SELAMAT DATANG DI HUNIAN SASTRA

SELAMAT DATANG DI HUNIAN PECINTA SASTRA INDONESIA

AYO KITA BELAJAR MENGEKSPRESIKAN DIRI DENGAN MENULIS DAN MENULIS!

Kamis, 02 Juni 2011

JELMAAN ALAM

Kabut semakin tebal menghalangi pandanganku, udara dingin semakin menusuk tulangku. Kukuatkan kakiku melangkah menyusuri jalan yang kini sudah beraspal, yang ku ingat dulu jalan ini penuh dengan batu-batu. Sudah banyak yang berubah dari desaku disamping jalan tak lagi ada pohon yang rimbun. Aku berjalan menuju rumah Rahman.
Tapi banyak yang berubah rumah-rumah sudah banyak yang baru, aku bingung dimana rumah Rahman seingatku dulu dirumah Rahman ada pohon cerme, aku biasa duduk memanjat untuk mengambil buahnya yang ranum, aku merindukan semua itu. Tapi aku masih bertanya-tanya kenapa desa ini begitu berubah padahal hanya sebentar aku meninggalkannya.
Kini perutku sedang berdangdutan rasa lapar menyerangku, aku masih melihat di sekitarku mencari warung makan tapi lagi-lagi kabut ini menghalangiku, tidak tahu persis saat ini pukul berapa. Dari belakang ada seorang penjual nasi uduk dengan membawa sepeda.
“Nasi uduk mas.”
“Ya mbok, satu.”
“Sepertinya wajah mas ini tidak asing.”
“Tentu saya kan warga Tegalrejo asli mbok.”
“Namanya siapa? Kok saya tidak tahu?”
“Ruslan. Oya mbok rumah Rahman sebelah mana ya?”
“Ruslan suaminya Ndari, di ujung sana yang banyak bunganya.”
“Suaminya Ndari, kapan dia menikah?”
“piye to, ya sudah lama sudah punya anak satu.”
Selesai mbok membungkus nasi uduk aku merogoh sakuku aku masih ingat aku membawa uang seribu waktu berburu dan belum kugunakan.
“Berapa mbok?”
“Empat ribu.” Aku kaget kenapa mahal sekali dari mana ku dapat uang sebanyak itu
“Mbok tidak salah? Tapi uangku Cuma ada ini.”
“Salah bagaimana ya tidak, ini uang tahun berapa sekarang sudah tidak laku mas. Ya sudah kamu kan warga Tegalrejo kapan-kapan pasti bertemu.”
Mbok meninggalkanku dengan masih meninggalkan segudang pertanyaan, aku duduk menikmati nasi uduk. Mungkin hari ini masih pagi karena ada orang keliling jual sarapan. Tak lama aku melanjutkan perjalanan, kali ini kabut mulai menghilang dan banyak orang-orang yang berangkat kesawah. Salah satu diantara mereka ada yang menatapku dengan tajam kemudian memelukku.
“Ruslan, kamu kembali juga.”
“Maaf, bapak siapa?”
“Ah kamu masih muda Ruslan, aku Joko temanmu.”
“Joko? Kenapa kau setua ini?”
“Memang sudah saatnya tua Rus, kamu yang aneh kenapa bisa awet muda seperti ini?”
“Bisakah kau antar aku kerumah Rahman? Kita cerita nanti disana.”
“Pasti kawan, ayo!”
Sebenarnya aku ingin langsung ketemu dengan ibu, tapi aku ingin mengajak Rahman untuk menjelaskan kenapa aku tidak pamit, jalan ini sekarang beraspal tak ada lagi bebatuan yang sering menyakiti kaki ketika kaki telanjang. Rumah Rahman sudah dekat banyak bunga didepan rumahnya tapi tak kulihat pohon cerme. Sejak kapan Rahman menyukai bunga, sungguh semua telah berubah.
“Kita sudah sampai, nanti kita bertemu lagi sekarang aku tinggal dulu kesawah, tidak enak jika terlambat karena aku hanya buruh Rus.” Joko menepuk pundakku dan berlalu. Ku ketuk pintu Ruslan dengan ragu, rumah ini sekarang besar tak seperti dulu. Tak lama pintu terbuka seorang lelaki paro baya muncul dari balik pintu ketika dia melihatku langsug dia memelukku denga erat, apa dia Rahman.
“Ruslan. Kaukah ini? Kau begitu awet muda setelah menghilang tak kasih kabar, syo kita masuk kukenalkan pada istri dan anakku.”
Aku bagai kerbau yang dicocok hidungnya aku hanya menurut mengikuti Ruslan, seorang ibu dan anak duduk dimeja makan, sejak kapan Ruslan berkeluarga kenapa dia tidak mengundangku.
“Ruslan, aku istri Rahman apa kau masih ingat denganku?” aku pasti ingat dia Ndari wanita yang di idam-idamkan Rahman dari dulu karena kealimannya, garis kecantikannya tak pudar.
“Ceritakan pengalamanmu Rus! Apa resepawet mudamu?”
Rahman untuk kesekian kalinya menepuk pundakku, aku masih tidak mengerti dengan pertanyaan-pertanyaan yang dilemparkan oleh Rahman. Setahuku aku berpisah dengannya hanya beberapa hari tapi kenapa Rahman sudah setua ini, pasti ada sesuatu yang ganjil dengan semua ini.
“Man aku pulang dulu, nanti kita cerita lagi. Antar aku pulang ku sudah kengen dengan ibu Man.”
“Tabahkan hatimu Rus, ibumu sudah tiada. Bagaimana kalau kita kamakamnya sekarang.” Aku terpaku, Rahman mengambil peci hitamnya dan mengenakannya, aku mengikuti Rahman tanpa kata.
Aku berhadapan dengan gundukan tanah yang tak didalamnya terdapat ibu tercintaku semoga Allah mengampuni segala dosa ibu dan menerima semua amal ibu. Aku tercengang melihat tahun meninggal ibu yang tertulis dibatu nisan, tahun 2000 padahal seingatku saat aku pergi tahun 1990, berjuta pertanyaan bertarung dalam kepalaku.
Makam ibu terlihat bersih pasti Ruslan yang telah merawatnya,
“Bagaimana dengan rumahku Man?”
“Aku dan Ndari selalu merawat rumahmu. Sejak kau pergi ibumu jatuh sakit, aku berusaha mencarimu sampai dengan bantuan dukun tapi mereka bilang kau akan pulang dengan sendirinya, ibu sempat sehat dan hidup normal tapi ibu tak dapat melupakanmu begitu saja diam-diam ibu tetap memikirkanmu dan kembali jatuh sakit.”
“Antarkan aku pulang Man!” Kataku datar, kami beranjak meninggalkan makam ibu tapi doaku selalu terlantun untuk ibu, betapa aku merindukan ibu. Sepanjang perjalanan airmata ini berlinang, Rahman berusaha menguatkanku.
Rumahku terlihat paling tua namun tetap rapi, pasti Rahman merawatnya dengan baik. Isi rumah masih tetap seperti yang dulu, kamarku tetap terawat dan masih terletak foto Ningsih dimeja pojok kamarku, gambarnya buram tak lagi bisa di lihat dengan jelas.
“Man, bagaimana kabar Ningsih?”
“Dia menikah dengan Joko, tapi belum dikaruniai anak.”
Aku terpukul tapi bagaimanapun kau mengerti pasti Ningsih tidak bisa menungguku yang tidak jelas kabar beritanya, tapi aku tetap mencintainya.
“Rus, sekarang kamu harus menceritakan mengalamanmu selama dua puluh tahun kamu menghilang! Apa yang kamu lakukan selama itu?”
“kau masih ingat saat kita berburu kehutan?” Rahman mengangguk dan aku mulai bercerita.
***
Hutan yang lebat penuh dengan pohon-pohon yang hijau, hewan-hewan masih berkeliaran dengan bebas. Suara burung-burung sangat merdu. Aku bersama Ruslan baru pulang dari sekolah selesai makan kami selalu punya kegiatan rutin, berburu kelinci, Ruslan pemburu yang handal tak jarang dia selalu mendapat buruan lebih dulu.
Ruslan telah mendapat buruannya, sementara aku masih sibuk mengejar buruanku, hewan itu berlari kencang aku hampir kehilangan jejaknya namun mataku ini sudah biasa dengan mencari jejak, hewan lincah itu masuk kesemak-semak aku mengendap-endap seekor lalat hinggap ditelinggaku, membuyarkan konsentrasiku. Sungguh hewan yang lincah tiba-tiba lenyap dari pandanganku, terus kutelusuri tapi aku tertegun melihat pohon didepanku, sepertinya baru pertama aku melihatnya. Aku mendekat terfokus dengan lubang yang ada dibatang pohon itu, aku menyentuhnya.
Tiba-tiba aku berada ditempat yang asing, bahkan tak pernah ku bayangkan sebelumnya sebuah istana yang megah, bagus, tapi sepertinya bangunannya sudah tua. Tempatnya sepi tiada penghuni ku langkahkan kaki memasuki istana, belum sempat kubuka pintu terbuka dengan sendirinya. Seorang gadis menuntunku.
“Selamat datang di Kerajaan kami.”
“Kerajaan apa ini?”
“Nanti kau akan mengetahuinya, sekarang kau ikutlah aku menemui rajaku. Raja menunggu kehadiranmu, kami butuh pertolonganmu anak muda.”
Sepertinya istana ini sangat sejuk tapi ada yang aneh kesejukan itu tak dapat terpantul seakan ada sesuatu yang mengakibatkan semua ini terjadi, aku masih mencari jawaban untuk itu, sementara gadis ini terus melangkahkahkan kaki dan aku mengikutinya. Kenapa juga istana semegah ini begitu sepi tiada banyak penghuni, aku bersabar untuk tidak bertanya apa-apa pada gadis ini.
“Wajahmu begitu banyak tanya, bersabarlah semua kan terjawab jika bertemu dengan raja.”
“Kamu tahu apa yang aku pikirkan, tapi aku akan bersabar menanti jawabannya.”
Dia tersenyum indah, aku teringat senyum Ningsih. Kelinci itu gagal ku dapatkan untuk dia, Ningsih begitu menyukai kelinci apalagi itu pembirian dari hasilku berburu asal aku tidak melukainya. Senyumku tiba-tiba membias karena teringat Ningsih, gadis itu melirikku.
“Namaku Seruni, kamu teringat kekasihmu?”
“Ya, aku tadi ingin menangkap kelinci untuknya.”
“Ruslan, kelinci itu akan lebih senang hidup dialamnya, dari pada dalam pangkuan kekasihmu.”
“Kau tahu namaku?”
Seruni diam tak menjawab, langkah kakinya diperlambat. Dua orang berpakaian seperti prajurit memberi hormat pada Seruni seraya membukakan pintu sebuah kamar. Seorang wanita separo baya sedang menunggui suaminya terbaring tak berdaya, sebuah kamar yang megah dengan ranjang berukir terbuat dari kayu yang begitu apik. Seruni mengajakku mendekat.
“Ayah, Seruni datang dengan Ruslan.”
“Ayah sudah lama menunggunya.”
“Ruslan ini ayahku, ayah sedang sakit dan ingin meminta pertolonganmu, ayah masih berharap bisa sembuh. Ayah masih ingin memimpin kerajaan ini.”
“Kenapa harus aku? Raja sakit apa? Aku tidak bisa apa-apa.”
“Banyak hal yang tidak kau ketahui Ruslan. Kamu suka berburu kehutan, menangkap kelinci untuk kekasihmu.”
“Apa salah dengan yang kulakukan itu?”
“Salah tapi kamu masih tiada apa-apanya dari pada kesalahan orang-orang selain kamu yang menyebabkan aku sakit seperti ini, manusia memang hanya ingin kesenangannya tanpa mengindahkan kepentingan alam yang juga harus diperhatikan, mereka menebang pohon dengan liar.”
Seorang prajurit memberi hormat lalu berkata
“Manusia tidak lagi mau menanam pohon, namun mereka selalu menebang pohon yang telah dewasa, hingga hutan menjadi gundul, dan akibatnya semua air hujan menjadi banjir karena tak dapat lagi diserap oleh akar-akar pohon, dengan mengendap-endap dimalam hari agar tidak diketahui, tanpa mereka sadari dengan menebang pohon-pohon itu dia menghancurkan hidupnya sendiri lihatlah banyak korban manusia terseret banjir itu juga karena penebangan pohon liar.”
“Apa yang bisa kulakukan?”
“Ingatkan mereka Ruslan!” raja tak melanjutkan kata-katanya, Seruni mulai menerangkan
“Ayahku ini sudah tua sekali Ruslan, sekarang dia sakit dan susah untuk disembuhkan, itu tak lain karena ulah manusia yang menghancurkan alam. Ayah masih menyayangi manusia yang masih membutuhkan alam maka ayah masih bertahan untuk hidup, ayah akan sembuh jika ada penghijauan kembali hutan-hutan yang telah rusak.”
