SELAMAT DATANG DI HUNIAN SASTRA

SELAMAT DATANG DI HUNIAN PECINTA SASTRA INDONESIA

AYO KITA BELAJAR MENGEKSPRESIKAN DIRI DENGAN MENULIS DAN MENULIS!

Jumat, 17 Mei 2013

Pro dan Kontra Tokoh pada Pengarang* (Catatan untuk M. Shoim Anwar)

Kiai Jogoloyo, Kiai Bandrun, Santi, dan Tandijaya sedang berkumpul. Mereka saling membeberkan takdir yang tertulis dalam diri mereka. Takdir yang tidak mengenakkan menurut mereka. Kiai Jogoloyo membuka pembicaraan. “Aku sungguh tidak terima penulis itu mempermainkan lakonku.” “Demikian saya Yai,” Tambah Santi “Sekarang begini saja, kita bergantian cerita atas semua ulah pengarang pada kita. Akhir baru kita simpulkan apa yang sebenarnya dia mau dengan menjalankan lakon kita seenak udelnya.” Jawab Kiai Badrun bijak. “Baiklah, jika demikian saya akan bercerita lebih dulu Yai,” ucap Tandijaya. Mereka mengangguk bersamaan. “Saya sangat kesal dengan dia, bisa-bisanya dia menjadikan saya selingkuh dengan gadis 25 tahun lebih muda dari saya. Tapi bukan itu masalahnya, yang saya paling tidak suka ialah ketika Santi harus sakit. Dan istri saya mengetahui perselingkuhan kami. “Harusnya dia bisa memposisikan dirinya, jika ia menjadi saya. Berat sekali menjalani hidup menjadi Tandijaya. Saya kadung mencintai Santi namun tak bisa melepas istri saya. Ketika Santi sakit saya ingin mendekapnya dan memberinya semangat untuk bertahan. Tapi jauh dari yang saya inginkan,istri saya malah yang dating melabrak keluarga Santi.” Santi menangis mendengar menuturan Tandijaya, sambil membenahi jilbabnya ia mulai bicara. “Aku tidak masalah menjadi tokoh yang jatuh cinta dengan pria 25 tahun lebih tua, dengan senang hati aku menjadi wanita perokok, menjadi mahasiswa yang tidak kunjung lulus. Dan sedikit ada kebanggaan dalam diriku ketika menjadi wanita yang kuat. Paling tidak aku bisa merasakan teori feminisme, tapi tampaknya penulis itu tetap membela kaum lelaki. Tokoh perempuan tetap dibikin lemah dan nelangsa. Aku harus penyakitan, menjadi penghuni tetap rumah sakit. Mendapat cemooh dari istri Tandijaya. Bagaimana aku bisa terima. Jika dia ingin membuatku menjadi wanita yang kuat. Mengapa tidak total seperti tokoh Firdaus ciptaan Nawal. Apalagi akhirnya aku harus menyerah dengan keadaan dan memakai pengbungkus kepala ini. Sungguh menyebalkan.” Muka Santi memerah lalu disulutnya sebatang rokok. “Kiai Jogoloyo, bagaimana apa anda mau berbicara?” Tanya Kiai Badrun “Tentu, rasanya aku ingin membalik lakonku dengan dia. Kalian pasti sudah tahu bagaimana dia menulis tentang diriku. Aku merasa dilecehkan. Bagaimana mungkin dia menulis tentang Kiai yang masuk partai dan mati mengenaskan. Sungguh tidak punya sopan santun. Dia harus tahu, jika dia tidak cepat mematikanku dalam peristiwa memalukan usai kampanye itu. Aku akan mengubah dunia politik. Aku yakin politik akan lebih berperikemanusiaan. Aku akan membenahinya, kerena perlu diketahui. Di sana harus ada orang-orang beragama. Kalo tidak malah semakin buruk. Tapi dia tergesa membunuhku. “Tidak sepatutnya pula dia mengubah pesantrenku dengan kelakuan santri yang nyleneh. Santri-santriku semua nurut padaku. Dan penulis itu harusnya tahu tanpa aku ada di pondok tidak akan mengubah perilaku santriku. Jelas ini mempermalukan sekaligus melecehkan dunia pesantren terutama mencoreng nama Kiai. Hingga tak punya wibawa di masyarakat. “Masih tidak puas dia merusak hidupku. Di akhir cerita ditulis pula politikus partai kecemplung kali. Kenapa sampai sedemikian dia membenciku.” Sambil menuding tulisan yang dimaksud. Lalu buku ungu itu ditutup. “Sekarang giliran saya.” Kiai Badrun berucap namun ada yang memotong. “Tunggu, saya ingin lebih dulu.” “Kamu Olive?” perempuan itu mengangguk dadanya tampak rata. Kiai Jogoloyo, Santi, Tandijaya, dan Kiai badrun pun menanti Olive bicara. Tapi Olive trus meraung sambil memegang dadanya. Kemudian bangkit menuju rak buku. Matanya mencari salah satu judul buku. Karena takkunjung didapat dia melempar tiap buku yang dipegang. Kiai Badrun berdiri membantu Olive. Seakan mengerti apa yang dicari Olive. Dengan cepat Kiai Badrun mengambil buku bersampul sketsa perempuan telanjang. “Ini yang kamu cari Olive?” “Benar, aku muak melihatnya. Aku ingin membakarnya.” “Tenangkan hatimu, duduk dulu. Tidak baik seperti ini.” “Kita harus memusnahkannya agar kita tak diperbudak cerita mengerikan ini. Kiai tak tahu apa yang aku alami?” “Saya tahu, kedua payudaramu diangkat. Kamu kena sipilis. Ditinggal kekasihmu. Saya paham.” “Lalu kenapa Kiai tampak membela penulis itu.” “Iya, kenapa Kiai Badrun tampak membelanya? Bukankah diawal kita sepakat tidak setuju dengan semua yang dia tulis?” Kiai Jogoloyo ikut bicara “Di awal saya bilang. Nanti kita menyimpulkan apa yang dia inginkan dengan menjadikan kita sebagai lakonnya. Bukan langsung main bakar.” Rahman tiba-tiba muncul dengan suara yang sangat ngotot “Benar, bakar saja bukunya. Termasuk ini.” Ia mengambil buku ungu yang tadi dipegang Kiai Jogoloyo. “Aku telah salah memarahi Dokter Heri, bukan dia yang salah mencangkokkan jantung babi. Tapi penulis itu. Enak saja, aku lebih baik mati dari pada membawa jantung babi ini. Sok jadi dokter!” Rupanya kemarahan Rahman mendatangkan tokoh-tokoh yang lain. Sogol, Bardo, Ratri, dan Qafi tampak merah mukanya. Kiai Badrun tampak bingung. Tapi tetap tenang menanyai satu-satu apa yang akan mereka ucapkan. “Kenapa dia tidak memandikanku dengan tuak?” Tanya Sogol “Sulasih istriku, kenapa dibuat selingkuh dengan kawanku?” Bardo membentak “Aku begitu haus birahi, seperinya dia sengaja menyiksaku mehanan hasrat yang begitu dalam. Sebelum hasratku terpenuhi, suamiku mati terbakar. Hiks hiks hiks. Tega sekali dia menulis begitu. Apa sekarang dia akan memenuhi hasratku?” Ratri dengan isakan tangisnya. “Aku mencintai Prabandari, tapi dia tak mengabulkannya. Ah biadab!” Qafi memukul meja kerja penulis. Menyusul Suparjan yang keberatan menjadi TKI illegal. Ruang kerja penulis makin sesak. Kiai Badrun kemudian bicara. “Sekarang kita tenang semua. Dalam hidup pasti ada dua kutub. Sekarang kita marah, kesal,mengutuk. Tapi sekarang kita panggil teman yang lain pasti ada yang merasa senang dengan penulis ini. Kita tidak boleh melihat dengan satu sisi. Pasti cacat jadinya.” “Sudah tak usah banyak pertimbanganlagi, sudah jelas kita rugi.” Kata Tandijaya, diikuti sorak kawan-kawannya. Santi, Olive, Ratri, dan tokoh wanita lainnya saling menggerutu kenapa wanita selalu dibuat sengsara. Tiba perempuan tawanan mengeluhkan hal yang sama. Giliran Prabandari angkat bicara “Tidak semua dibuat seperti itu, buktinya aku wanita yang hebat. Sudahlah bagaimanapun aku membela penulis.” “Ya, karena kamu mengalami suatu yang baik.” Sergah mereka Di tengah-tengah muncul Turno, dia mengamati sekelilingnya tampak sesak dia berdehem lalu bersuara. “Apa yang kalian lakukan beramai-ramai seperti ini. Kalian merasa dirugikan? Aku merasa sebaliknya. Walau dalam cerita aku miskin, dianggap PKI tapi aku senang. Aku mengemban amanat yang harus ku sampaikan pada pembaca. Bukan hanya aku yang merasa senang dengan penulis ini. Banyak. Aku tak bisa menerangkan dengan jelas. Tapi aku pernah mendengar penulis ini menjawab pertanyaan mahasiswanya. Kenapa semua kisahnya menyedihkan? “jika kisah ditulis menyenangkan maka tidak akan menimbulkan perenungan. Dan dengan ditampakkan kesedihan maka diharapka pembaca akan melihat kebahagiaan. Dengan diciptakan kejahatan maka pembaca akan mengalami katartis. Maka yang terniang dalam benak pembaca adalah mencegah bagaimana kejahatan yang demikian tidak terjadi.” “Kalian belum puas meneriakinya. Coba bacalah pengakuannya tentang penciptaan kita. Para tokoh saya berakhir dengan tragis bukan karena saya ingin bertragis-tragis. Para tokohnya terlibat kekerasan bukan karena saya ingin berkeras-keras. Mereka memberontak bukan karena saya ingin memberontak. Mereka tak berdaya bukan karena saya ingin tak berdaya. Mereka meledak bukan karena saya ingin meledak. Hidup mereka menjadi demikian karena ada semacam tutntutan di bawah ambang kesadaran para tokohnya. Hokum sebab akibat tiba-tiba menemukan polanya tatkala bersentuhan dengan dunia cerpen Nah apa kalian telah sadar? Dia bukan sengaja menuliskan kita begitu saja. Tapi jdia juga mengemban moral.” Semua diam, Kiai Badrun mangut-mangut. “Tapi kenapa dia menanamkan dendam begitu dalam padaku, hanya karena sebiji pisang?” mereka dikejutkan suara Kusmo. Semua diam namun seluruh mata tertuju pada dua Kiai. Kedua Kiai itu saling berpandangan seakan berisyarat Kau saja yang menjelaskan. Namun tiba-tiba terdengar suara kaki menaiki anak tangga, semakin mendekat keruang kerja penulis. Sepertinya tak salah memang suara kaki itu adalah kaki penulis yang akan menciptakan tokoh tragis, keras, miskin, tak berdaya, menderita, pendendam, dan entah apalagi yang kan dilahirkan sesuadah dia bersetubuh dengan kehidupan yang berhasil menghamilinya. Para tokoh berlarian kembali pada cerita masing-masing, tetap pada keganjalan. Tidak terima akan perlakuan penulis. Tak lama penulis masuk ruang kerjanya. Matanya langsung tertuju pada buku yang tercecer di lantai dan meja. Sebiji Pisang dalam Perut Jenazah, Asap Rokok di Jilbab Santi, Perempuan Terakhir, Oknum, Musyawarah Para Bajingan, Soeharto dalam Cerpen Indonesia dan buku karya yang lain. Penulis mengerutkan keningkan sambil mengambil buku-buku tersebut. Dia mengingat-ingat kapan pernah membiarkan buku berserakan. Ruangan tampak hening. Ditata kembali buku-buku itu di rak. Sambil berpikir, mungkin anak-anaknya yang mengambil dan tidak mengembalikannya. Kini tangannya menyalakan layar monitor dan entah nasib bagaimana yang dia tulis. *Sekelumit kisah ini tidak ada niatan melecehkan penulis. Namun merupakan apresiasi saya dalam karya-kaya beliau. Salam.... Surabaya, 05 Agustus 2012

Tidak ada komentar: