SELAMAT DATANG DI HUNIAN SASTRA

SELAMAT DATANG DI HUNIAN PECINTA SASTRA INDONESIA

AYO KITA BELAJAR MENGEKSPRESIKAN DIRI DENGAN MENULIS DAN MENULIS!

Jumat, 17 Mei 2013

SARIMBIT

Mall di Ibu Kota semakin menjamur, persaingan semakin ketat. Banyak mall yang menawarkan berbagai fasilitas untuk menarik hati pengunjung. Kini yang sedang tren adalah internet nir kabel yang ditawarkan. Aku pun menikmati fasilitas itu, tujuanku hanya ingin membuka internet mulai dari surel, facebook, google sampai blogger. Puas dengan dunia maya, aku berjalan menyusuri toko-toko yang ada. Mataku tertuju pada toko batik bernama Klaras, yang memajang berbagai macam batik. Aku terhenti pada sepasang batik yang biasa dikenal dengan sarimbit. Coraknya membuatku ingat pada masa satu tahun yang lalu. *** Aku sering mendengar ungkapan “cintai dengan sederhana”, namun cintaku padanya tak bisa sesederhana itu. Usia yang terpaut 10 tahun tidak membuat cintaku reda, aku mencintainya sebagaimana api melahap kayu bakar, mirip sajak Sapardi Djoko Damono. Aku tahu dia pasti seperti itu pula. Dia mengayomi dan menjagaku. Hubungan kami benar-benar sempurna, apalagi orang tua kita saling merestui, lengkaplah sudah. Bulan Februari tiba, saat para pasangan kekasih saling menunjukkan kasih saying mereka yang biasa diungkapkan dengan hadiah. Namun kami berbeda, Mas Iman mengajakku membeli sarimbit. “Ah, apa tidak terkesan resmi sekali.” Celotehku “Siapa bilang? Batik cocok segala suasana. Dan ini budaya harus dilestarikan.” Mas mulai menggurui, aku tertawa dalam hati lalu mengangguk. Sepertinya tak ada pasangan sebahagia kita, kurang setahun lagi aku lulus SMA dan mas Iman akan segera meminangku menjadi pendampingnya. Aku tak sabar. “Nurul, apa kamu sudah benar-benar mencintai Iman?” Tanya bapak tiba-tiba “Tentu, kenapa bapak bertanya seperti itu lagi.” “Hanya memastikan. Jika bapak ingin kamu kuliah dulu bagaimana?” “Maksudnya saya belum boleh menikah?” Bapak tak melanjutkan bicara, lalu melangkahkan kaki ke Musholla. Setahun berlalu, rupanya begitu cepat karena aku selalu menikmati hari-hariku yang indah, aku lulus dengan nilai yang tidak begitu memalukan. Sepulang mengajar mas Iman ke rumah. Jantungku berdetak dengan kencang keringat dingin bercucuran. Betapa bahagianya aku, Allah begitu baik padaku. Di dalam kamar aku menunggu pembicaraan bapak dan mas Iman. “Apa kabar Iman?” “Alhamdulillah pak. Bapak bagaimana?” “Ya, seperti yang kamu lihat. Bapak sehat.” “Ibu di mana pak?” “Masih ada pengajian. Ada yang mau disampaikan nak Iman?” “Iya pak, dik Nurul sudah lulus. Seperti janji saya dulu saya akan melamar dik nurul besok atau lusa saya akan dating dengan orang tua saya.” “Sebelumnya bapak minta maaf, bukan bapak menolak niat baik nak Iman. Hanya saja bapak ingin adikmu kuliah dulu. Jika kau memang mencintainya tunggu sampai dia lulus.” “Saya tidak keberatan, akan saya sampaikan kabar ini pada orang tua saya pak. Semoga akan mendapat keputusan terbaik.” “Syukurlah jika kamu memahami.” Entah bagaimana kelanjutan dialog itu, aku sudah lemas tak mampu mendengar dengan rinci. Bapak pasti memaksaku kuliah dan ingin menjadikanku guru. Ya, bapak kepala sekolah pasti malu jika punya anak yang tidak berpendidikan. Secepat ini kebahagiaan berganti. “Nduk.” Suara bapak mengagetkanku, “Ada apa pak?” “Kamu menangis? Kamu sudah dengar pembicaraan bapak dengan Iman?” aku hanya mengangguk. *** Rupanya keluarga mas Iman tak bersedia menunggu kelulusanku, karena usia mas Iman yang kian bertambah, aku tetap belum mau kuliah. Dan bapak memondokkanku disebuah pesantren. Agar aku tak dapat bertemu mas Iman, namun diam-diam kami tetap bertemu. Ketika aku pulang mas Iman yang mengantarkanku. Akhirnya bapak mengetahui perjumpaan kami, bapak semakin murka. Enam bulan kemudian aku menerima undangan, mas Iman menikah dengan tetangganya. Aku terpukul. Aku menangis. Dadaku sesak. Hancur, luluh lantak. Ditengah keterpurukanku mas Iman menelponku. “Dik, nanti datang ya.” “Aku tak sanggup mas.” “Demikian juga aku, jika kamu tak datang maka aku akan merasa berdosa menghancurkanmu.” “Baik, aku akan datang dengan satu syarat. Kita pakai sarimbit yang pernah kita beli dulu.” “Tentu, yang penting kau hadir.” “Ya, aku akan hadir.” Janur kuning indah menghiasi, aku melankahkan kaki dengan pasti. Aku tak tahu apa mas Iman benar-benar memakai sarimbit di malam pernikahannya ini. Aku tak peduli. Aku memasuki keramaian, semua orang memandangku ketika mas Iman menghampiriku dengan mengunakan sarimbit. Dia memenuhi janjinya. Orang-orang saling berbisik entah apa yang diperbincangkan. “Mana istrimu mas?” “Dia di dalam, aku sudah cerita semuanya. Dia tak mau menemuimu.” “tidak apa-apa, aku juga tak berlama-lama. Aku senang kita bisa pakai sarimbit ini lagi, walau dengan suasana yang berbeda. Aku tetap mencintaimu mas.” “Aku juga dik.” Kemudian aku pamit, aku tak tahan ingin menangis. Sampai di rumah, aku mengunci kamarku dari dalam meraung, aku tak dapat melakukan apa-apa selain menangis sambil memeluk foto mas Iman. Berhari-hari aku tak keluar kamar, bapak dan ibu bingung. Bapak mendibrak pintu kamarku, didapatinya aku bermandi air mata. “Apa yang kamu lakukan nak?” bapak mengambil foto mas Iman dari pelukanku “Apa kamu masih mencintainya dan ini yang membuatmu seperti ini?” aku mengangguk pelan. “Berarti kamu menyalahkan bapak, atas semua ini nak? Jangan siksa dirimu seperti ini.” Aku tak mampu berkata-kata. Mungkin sudah dua minggu aku tergeletak, aku sangat rindu mas Iman. Aku tak kuat, aku mengambil ponsel lalu mengirim pesan untuknya Mas, aku kangen Terkirim: Mas Iman +628133050xxxx 16-Mei-2010 22:55:30 Lama aku tunggu tak ada balasan, aku semakin sakit. Aku tak dapat memastikan aku tidur atau terjaga. Tak ada siang maupun malam. Semua sama KELAM. Tiba-tiba ponselku bordering, tertera nama Mas Iman. Aku segera menjawab dengan gairah. “Mas, kenapa tak kau balas pesanku?” “Maafkan aku, semalam istriku yang membuka pesanmu. Dia menangis, aku bingung dik. Aku belum mampu menyentuhnya. Aku mencintaimu. Tapi tak tega aku menghianati istriku.” “Apa dia marah pada kita mas?” “Tidak, dia yang merasa berdosa hadir di tengah cinta kita. Sudahlah, kau harus bangkit. Jangan sakiti dirimu. Lihat orang-orang yang mencintaimu dik.” “Aku, ingin bersamamu mas.” Segera ku putus telepon. Aku tak sanggup lagi berlama-lama. Remuk redam sudah hatiku. Entah apa yang kemudian akan terjadi pada hatiku. *** Kini aku meneruskan kuliahku di salah satu perguruan tinggi di Surabaya, seperti keinginan bapak. Tapi aku bukan Nurul yang dulu. Aku menjadi Nurul yang berhati keras, aku tak lagi dapat merasakan cinta. Hatiku telah mati, semua pria yang mendekatiku tak pernah ada yang ku hiraukan. Biar aku jalani semua sendiri. Aku akan tetap menunggu menjadi istri mas Iman. Kembali menggenakan sarimbit seperti dulu. Surabaya, Mei 2012

Tidak ada komentar: