedihkan. Aku tak dapat menahan airmataku. Menangis untuk alam.
“Sekarang pejamkan matamu,terimakasih untuk kesediaanmu mengunjungi kerajaan erutan ini, aku barharap ayahku secepatnya akan sembuh lantaran bantuanmu.”
“Sama-sama Seruni, aku yang berhutang banyak pada kerajaan erutan, pengalaman yang sungguh berharga selama hidupku. Apa aku tak perlu mengucapkan kata pamit dan terimakasih pada raja?”
“Tak usah ayah sudah menyuruhku untuk mengembalikan kau pada duniamu, mereka sangat merindukanmu. Jangan kaget jika ada yang ganjil sepulangmu dari sini.”
“Sebelum pergi bolehkan aku mengutarakan satu pertanyaan?”
“Mengapa tidak?”
“Mengapa hanya ada waktu senja disini?”
“Itu mengambarkan alam ini yang telah memasuki usia senja, tak lama malam akan menjelma, sudahlah pejamkan matamu Ruslan.”
Aku memejamkan mata, tak lama setelah kubuka mata aku telah berada di jalan yang berkabut.
***
Rahman menganggukkan kepalanya menghayati cerita demi cerita, lalu menepuk bahuku kebiasaan Rahman memang tak berubah.
“Kamu beruntung Rus, kami manusia pilihan alam. Kamu cermati kata E.R.U.T.A.N yang menjadi nama kerajaan itu. Jika dibalik maka N.A.T.U.R.E yang berarti alam, itu memang simbol alam kita. Raja yang sakit mengambarkan alam kita yang telah diujung kerusakan akibat ulah tangan manusia Rus. Kita harus mencintai alam yang telah begitu menyayangi kita.”
“Kamu masih pintar seperti dulu tentang analisis seperti itu Man.”
“Ah biasa saja kau selalu saja memujiku. Sekarang ayo kita pulang kerumahku pasti kamu lapar.”
“Aku ingin bertemu Ningsih Man, bagaiman rupa dia sekarang.”
“Itu nanti saja yang penting kamu istirahat dulu, renungkan kejadian yang menimpamu, jalankan amahmu Rus.”
Aku menuruti kata-kata Rahman, kembali kututup ruah tuaku, dari mana aku memulai menyeru pada manusia tentang pengalamanku, bagaimana aku mengajak mereka untuk lebih menghargai lingkungannya.
Malam telah tampak rembulan menyinarkan sinarnya dengan anggun, sepoi angin memeluk tubuhku, aku akan memulai semuanya mulai dari saat ini, mulai dari diri sendiri, mulai dari hal terkecil. Aku yakin semuanya akan dapat berjalan.
Pada pohon kuseru
Lebatkan daunmu, perkuat akarmu
Agar manusia tak dapat mengusimu
Pada laut kuseru
Ganaslah ombakmu
Agar manusia tak menjamahmu.


*********JELMAAN ALAM**********

DIAlOG POHON KAMPANYE

Bendera dengan gambar-gambar partai berkibar ditiup angin, ikut dalam hiruk pikuk lalu lintas, terkadang jemu mata memandang pemandangan seperti yang membuat bimbang. Dibawah terik matahari bendera-bendera itu terus berkibar angin terkadang menerpa dengan keras tapi tetap tegar berdiri. Dicuaca yang sudah tidak teratur lagi terkadang tiba-tiba hujan turun tanpa diawali mendung, hingga bendera-bendera itu tak bersiap-siap menghadapi hujan.
Malam bertabur bintang, namun semakin malam awan tebal kian menebal menyelimuti bintang-bintang, namun ibu kota tetap terang benderang tak peduli awan tebal menyelimuti. Tengah malam sedikit lebih sepi, ketika semua orang sudah terlelap ada beberapa orang menelusuri jalan ditemani angin malam. Dikeluarkannya sebuah kertas dari dalam tas besarnya. Ternyata poster bergambar partai, dengan bantuan lem merekatlah poster itu dipohon.
Pohon ialah tumbuhan dengan batang dan cabang yang berkayu. Pohon memiliki batang utama yang tumbuh tegak, menopang tajuk pohon. Batang merupakan bagian utama pohon dan menjadi penghubung utama antara bagian akar, sebagai pengumpul air dan mineral. Tapi kali ini berubah fungsi menjadi papan kampanye oleh orang-orang berambisi menang.
Maka malam itu pohon-pohon yang berada di ibu kota saling berdialog untuk bertukar pendapat tentang kelakuan manusia yang hanya mementingkan diri mereka sendiri. Sebuah pohon besar yang terlebih dulu menjadi papan kampanye memulai percakapan.
“Teman-teman apa kalian rela tubuh ini menjadi kotor oleh lem seperti ini?”
“Aku hanya pasrah saja, manusia memang seenaknya melakukan apapun pada kita.” Kata pohon yang lebih muda
“Sebenarnya apa yang mereka lakukan dengan menempelkan poster ini ketubuh kita?”
“Mereka sedang masa kampanye.”
“Apa yang inginkan dengan melakukan kampanye?”
“Kampanye adalah sebuah tindakan politik bertujuan mendapatkan pencapaian dukungan, usaha kampanye bisa dilakukan oleh peorangan atau sekelompok orang yang terorganisir untuk melakukan pencapaian suatu proses pengambilan keputusan di dalam suatu kelompok, kampanye biasa juga dilakukan guna mempengaruhi, penghambatan, pembelokan pecapaian.”
“Dari mana kau tahu itu?”
“Aku pernah dengar dari salah satu orang yang lewat, mungkin tahun lalu waktu mereka melakukan hal yang sama. Menempeli tubuh kita dengan poster.”
Mereka terus berdialog mencaci maki manusia yang tiada berperikemanusiaan, mereka memanggil angin malam yang sayup-sayup menerpa daunnya.
“Hai angin, kamu tak lelah bertiup?”
“Pertanyaan kamu aneh, sekarang aku tanya pada kalian, apa kalian tak lelah berdiri terus menerus?” pohon-pohon itu tersenyum pada angin membenarkan.
“Sebenarnya kami mau minta tolong padamu.”
“Apa yang bisa aku lalukan untuk kalian?”
“Kami ingin poster yang melekat pada tubuh ini lepas.”
“Ah, maafkan aku sepertinya aku tak kuasa melakukannya. Kalian pasrah saja siapa tahu orang yang ada dalam gambar itu bisa menjadi pemimpin yang mementingkan nasib kalian juga.”
Pepohonan saling perpandangan, hanya diam saling merenungkan kata-kata angin. Menunggu datangnya pagi sambil berdoa agar tak ada orang yang melakukan hal yang sama. Pohon tua kembali bercakap.
“memang kamu suka jika orang dalam gambar ini menang?”
“Aku tak menyukainya, belum menang saja sudah semena-mena terhadap kita bagaimana sudah menang nanti, tubuh kita bukan tempat untuk tempel poster.”
“Benar juga kata kamu, ah kamu yang muda ternyata lebih pintar.”
Tak lama mereka terlelap, angin masih menemani mereka dengan bertiup lembut, dikesunyian malam yang mengerikan, ketika semua benda-benda yang menyenangkan menghilang dibalik selubung gelap dan mendung tebal.
Mentari menyapa dengan hangat lalu lintas kembali ramai, debu-debu beterbangan, asap kenalpot kendaraan bermotor menambah polusi udara. Pohon-pohon juga mulai merasakan hangatnya mentari kembali melakukan fotosintesis, betapa kagetnya pohon tua waktu tersadar empat buah paku menancap dibatangnya.
“Awwwww….. apa lagi yang dilakukan manusia-manusia itu pada kita?”
“Wah benar ini sudah keterlaluan, kenapa mereka menyakiti kita dengan memaku gambar disini, bukankah sudah ada poster.”
“Kalau calon pemimpin seperti ini, apa patut dicontoh? Kampanye kan banyak medianya. Tidak harus menyakiti kita.”
“Kampanye juga dapat dilakukan dengan slogan, pembicaraan, barang cetakan, penyiaran barang rekaman berbentuk gambar atau suara. Tapi bukan di pohon seperti ini caranya.”
“Ya ada yang mereka lupakan selain hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia, mereka juga harus menjalin hubungan yang baik dengan alam.”
“Tapi bagaimana kita membalas manusia yang seperti ini, kita tak kuasa.”
“Kita tidak sendiri.”
“Aku akan membantu kalian, jika aku mau bertiup kencang manusia pasti binasa. Tapi bagaimanapun kita harus berbaik hati, kalau kita membalas dengan kejam pula apa bedanya kita dengan manusia-manusia berdosa itu.”
“Tapi aku tidak suka dengan calon pemimpin yang seperti ini, tidak bisa menjaga alam.”
Pohon yang lebih muda melayangkan padangannya pada pak tua berseragam orange yang sedang memegang sapu membersihkan jalanan, perasaan salut muncul pada pohon muda.
“Kenapa tidak dia pak tua yang selalu membersihkan kota ini dari sampah yang menjadi pemimpin?”
“Kamu ada-ada saja, mana mungkin?”
“baiklah kalau aku akan berdoa agar orang-orang dalam gambar poster yang telah mengotori batang kita ini insyaf dan tidak lagi melakukannya, namun kita juga harus berusaha untuk menyingkirkan semua ini dari batang kita.”
Angin pergi untuk mencari cara agar batang pohon bisa menjadi bersih lagi, di atas kota yang lain angin bertemu dengan mendung tebal, maka ide muncul dalam benak angin untuk mengajak awan kekota dimana tempat pohon berada.
“Hai awan, wah sudah siap menguyur kota ya?”
“Bukan, kebetulan dirimu kesini angin, aku dalam perjalanan kedesa, mereka butuh air untuk sawah mereka. Maka antarkan aku segera kesana.”
“Wah, sebenarnya aku juga butuh bantuanmu awan. Temanku pohon dikota sebelah ingin membersihkan tubuhnya dari tempelan-tempelan poster partai, dengan bantuanmu pasti bisa.”
“Bagaimana ini, sepertinya kamu harus mengantarkan aku dulu setelah itu kamu kedesa yang sudah banjir disana ada awan yang lebih tebal dariku nah minta tolonglah pada dia.”
Setelah selesai berunding angin setuju dengan usulan awan dan segera mengantarka awan ketempat yang dituju.
“Terimakasih angin, sekarang carilah desa tak jauh dari sini.”
“Aku akan mencarinya, terimakasih petunjuknya.”
Mereka mengucapkan kata perpisahan, angin bertiup kencang mempercepat pencariannya tak kuasa dia melihat pohon-pohon itu tiap hari bertambah kotor, ada saja ulah manusia. Mungkin karena mereka tiada mngerti bahasa alam, padahal jika manusia mau cermat kejadian-kejadian alam yang terjadi sudah bukti kalau alam telah bicara pada manusia.
Senyum membias dibibir angin ketika bertemu awan, awan yang sangat hitam dan sepertinya siap untuk menurunkan hujan.
“Angin ada apa gerangan, senyummu itu tak dapat ku artikan.”
“Aku perlu bantuanmu, untuk menolong pohon temanku.”
“menolong bagaimana?”
“Sambil jalan kita bicarakan bagaimana, kau tak perlu lagi menghujani desa ini, kasihan sudah banjir. Saatnya manusia kota yang merasakannya.”
Awan hanya menurut pada angin sepanjang perjalanan angin bercerita tentang kehidupan kota dan calon pemimpin yang sedang berkampanye menggunkan pohon-pohon sebagai media penyebar informasi, karena memang pohon tak membutuhkan komisi seperti ketika mereka berkampanye lewat televisi, radio, atau surat kabar.
“O... begitu ceritanya, memang mereka perlu kita beri peringatan, apa kamu pernah tahu orang dalam gambar poster itu?”
“Tentu saja pernah, ketika mereka sedang mengebu-gebu mempengaruhi masyarakat agar memilih mereka.”
“Pasti banyak janji yang diucapakan.”
“Benar janjinya selalu yang muluk-muluk padahal yang hal kecil seperti memperhatikan sebuah pohon saja tidak dijalani, bagaimana mau melakukan hal yang besar?”
“Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, kalau keputusan melakukan kampanye saja sudah salah ya mau dibawa kemana keputusan setelah menang nanti.”
“Aku kurang tahu juga masalah politik yang sebenarnya dan aku juga malas untuk mengetahuinya.”
Sementara pohon sudah tidak sabar menunggu datangnya angin, untuk segera membersihkan dirinya. Surya semakin terik menyinari, lalu lintas begitu semrawut dengan mobil kampanye, bendera terus berkibar tanpa lelah. Sepertinya bangga di perhatikan tiap orang melewati jalan itu. Namun tidak begitu yang dialami pohon, tiap ada orang lewat membawa pesan yang tertera dalam poster dan melihat gambarnya, pohon cemburu karena orang-orang tak mengagumi kegagahannya. Tak berterimakasih padanya karenanya perjalanannya tak terkena panas, kotanya tak kena banjir karena akarnya menyerap air hujan.
Manusia telah lalai dengannya.
“Kemana angin mencari awan? Kenapa begitu lama?”
“Sabar mungkin dalam perjalanan.”
Dalam kekesalannya terhadap manusia mereka tetap mengistimewakan bapak tua tukang sapu, yang tetap semangat menyirami pohon dan tanaman kota lainnya. Tiba-tiba angin bertiup kencang bersama awan hitam yang seketika membuat gelap kota, penguna jalan kaget akan perubahan cuaca yang begitu mendadak.
“Memang musim tak lagi dapat ditebak.” Kata salah satu pengendara motor
Pohon menyambut kedatangan angin dan awan dengan suka cita,
“Sekarang apa mau kalian pohon?” Tanya angin
“Kami ingin turun hujan dan membersihkan tubuh kami sekaligus memberi sedikit peringatan pada manusia-manusia.”
Sang mentari tengelam dengan awan dan siang kini menyerupai malam, gelap gulita menyelimuti ibu kota, rintikan hujan mulai menguyur pohon-pohon dan semakin lama semakin deras, perlahan poster-poster yang melekat pada pohon terlepas satu demi satu, sampah-sampah telah menyumbat got hingga aliran air tak dapat mengalir dengan sempurna, hujan masih belum mau berhenti terus dan terus, kini bendera-bendera partaipun ikut tumbang dan hanyut mengikuti arus air.
Kendaraan tak lagi dapat berjalan, lalu lintas berhenti beraktifitas. Sepi menyelimuti kota yang semula penuh dengan keramaian, adakah manusia yang ingat kalau kejadian ini berawal dari perbutan mereka yang dianggap sepele. Mungkin tak pernah ingat dan tak mau mengingatnya.
Semua tergenang air tak tampak daratan tak tahu kemana perginya manusia-manusia yang tak bertangung jawab, tak tampak lagi bendera dan poster-poster partai.
“Kalian puas pohon-pohon?”
“Ya kami puas, tapi kami juga kasihan pada orang-orang yang tak ikut bersalah, aku yakin mereka masih berkampanye ditempat lain.”
“Tapi setidaknya kalian tak lagi ikut jadi pohon kampanye.”
Mereka semua tertawa penuh kegembiraan.


~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~DIALOG POHON KAMPANYE~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Minggu, 03 April 2011

Bolehkah Kujual Tubuhku?

Oleh Titin Supriatin
Dimuat di Harian Jawa Pos, Senin, 21 Juni 2010

Ibu kota yang kukira menjanjikan semua impian ternyata hanya sebuah kenyataan pahit yang harus kuhadapi. Aku hanyalah gadis desa yang mencoba mencari keberuntungan,
memperjuangkan nasib, tapi kenapa aku harus akhiri kegadisanku, membuka jilbabku demi sesuap nasi.

Bertahun-tahun aku menghabiskan waktu di lembah hitam ini. Rupiah memang selalu mengalir bagai air turun dari langit tapi entahlah rupiah itu juga mudah
sekali lenyap dari genggaman bagaikan debu tertiup angin, mungkin karena aku mendapatkannya ya dengan cara tidak halal. Pernah terpikir untuk meninggalkan
semua kemewahan semu ini. Tapi, aku tak tahu lagi pekerjaan apa yang dapat aku lakukan kecuali memanfaatkan wajahku ini untuk mendapatkan rupiah dari pria
hidung belang.

”Presti, ada yang cari kamu,” kata Run. ”Siapa sih malam-malam begini, kan udah tahu Selasa aku libur,” jawabku ketus sambil membuka pintu. Kulihat
sepasang mata menatapku dengan melas. ”Maaf Anda siapa?” Dia hanya diam, lalu memelukku erat sambil menangis. Air matanya membasahi baju tidurku. Aku
membalas pelukannya, dia semakin erat memelukku.

Aku mencoba melepaskan pelukannya perlahan, dia menatapku dalam-dalam sehingga membuatku binggung. ”Kamu yang bernama Presti?” tanyanya di dalam isak
tangisnya, aku hanya mengangguk pelan. ”Aku memohon padamu! Tinggalkan suamiku, anak-anak butuh ayahnya.” Aku semakin bingung. ”Siapa suami Mbak?”
Aku tak tahu siapa suaminya, laki-laki yang menghampiriku terlalu banyak, mana mungkin aku menghafalkannya.

”Handoko. Kamu pasti mengenalnya bukan?” Spontan terbayang wajah Handoko yang berhasil mendapatkan hatiku.

”Aku tidak pernah merayu suamimu Mbak, dia yang berjanji menikahiku.”

”Aku tak akan direla dimadu, apalagi dengan seorang penjual tubuh seperti kamu. Aku datang ke sini dengan niat baik Presti.”

”Mbak, aku memang penjual tubuh, tapi aku tak pernah meminta Handoko untuk menikahiku. Aku bisa mendapatkan sepuluh bahkan lebih lelaki seperti Handoko,”
ujarku.

”Aku percaya padamu, tinggalkan dia. Permisi,” kata wanita itu. Dia berlalu meninggalkan kenangan buruk di hatiku. Aku tak pernah ingin merebut suami
orang, tak pernah. Mungkin wanita itu merupakan salah seorang di antara jutaan wanita yang menderita akibat suaminya bersamaku. Begitu banyak dosaku ini,
bagaimana jika aku jadi mereka. Tapi, kenapa aku harus menyesali, toh bukan aku yang merayu mereka. Merekalah yang datang padaku. Malam ini aku tidur dengan
kegelisahan.

***

Kenapa banyak orang di depan rumahku, mereka membawa api, ya api. ”Bakar, bakar! Bakar saja rumah pelacur ini, dia telah merebut ayah anak-anak kita,”
teriak salah seorang di antara mereka. Mereka bermuka merah terbakar amarah. Hampir saja api itu melayang dan membakar rumahku, tapi terdengar suara yang
menghentikannya.

“Kita manusia tak punya hak menghakimi. Allah Maha Menerima taubat dari harnba-Nya.” Tak terlihat siapa yang mengucapkannya, tapi dia berhasil menyelamatkanku
dari kobaran api.

Aku tersadar dari tidurku ketika ponselku berbunyi. Terlihat nama Handoko memanggil dan aku tak menghiraukannya. Aku teringat mimpiku, hampir semua tubuhku
basah oleh keringat dingin, apa arti mimpi itu? Apa memang aku patut dihukum, tubuhku tiba-tiba menggigil kedinginan, rasa ketakutan yang luar biasa menguasaiku.

Terdengar sayup-sayup suara azan subuh. Aku semakin takut setelah sekian lama aku tiada pernah mendengar seruan itu. Hidup di mana aku selama ini hingga
aku tak pernah mendengar azan. Tulikah aku ini?

Suara azan itu tak terdengar lagi, kini naluriku berkata, mengajakku memenuhi panggilan untuk bersujud pada-Nya. Aku membuka lemari dan mencari mukenaku.
Ya Allah, tak dapat aku menemukannya, betapa hinanya aku ini. Aku mengambil dua kain sarung sebagai pengganti mukena.

Betapa sejuknya ketika air wudu membasahi kulitku yang berlumur dosa ini. Kutundukkan hatiku, kuserahkan semua-Nya kepada pemberi nyawaku. Ketika kubangkit
dari sujud, dunia ini tampak gelap, gelap sekali, apa aku buta? Kegelapan itu semakin dekat dan entah sosok apakah yang sedang mendekatiku itu. Aku pasrah
kepada Allah, gelap semakin gelap dan semakin dingin.

Di mana aku ini? Kenapa aku sendirian? Siapa dia? Kenapa dia memberiku pertanyaan-pertanyaan yang tidak aku mengerti? Kenapa tempat ini begitu sempit?
Di mana rumahku yang besar? Di mana lelaki hidung belang yang memujaku? Inikah harga yang harus aku bayar? ***

Selasa, 15 Maret 2011

KENIKMATAN WAKTU

“Sayang, aku berangkat kerja dulu. Jangan lupa nanti makan siang.” Kata Ari sambil menciumku dengan mesra. Kita seperti sepasang suami istri yang berbahagia, kita begitu saling menyayangi. Tapi hubungan kita terlarang.

Aku berdiri didepan cermin yang selalu jujur, dan aku yakin cermin ini juga jujur padaku. Kulitku putih, hidung mancung, pandangan mataku begitu tajam, tinggiku lumayan, walaupun aku sedikit agak kurus untuk mencapai berat ideal aku harus naik berat badan sekitar lima kilo, lemakku juga masih dibawah normal tapi aku nyaman dengan keadaanku ini. Tapi aku mengalami hal yang aneh aku tidak bersyukur dengan ketampananku ini, aku iri jika melihat perempuan yang cantik.

Usiaku dua puluh satu tahun, mahasiswa jurusan geografi disebuah universitas negeri ternama di Surabaya, aku mulai mengalami keanehan semenjak tinggal di kota pahlawan ini. Disini aku mempunyai kebebasan yang belum pernah kudapatkan, aku tak lagi tertarik dengan kecantikan seorang perempuan sebaliknya aku selalu tergoda jika ada lelaki tampan.
“Mbak, aku lagi puspa.” Kata Ardian sahabatku
“Kenapa lagi Yan?”
“Pacarku kabur lagi, ah lebih baik aku cari om-om saja yang banyak uang.”
“Terserah kamu, yang penting kamu nyaman.”

Ardian biasa di panggil Dian, sahabatku kita berasal dari kota yang sama tapi baru bertemu di Surabaya saat aku mulai mengenal duniaku yang baru. Dian kuliah jurusan desainer di perguruan tinggi swata, Dian satu tahun dibawahku. Dian menjadi seorang gay akibat ayahnya yang menjadi polisi terlalu otoriter dalam mendidik, Dian selalu dituntut menjadi nomor satu dalam segala hal. Dian tak dapat brontak sampai untuk memilih perguruan tinggipun ayahnya yang menentukan sekaligus jurusannya. Untunglah saat itu ibu Dian ikut angkat bicara hingga Dian bisa memilih sendiri.

Namun ayahnya tetap saja menuntut Dian agar menjadi nomor satu, kenyataannya kini berbalik Dian begitu kurang bersemangat kuliah akibatnya beberapa mata kuliah harus dia tidak lulus. Kehidupan begitu sulit aku pahami begitu juga Dian mengalami hal yang sama denganku, sepertinya kehidupan tak lagi berpihak padaku, apa dosa yang kulakukan hingga semua ini harus kujalani.

Aku menikmati keadaanku saat ini, hidup bebas. Dulu aku pernah beberapa kali mencintai seorang gadis namun mereka hanya menyakiti hatiku saja, aku juga tak dapat bebas berbuat karena pasti ada batasan-batasan antara pria dan wanita. Namun sekarang tak ada lagi batasan, aku satu kamar dengan kekasihku Ari, kos kami berada didekat kampusku Surabaya selatan tak jauh dari pusat perbelanjaan. Ari mengajarkan aku bagaimana bercinta kami.

Aku masih ingat bagaimana Ari mengajarkan aku tentang hubungan sesama jenis. Kini naluri untuk menjadi seorang homoseksual telah terbentuk, dan aku telah mendapatkan pasangan yang sesuai dengan kriteria. ketika sudah memiliki kekasih, seperti hubungan normal lainnya, kami juga melakukan penetrasi awal seperti berpelukan, berciuman bahkan yang lebih dari itu. Kita juga melakukan hubungan intim. Kita mendapat kepuasan sama seperti pasangan normal, hanya saja gaya bercinta kita yang berbeda.

Matahari kian terik aku harus segera kekampus, aku juga harus kuliah dengan benar aku tak ingin mengecewakan orang tuaku. Walau begini keadaanku aku tetap harus memikirkan mereka, berbeda dengan Dian yang lahir dikelurga kaya, aku hanyalah anak dari keluarga yang sederhana tak jarang kiriman dari rumah terlambat aku terima, untunglah Ari mencukupi kebutuhan sehari-hariku hingga aku tak begitu kualahan ketika belum dapat kiriman dari rumah.

“Agung, apa kabar kapan kita jalan bareng?” tanya Angga teman kampus yang tak begitu kukenal tapi tapi tak sengaja kita bertemu ditempat berkumpulnya para homoseksual.
“Maaf aku tak ada waktu,”
“Ah, sekali saja ganteng kita jalan berdua.”
“Aku harus kekelas sekarang.” Aku meninggalkan Angga, aku tak suka dengan dia kulitnya hitam, lagi pula aku tak mau nanti Ari marah melihatku berjalan dengan laki-laki lain. Cintaku hanya untuk Ari tidak ada yang lain.

Selama ini temanku dikampus tiada yang tahu kalau aku “sakit” tak jarang gadis-gadis dikampus mendekatiku karena rupaku yang rupawan. Begitu pula dikampungku aku begitu menjaga sikapku aku tak mau semua orang tahu tentang keadaanku, dulu sempat kos kebetulan banyak juga pendatang dari kampungku terpaksa aku pindah kos karena aku takut ketahuan dan mereka mengadu dikmpung. Tak kubayangkan jika kabar itu sampai keorang tuaku pasti mereka akan kecewa. Mungkin aku seorang pengecut biarlah aku akan menjadi seorang pecundang selamanya asal orang tetap memandangku.

Sebenarnya aku tahu suatu saat pasti akan diketahui orang keadaanku yang seperti ini, seperti Sasa temanku yang nama aslinya Porwanto, dia bekerja di sebuah restoran sebagai kasir pulang kerja dia jalan-jalan dengan semua atribut perempuan tak lupa, payudara palsu yang dibuat dari fiberglass, sempurna sekali kadang aku ingin seperti itu tapi aku masih takut. Bertahun-tahun Sasa menjalani tanpa sepengetahuan orang tuanya, suatu saat dia menangis.
“Apa yang terjadi Sa?” Tanya Dian
“Mamaku tahu kalau aku waria,”
“Bagaimana bisa, kamu cerita?” Tanyaku penasaran
“Waktu Mama bersih-bersih kamar, begitu ceroboh sebuah bra lupa belum ku masukkan dalam lemari. Mama langsung membuka lemariku yang penuh dengan pakaian wanita.”
“Mama kamu marah atau mau menerima keadaanmu sekarang?”
“Mama hanya menagis, tak sepatah katapun dia ucapkan padaku. Aku telah bersimpuh dikaki Mama, Mama memelukku entah apa yang ada dalam hatinya. Tapi aku tahu sorot matanya memancarkan kekecewaan.”
“Mungkin itu akan kita alami juga ketika orang tua kita tahu kita sebenarnya.” Kami saling berpandangan.

Apa yang terjadi pada kita sebenarnya memang pilihan ketika kita ingin kembali normal aku yakin pasti bisa, tapi aku nyaman dengan pilihanku saat ini, kita mendapatkan kebebasan, Kalau lawan jenis masuk kamar, pastilah 1 RT langsung ribut. Tapi kalo sesama jenis mau seharian juga tidak mesti mendatangkan kecurigaan. Dengan sesama jenis tidak perlu pusing soal keperawanan, pencegahan kehamilan, atau didesak soal pernikahan.

Malam telah menyapa, Ari datang dengan membawa makanan, seperti seorang istri aku menyiapkan air hangat untuk mandi, selepas mandi kita makan malam Ari membelai kepalaku mulai mencium leherku aku tahu Ari ingin menyalurkan hastratnya, kita bisa merasa nikmat karena kita tahu anatomi tubuh masing-masing, tahu persis daerah-daerah sensitif dan erogen masing-masing, dan tahu betul bagaimana cara memperlakukannya untuk mencapai kepuasan seksual.

Selain itu, sesama laki-laki kita lebih berani bereksperimen mengenai teknik-teknik baru dan menciptakan kejutan. Kalo dengan wanita, ada kekhawatiran “kesakitan”, “tersinggung,” karena perempuan harus dihormati. Tenaga sesama laki-laki lebih kuat, mampu memberi tekanan dan memperkuat rangsangan ke tubuh lawan mainnya. Demikian pula dengan tubuhnya, otot-ototnya lebih kuat, ketika Ari memelukku lebih berasa.

Sebenarnya untuk melakukan hubungan sesama jenis ada sextoys untuk kaum gay namanya vibrator alat semacam celana dalam yang memiliki lubang, ketika kami malakukannya ada semacam getaran yang dapat dirasakan. Tapi harganya terlalu malah untukku yang hanya mahasiswa maka kita melakukannya secara alami saja.
Namun kebahagiaanku harus hancur ketika aku beberapa hari pulang kampung, Ari selingkuh dengan temanku sendiri dan mereka melakukannya dikamar kita hatiku begitu sakit saat tahu hal itu, aku menemui Ari di salon miliknya mataku gelap.

“Sayang dengarkan aku!” Ari menatapku, namun tak banyak bicara helm yang masih kupegang ku pukulkan kekepalanya, semua isi salon tertegun melihatnya Ari lari kejalan raya untuk meminta pertolongan. Aku mengejarnya dengan diikuti Dian.
“Siapa yang mau menolong dia, mau ku apakan terserah dia suamiku”
Semua mata manatapku aku sudah perduli semua tahu tentang aku, saat ini aku begitu sakit, begitu setia aku menjaga hubungan kita teganya Ari menghianatiku. Saat Dian mulai menjajakan dirinya dan mengeruk banyak rupiah aku tetap setia padanya. Aku segera meninggalkan tempat itu dengan motor Dian.

Ketika mentari memancarkan keelokannya aku melangkahkan kaki ketempat Ayu, dia sahabat yang kuanggap sebagai adik karena aku ingin sekali jadi seorang kakak maka aku ketempat Ayu, Ayu selalu memberi nasihat agar aku meninggalkan duniaku namun begitu indah dia merangkai kata hingga aku tak merasa di gurui olehnya. Aku kagum padanya walau dia berjilbab dia tetap membuka diri untuk mengenal aku dan Dian.
Aku menangis dipundak Ayu dan menceritakan kesedihanku, Ayu memprlihatkan rasa ibanya,
“Kakak, mungkin ini jalan Allah yang telah ditunjukkan pada kakak.”
”Tidak Ayu aku masih mencintai Ari aku harus mengembalikan Ari kepelukannku.”
Terlihat airmuka Ayu kecewa dengan jawabanku, aku meninggalkan Ayu dan bertemu mbak Nia teman Ayu, setelah aku bercerita dia mengenalkan aku dengan mbak Anna. Mbak Anna bisa mengembalikan Ari, malam hari aku dimandikan dengan kembang tujuh rupa aku tak hafal macamnya dan airnya begitu wanggi. Dian juga diberi cincin agar dirinya laris.

Benar sekali Ari datang kekos dan mencium keningku berjanji tak akan mengulanginya lagi malam ini berlalu penuh cinta dan kehangatan.
Akan aku jalani hidup ini mengalir apa adanya, aku belum punya keinginan untuk berubah, tapi aku tetap juga berada dalam kemunafikan karena sesungguhnya aku takut dengan semua kenikmatan ini, Ayu tetap berusaha mengembalikanku, menyembuhkan dari sakitku.
Airmata Ayu menitik sambil memberikan sebuah bingkisan untukku, kado ulang tahunku yang sudah lewat hampir satu bulan,
”kakak janji apapun kado dari Ayu janganlah kakak membenci Ayu.”
”Pasti, aku tetap kakakmu yang akan sayang sama Ayu.”
“Semoga yang kakak ucapkan benar.”
Rasa penasaran merayap, kucepatkan langkah kakiku. Ingin cepat aku membuka kado dari Ayu kenapa dia sebpertinya dihantui ketakutan saat memberikannya. Sampai di kamar aku segera membukanya, sebuah buku berwarna coklat berjudul “Bahaya Homoseksual dan Cara Mengatasinya” tanganku bergetar keringatku dingin bercucuran, aku melihat sampul belakang aku membaca sedikit tulisan yang berbunyi “Rasulullah menghalalkan kaum homoseksual untuk dibunuh.”.

Tubuhku didera rasa takut yang amat sangat buku itu jatuh dan tak berani aku membuka isinya, aku belum siap untuk semua itu. Waktu terus memanjakanku dengan kenikmatan yang kurasakan, aku telah lupa dimana buku itu aku simpan dan aku tak ingin membacanya.

Sabtu, 29 Januari 2011

A.S.M

Pernahkah kau merasakan bayangan seseorang mengikutimu, namanya begitu indah saat kita menyebutnya, berdebar saat mendengar suaranya, selalu terkenang kata-katanya, tak menghapus pesannya yang ada diponsel dan selalu membaca pesan itu berulang-ulang terkadang bisa sampai tiga kali dalam sehari seperti kita minum obat resep dari dokter.

Mungkin semua itu kau pernah merasakan, tapi pasti perasaan untuk sang kekasih, ah pasti beda dengan apa yang kurasakan. Aku juga tak mengerti mengapa bisa merasakan semua ini, karena yang kurasakan ini bukan untuk kekasihku namun hanya untuk orang yang begitu singkat ku kenal, kau tau sejak pertemuan pertama aku dengan dia kita berada dalam suatu forum yang ramai tapi kebetulan jarakku dengannya begitu dekat.

Dari gaya bicaranya dia begitu menyukai keindahan, dia cerdas, tiap kata yang keluar dari bibirnya tersa begitu enak didengar aku melihatnya dengan penuh perhatian, kusimak tiap ucapannya. Kutulis kata-katanya yang menurutku penting, tak jarang aku tersenyum. Tak kuduga saat itu dia melemparkan pertanyaan untukku.
“Saya tidak tahu.” Jawabku singkat
Dia tersenyum sambil berkata,
“Kok dari tadi sampean tidak tahu terus.” Aku hanya tersenyum tak tahu arti senyumku, senyum malu atau bahagia dia mengomentariku. Waktu berjalan jadwal kita bertemu sekali dalam seminggu pada hari rabu di forum yang sama tentu dengan banyak orang pula, aku berpikir dia tak mungkin mengingatku. Aku tak peduli, itu biasa dan aku yang akan mengingat dia, karena sebelum bertemu kita tak ada perjanjian jika nanti setelah kita bertemu dia harus mengingatku.

Saat itu pulang dari pertemuan aku mulai mengingat kata-katanya, pertemuan kita membahas tentang Tuhan itu memancarkan keindahan melalui firman-Nya yang diberikan pada manusia dimana manusia dibekali dengan cipta, karsa dan rasa.
Ada pula kata-katanya yang menyinggung tentang cinta dan perasaan, kata dia untuk mencintai kita tak mengunakan logika melainkan perasaan. Sepertinya terbalik sekali dengan apa yang kurasakan, kau kan tahu aku begitu mengedepankan logika dan membuang perasaan. Tapi semenjak kata-kata itu kudengar aku mulai memikirkannya.

Ya, kau tahu kan kalau aku orang yang tidak begitu mengerti tentang apa itu cinta, aneh sekali sejak dia yang berkata aku mulai mengenal apa itu kata cinta yang untuk mencintai aku harus mengunakan perasaan bukan logika. Hampir dua tahun aku menjalin hubungan dengan seseorang namun aku belum mengerti apa itu cinta.

Sebelum bertemu dengan dia, nama dia pernah ku temukan dalam buku Sejarah Sastra Indonesia juga dibuku koleksi perpustakaan sekolah Aliyah dulu. Entahlah aku merindukan pertemuan berikutnya, malang sekali malam rabu berikutnya hujan turun begitu lebat hingga membanjiri jalan-jalan di ibu kota hingga dia tak dapat hadir dalam pertemuan bersamaan jatuhnya air ke bumi airmataku pun jatuh. Biarlah kesempatan ini kubuat untuk lebih fokus mengerti hal yang belum kuketahui, akan kutanyakan nanti ketika pertemuan aku ingin berdialog dengannya tapi aku tak tahu caranya bagaiman, ya dengan bertanya kita akan berdialog.

Hari begitu lama, pertemuan demi pertemuan dengan orang-orang lain tak dapat mengantikannya, kau ingat saat aku begitu sibuk membuat pertanyaan, saat itu aku bersiap bertemu dengan dia sang penulis tentang kehidupan. Tapi sayang dia selalu datang terlambat dan selalu mengakhiri pertemuan sebelum sampai waktunya. Aku berusaha keras membuat pertanyaan untuk dia agar dia tak beranjak pulang tapi ada kalanya aku kehabisan kata-kata tanya untuk dia dan tiap pertanyaanku sudah di jawabnya dengan terampil.

Dia kini mulai mengenalku entah mungkin hanya sekedar mengenalku bukan untuk mengingatku, aku mulai menceritakan mulai menceritakan sesuatu pada dia, entah apa itu.

Kau juga tahu aku orangnya sangat tertutup bahkan dengan saudaraku sendiri aku enggan untuk bercerita apalagi dengan kekasihku aku tak pernah bercerita, tapi aneh aku mulai membuka cerita-cerita padanya. Saat ini aku merasa lebih akrab dengan dia, apa dia beraggapan sama? Aku tak tahu, aku tak pernah menyangkanya menurutku dia orang besar dan aku merasa kerdil dihadapan dia. Namun kutahu dia rendah hati walau terkadang dia membanggakan dirinya itu wajar karena memang patut dibanggakan.

Aku menulis sebuah pesan pada dia. Ketika pesan balasan dia masuk dalam ponselku tak pernah aku menghapusnya, sampai akhirnya ponselku hilang dan tentu pesan-pesan dia ikut hilang. Ah biarlah ponsel itu hilang namun pesan-pesannya masih tersimpan rapi dibenakku, sekecil apapun hal itu aku selalu menganggapnya istimewa.

Kau masih ingat saat kekasihku telepon dan aku menangis, kau pasti mengira aku menangis gara-gara bertengkar. Tidak aku menangis karena dia tak hadir dalam pertemuan karena harus dinas keluar kota, kekasihku pun binggung mendengar aku menangis sesenggukan.
“Kenapa menangis?” tanyanya diujung sana
“Ya, hari ini tidak ada pertemuan dengan dia. Aku benci ketidak hadirannya.”
“Karena dia atau materi yang akan disampaikannya?”
“Pertama karena aku sangat mencintai materinya, kedua karena aku mengagumi dia tentunya. Dan aku benci untuk menunggu hari berikutnya.”
Tak dapat kulihat ekspresi kekasihku diujung sana, dia berusaha menghibur agar aku berhenti menangis, namun ketika ponsel kututup tangisku makin menjadi dan begitu menyesakkan dada. Aku tak pernah mengalami renjana seperti ini pada kekasihku, kau tahu sendiri bagaimana aku tidak begitu peduli dengan itu perasaan.

Tak jarang aku duduk diberanda hanya untuk mendengar dia mengisi pertemuan yang lain, aku mencuri dengar. Ya, aku ingin mencuri. Banyak yang aku dapatkan dari mencuri itu, mungkin dia melihatku mencuri dengar, tapi aku tak perduli.

Dia juga merupakan orang yang telah membuatku bangun dari tidur panjang, ya tidur panjang dari kecintaanku menulis, aku tak menyangka dia sudi membaca karya-karyaku yang tak berharga yang selama ini menjadi koleksi perpustakaan pribadiku. Hampir dua tahun aku tak lagi menulis karena semua yang kutulis tak tahu kemana arahnya tak tahu dimana kurangnya, sesekali aku menulis namun hanya dalam angan. Kini dia mengarahkanku. Saat cerita aku sedang bermasalah dia menyarankan aku untuk menulis pasti lebih mengena.
“Kau sedang mengalami masa subur, kau pasti sedang hamil”
Kurang lebih seperti itu pesan singkatnya yang kuterima, saat itu kau pasti tahu bakso yang kubeli tak kuasa aku memakannya, aku meraba perutku yang lapar, seketika aku duduk lemas dan kukirimkan pesan menanyakan maksudnya mungkin dia salah kirim.
“Tidak. Itu kata yang sering saya gunakan, hamil ide, gagasan, permasalahan.”
Memang aku begitu bodoh, memang dia seperti itu penuh dengan teka-teki tiap ucapannya mengandung makna tersembunyi, kenapa aku tak begitu pintar untuk memahaminya, saat aku menunjukkan pesan itu pada kekasihku nampaknya kekasihku kaget.
“Apa maksudnya? Aku tak pernah menyentuhmu, untuk bertemu saja kita begitu jarang” Tanyanya
“Sabar dibaca pesan yang bawah, aku juga kaget awalnya.”
Senyum kekasihku membias kala membaca penjelasannya, kami tertawa bersamaan.

Hari berganti bulan, masa pertemuan telah sampai pada penghujung perpisahan, rasa ketidak relaan menguasaiku, ingin ku ungkapkan agar dia tahu aku akan sangat kehilangan dia, tapi apa peduli dia tentang aku. Toh tugas dia selesai, tapi bagiku ini baru permulaan aku mulai belajar dari dia. Jika memang ini perpisahan aku belum mengucapkan kata perpisahan untuk dia, aku tidak siap dengan perpisahan yang begitu cepat menjemput.

Aku memohon pada Allah agar mempertemukanku dengan dia lagi dalam pertemuan berikutnya, aku mulai penasaran saat jadwal pertemuan berada ditanganku. Aku tak melihat sebelas huruf yang menunjukkan namanya. Tak dapat kusembunyikan wajah kecewaku dan dadaku terasa begitu sesak. Sepertinya aku akan sulit bertemu dengan dia, nomor ponsel dia kuhapus agar aku tak terlalu memikirka dia. Dalam ponselku dapat dengan mudah kuhapus namun dalam ingatanku nomor itu terus berjajar. Belum sempat aku mengucapkan kata terimakasih dan maaf dia lebih dulu mengirim pesan padaku yang berisi.
“maafkan kalau ada kesalahan saya”
Yang lebih pantas mengucapkan kalimat itu adalah aku, tapi dia memang salah membiarkan aku tak mengucapkan kata perpisahan, aku semakin merindukannya.

Sering kali namanya meluncur dari bibirku,
Pernahkah namaku terlintas dalam benak dia?
Aku hampir selalu mengingat dia,
Adakah dia pernah mengingatku walau sesaat?
Aku begitu bangga mengenalnya,
Banggakah dia mengenalku?

Pada siapa harusnya aku menanyakan semua itu, apa kau bisa membantuku. Ah kau hanya bisa mendengar ceritaku tanpa bisa berkomentar apalagi membantuku menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu. Jangan kau bilang aku harus bertanya langsung pada dia, itu tak mungkin terjadi. Aku begitu menghormati dan menghargai dia, dalam norma kesopanan pasti aku dianggap tidak sopan kalau aku menanyakan semua itu.

Aku akan mencoba mencari jawab dalam tanya dikebisuan malam, dalam kehampaan, dan sepertinya pada perasaanku sendiri aku kan bertanya pasti disana didapat jawaban. Tapi aku terkadang takut jika jawabannya semua tidak. Jika seperti itu biarkan semua dalam angan ku atau biarlah angin membantuku menyampaikan pada dia pasti angin jujur membisikannya.

Kau juga pasti sudah tahu dari dulu aku selalu merasakan kekaguman yang mungkin bisa dibilang berlebihan pada penebar ilmu. Tapi tak separah kekagumanku pada dia.
Kini aku tak lagi bertemu dengan dia, adakah pertemuan lain yang dapat membawaku kembali menemukan senyumnya, tak dapat ku melupakan dia. Sebagai obat kerinduanku Ku pandangi karya-karya dia yang ada di rak buku ku, sepertinya dia menertawakan kerinduanku. Menertawakan kebodohannku.

Perpisahan yang semu tanpa penjelasan. Siapa dia? Dia merupakan orang yang sangat berkesan untukku, ucapan terimakasihku untuk dia tak lagi dapat kuungkapkan, entah itu melalui ucapan atau perbutan. Rasulullah bersabda “Barang siapa tidak berterimakasih kepada manusia, berarti dia juga tidak berterimakasih kepada Allah.” Bagaimana aku berterimakasih pada dia, aku rasa tak pantas jika hanya ucapan “Terimakasih”.

Tak dapat lagi kuceritakan tentang dia, begitu banyak tentang dia yang tak bisa kuungkapkan walau hanya sebatas pertemuan diforum. Dialah orang kedua yang selalu ku idolakan setelah ayah. Ya, dia hampir berdiri sesejajar dengan ayah dalam hatiku. Kenangan yang akan ku simpan rapi dalam angan.

Andai aku berkesempatan bertemu dengan dia sekali lagi, aku akan berkata sesuatu, kau ingin tahu apa yang akan aku katakan pada dia? Tidak, kau tidak perlu tahu. Biarlah itu menjadi rahasiaku dengan Allah. Dan dia orang pertama yang akan mendengarkan kata-kataku.

Dimanapun dia saat ini semoga dia selalu menebarkan ilmunya. Aku merindukan dia, saat ini dan sampai aku dapat berjumpa dengan dia lagi.




Surabaya, Oktober 2010

Kelembutan Sengsara

Badanku terasa begitu berat, enggan rasanya meninggalkan tempat. Walau begitu aku harus tetap memaksakan tubuh ini, tak boleh aku kalah dengan rasa capek, diluar pekerjaanku menanti, kuliahku pun tak lupa aku pikirkan. Aku terlahir dikeluarga yang sederhana tapi aku tak ingin cita-citaku untuk mengenyam pendidikan diperguruan tinggi hanya karena tiada biaya, maka aku selalu berusaha untuk mendapat beasiswa dan bekerja paruh waktu.

Aku masuk perguruan negeri yang berdasar agama ternama di Jawa Timur, biayanya memang tak semahal yang kubayangkan. Namun dengan kondisi seperti ini aku tetap merasa berat.

”Kamu kenapa melamun Rifa?”
“Aku capek sekali Lin, tapi sudah waktunya kerja.”
“Tetap semangat! Mana Rifa yang biasanya?”
“Benar juga aku harus semangat.”

Aku bergegas mandi dan bersiap untuk bekerja, hari minggu aku bekerja sampai pukul sembilan malam, aku menjadi kasir di restoran sebuah mall, aku bersama Lina sama-sama berjuang dari kota tahu campur. Bisa dikatakan aku lebih beruntung dari Lina, Lina benar-benar tidak mampu dan entah ketika pengajuan beasiswa Lina selalu gagal mendapatkan.

Walau dikampus aku tidak begitu berprestasi kebetulan keberuntungan selalu berpihak padaku, dan yang lebih mempermudahku mendapatkan beasiswa mungkin karena aku dekat Pak Mustaqim, beliaulah yang menentukan mahasiswa penerima beasiswa. Pak Mustaqim Dekan di fakultasku sekaligus memegang mata kuliah bahasa Indonesia.

Akhirnya aku sampai ditempat kerja, rasanya begitu lain hari ini. Waktu bergulir begitu lama, detak jarum jam sangat lambat tamu demi tamu kami melayani sepenuh hati, rasa lelah tak menjadi alasan kita para karyawan untuk tidak tersenyum pada para pengunjung. Akhirnya jarum jam tepat menunjukkan pukul 21.00. Pulang.
Angin malam menusuk kulitku dalam perjalanan pulang, Lina dijemput Rudi kekasihnya sedang aku naik angkot sendirian, dingin sekali malam ini. Ponselku berdering tertera nama Pak Mustaqim memanggil.
“Assalamualaikum, ada apa pak?”
“Waalaikumsalam. Kamu dimana Rif?”
“Pulang kerja pak, masih dijalan.”
“Rifa naik angkot? Saya kan sudah bilang jangan naik angkot malam-malam begini, Rifa bisa minta tolong saya untuk menjemput Rifa.”
“Tidak apa-apa pak, saya sudah biasa seperti ini, saya juga tidak ingin merepotkan bapak, saya sebentar lagi sampai.”
“Ya sudah hati-hati tapi lain kali jangan diulangi lagi.”
Pak Mustaqim mematikan teleponnya, aku seperti menemukan ayah ketika bertemu dengan beliau, setelah lama bapak dan ibuku bercerai. Ya ibuku bercerai dengan bapak waktu aku masih duduk disekolah dasar, bapak menikah lagi begitu pula ibu dan aku sekarang tinggal dengan bapak tiri dengan adik dari pernikahan ibu dan bapak tiriku, tapi aku sangat menyayanginya tak pernah terlintas dibenakku kalau Dewi saudara lain bapak.

Meskipun bapak tiriku tak banyak bicara denganku tapi beliau baik, terbukti beliau membiayai sekolahku sampai aku kuliahpun beliau mendukungnya. Turun dari angkot aku masih harus berjalan memasuki gang kosku, lega rasanya bisa sampai. Lina sudah lebih dulu sampai. Aku mandi dan kuteruskan sholat, setelah itu kurebahkan diriku, esok hari telah menunggu dengan segala tantangannya.

Pagi ini aku kekampus seusai mengikuti mata kuliah aku dipanggil Pak Mustaqim keruang dekan.
“Rif, ini namamu sudah terdaftar sebagai penerima beasiswa.”
“Ya pak, terimakasih bapak sudah membantu saya.”
“Sekarang saya mau minta bantuan kamu.”
“Apa yang bisa saya bantu pak?”
“Saya ingin kamu jadi istri kedua saya.”
Kata-kata yang membuatku terkejut luar biasa dan tak pernah kubayangkan kata-kata itu terucap dari bibir pak Mustaqim yang telah kuanggap sebagai bapak, lidahku kelu tak mampu berucap namun aku berusaha keras mengeluarkan suara karena aku tak mau diam, sebagian orang mengatakan diamnya wanita dianggap “ya”.
“Maaf pak, bisa saya membantu bapak dalam hal lain, kalau hal ini maaf saya tidak bisa.” Jawabku tertunduk
“Bagaimana kalau nama kamu, saya coret dari daftar ini.”
“Itu hak bapak, saya terima mungkin masih ada yang lebih membutuhkan dari saya.”
“Baik kamu saya beri waktu untuk berpikir, atau dengan cara lain?” wajah pak Mustaqim mendekat kewajahku dan aku menghindar. Tiba-tiba datang dosen yang lain sepertinya usianya lebih muda dari pak Mustaqim.
“Pak Harun, bagaimana kalau dia ini jadi istri kedua saya?”
“Kenapa tidak pak, sudah cocok.”
“Dia ini anak orang tidak punya pak Harun, untuk biaya kuliah selain beasiswa dia bekerja direstoran dengan pakaian terbuka pak, hingga para tamu leluasa untuk mempermainkannya, itu kan citra tidak baik buat kampus kita, makanya lebih baik jadi istri saya.”
Aku sangat merasa terhina, kenapa semua jadi seperti ini. Aku berusaha membantah kata-kata pak Mustaqim.
“Maaf pak, memang saya miskin tapi tidak benar bapak mengatakan saya bekerja dengan pakaian terbuka. Pak Mustaqim bisa datang ketempat kerja saya.” Aku tetap berusaha dengan nada rendah, walau saat ini hatiku membara.
“O... baguslah kalau kau tetap mempertahankan jilbab kamu. Ya sudah kamu boleh pergi nanti saya kabari lagi.”
“Terimakasih pak, saya permisi. Assalamualaikum!”
“Waalaikumsalam.”
Aku melangkahkan kaki dengan cepat, hatiku terluka aku serasa ditelanjangi didepan umum. Anganku kembali kemasa dimana kebaikan-kebaikan pak Mustaqim telah diberikan namun aku tak menyangka akan seperti ini. Apa memang seperti ini kehidupan di ibu kota.

Hari berganti aku berusaha melupakan peristiwa yang terjadi, dengan menyibukkan diriku dengan pekerjaan dan tugas-tugas kuliahku. Aku tetap bertemu pak Mustaqim dikelas namun sifatnya begitu berbeda, pak Mustaqim merupan satu-satunya dosen yang killer tak begitu pantas untuk membawakan bahasa Indonesia. Beliau sepertinya tak lagi menghiraukan saya.
“Rif sepertinya kamu tak begitu dekat lagi dengan pak Mustaqim?”
“Sepertinya begitu Lin.”
“Kenapa? Aku senang melihat kamu menemukan kasih ayah dari beliau.”
“Beliau sedang sibuk. Ya sudah aku berangkat dulu sampai ketemu ditempat kerja.”
Aku tak pernah menceritakan pada siapapun tentang apa yang aku alami, aku malu walau sebenarnya aku butuh sekali seseorang untuk membantuku mencari jalan keluar atau hanya sekedar untuk berbagi rasa. Aku belum menemukan orangnya dan aku juga belum berani untuk bercerita.

Waktu istirahat tiba di layar ponselku tertera beberapa pesan, ada juga pesan dari pak Mustaqim.
“Nanti pulang kerja pukul berapa”
“Pukul 21.00 ada yang bisa saya bantu pak?”
“Bisa nanti kita bertemu setelah kamu pulang kerja?”
“Maaf pak nanti saya tidak dapat pintu kos.”
“Kamu pulang besok pagi saja.”
“Nanti saya bermalam dimana?”
“Nanti kita sewa kamar diluar, saya mahon dibantu!”
“Apa yang bisa saya bantu?”
“Saya sering pusing jika hajat saya tersalurkan, saya tidak minta sampai punyaku masuk”
Pesan terakhirnya membuatku lemas ambuk seketika mbak Ria memandangku lalu menghampiriku,
“Kamu kenapa Rif?” tanya mbak Ria, aku hanya diam sambil menangis ku ulurkan ponselku pada mbak Ria, seperti sudah mengerti bahasaku mbak Rifa membaca semua pesan dari pak Mustaqim. Mbak Ria memelukku erat sambil menenangkanku. Aku meminta mbak Ria untuk membalas pesan pak Mustaqim, rasa-rasanya tanganku telah lemas.
“Bapak bisa minta tolong dalam hal lain tapi maaf untuk ini saya tidak bisa, saya takut Allah pak, disebagian ayatnya di katakan janganlah kamu mendekati zina.”
“Dalam ayat tersebut mendekati belum dihukumi, kamu kan Cuma membantu saya.”
Kami berdua tercengang begitu tidak pantasnya seorang yang mengerti agama berucap demikian, untuk apa selama ini bernaung dalam lembaga agama hanya untuk berkedok dan untuk mencari celah ayat suci. Aku sudah tak berani melanjutkan pesan. Pak Mustaqim berkali-kali telepon tapi tak kuhiraukan, Mbak Ria menyuruhku hati-hati takut kalau tiba-tiba Pak Mustaqim menghadangku dijalan.

Kakiku enggan melangkah kekampus, tempat yang dulu sering kurindukan kini menjadi sesuatu yang menakutkan, aku takut bertemu pak Mustaqim. Dengan lesu aku paksakan untuk kekampus. Ketika kuliah usai aku bersemangat meninggalkan tempat yang kini seram kurasakan.
“Rifa, mau pulang?” Tiba-tiba pak Mustaqim tepat didepanku
“Ya pak.” Jawabku singkat tetap dengan nada sopan
“Kenapa telepon saya tidak diangkat? Kamu tidak usah takut kamu hanya membantu saya dan ayat itu belum dihukumi. Pokoknya kapanpun saya masih penasaran sama kamu tetap saya minta kamu untuk membantu saya. Beasiswa kamu sudah keluar.” Jelasnya panjang lebar, aku hanya mematung.

Aku perprasangka kalau bukan aku mahasiswa pertama yang mendapatkan perlakuan seperti ini, entahlah kini hari-hari selalu dihantui kata-kata pak Mustaqim aku takut jika suatu saat iman ini goyah, Ya Allah hanya pada-Mu aku menyerahkan segalanya. Tiap hari aku tetap bertemu pak Mustaqim dikampus wajahnya kian hari ku lihat semakin menyeramkan, begitu jauh saat aku mengenalnya beberapa bulan yang lalu. Dan aku semakin dicekik rasa takut.