“Lihatlah istana kami yang begitu luas namun tiada berpenghuni, satu persatu mereka mati mengenaskan, kini tiba giliranku untuk menunggu kematianku dalamistana yang menyeramkan ini. Namun aku berharap padamu Ruslan agar mau membantu kami yang tak berdaya lagi menghadapi kekejaman manusia.”
Aku terbayang setiap hari ada pohon yang hilang dari hutan, hingga hutan tak lagi rimbun maka tiada lagi binatang-binatang menghuni yang ada hanya kelinci putih, dan betapa teganya aku masih ingin menangkap kelinci mungil itu. Aku dan manusia lainnya memang hanya memikirkan diri sendiri tanpa mau memahami lingkungan dan alam yang telah banyak memberi kekayaannya pada kita.
“Pesan kami harus kau sampaikan pada kaummu, jangan lagi menyakiti kami, karena jika kami mulai tak mau lagi bersahabat dengan manusia, mala petaka kan datang menimpa manusia yang egois.”
“Maafkan kami manusia yang sudah berbuat salah pada alam, kami tak akan ku sampaikan pesan ini, lalu bagaimana aku harus keluar dari tempat ini?”
“Kau harus melihat kondisi kerajaan erutan ini terlebih dahulu.”
Aku hanya menurut, tempat yang sepi redup waktu senja yang tak jua berujung malam, aku memasuki dimana ada sungai tercemar, gunung yang terkikis habis, hutan yang gundul, laut yang semakin sedikit tumbu karangnya,pemandangan yang menyedihkan. Aku tak dapat menahan airmataku. Menangis untuk alam.
“Sekarang pejamkan matamu,terimakasih untuk kesediaanmu mengunjungi kerajaan erutan ini, aku barharap ayahku secepatnya akan sembuh lantaran bantuanmu.”
“Sama-sama Seruni, aku yang berhutang banyak pada kerajaan erutan, pengalaman yang sungguh berharga selama hidupku. Apa aku tak perlu mengucapkan kata pamit dan terimakasih pada raja?”
“Tak usah ayah sudah menyuruhku untuk mengembalikan kau pada duniamu, mereka sangat merindukanmu. Jangan kaget jika ada yang ganjil sepulangmu dari sini.”
“Sebelum pergi bolehkan aku mengutarakan satu pertanyaan?”
“Mengapa tidak?”
“Mengapa hanya ada waktu senja disini?”
“Itu mengambarkan alam ini yang telah memasuki usia senja, tak lama malam akan menjelma, sudahlah pejamkan matamu Ruslan.”
Aku memejamkan mata, tak lama setelah kubuka mata aku telah berada di jalan yang berkabut.
***
Rahman menganggukkan kepalanya menghayati cerita demi cerita, lalu menepuk bahuku kebiasaan Rahman memang tak berubah.
“Kamu beruntung Rus, kami manusia pilihan alam. Kamu cermati kata E.R.U.T.A.N yang menjadi nama kerajaan itu. Jika dibalik maka N.A.T.U.R.E yang berarti alam, itu memang simbol alam kita. Raja yang sakit mengambarkan alam kita yang telah diujung kerusakan akibat ulah tangan manusia Rus. Kita harus mencintai alam yang telah begitu menyayangi kita.”
“Kamu masih pintar seperti dulu tentang analisis seperti itu Man.”
“Ah biasa saja kau selalu saja memujiku. Sekarang ayo kita pulang kerumahku pasti kamu lapar.”
“Aku ingin bertemu Ningsih Man, bagaiman rupa dia sekarang.”
“Itu nanti saja yang penting kamu istirahat dulu, renungkan kejadian yang menimpamu, jalankan amahmu Rus.”
Aku menuruti kata-kata Rahman, kembali kututup ruah tuaku, dari mana aku memulai menyeru pada manusia tentang pengalamanku, bagaimana aku mengajak mereka untuk lebih menghargai lingkungannya.
Malam telah tampak rembulan menyinarkan sinarnya dengan anggun, sepoi angin memeluk tubuhku, aku akan memulai semuanya mulai dari saat ini, mulai dari diri sendiri, mulai dari hal terkecil. Aku yakin semuanya akan dapat berjalan.
Pada pohon kuseru
Lebatkan daunmu, perkuat akarmu
Agar manusia tak dapat mengusimu
Pada laut kuseru
Ganaslah ombakmu
Agar manusia tak menjamahmu.


*********JELMAAN ALAM**********

Tidak ada komentar: