SELAMAT DATANG DI HUNIAN SASTRA

SELAMAT DATANG DI HUNIAN PECINTA SASTRA INDONESIA

AYO KITA BELAJAR MENGEKSPRESIKAN DIRI DENGAN MENULIS DAN MENULIS!

Rabu, 01 Desember 2010

JEJAK REMBULAN

Malam ini begitu sepi, sunyi dan gelap. Terasa desir angin terdengar membisikkan bahasa malam yang tak dapat kuberi makna, entahlah mungkin mereka mencemoohku, aku yang dari tadi termenung dibawah langit hitam yang tak kunjung hilang. Angin malam memelukku dengan dinginnya, membuatku bangkit mengumpulkan kayu mungkin dengan api unggun rasa dingin sedikit berkurang, ah tapi api sedang tidak bersahabat dengan kayu, berkali-kali kayu menolak pelukan api apalagi angin membantu memadamkan api kecilku.
Aku terbawa angin malam sampai pada kenangan saat bersama Bulan. Malam seperti ini aku sedang bersamanya menikmati indahnya bintang dan hanggatnya kopi yang disuguhkan untukku, walau terkadang kopi itu pahit namun entah kenapa tetap terasa manis di lidahku, “Gula tidak bagus untuk tubuh kita.” Katanya sambil mengaduk kopi dalam cangkir, aku rindu itu.
Suara hewan malam bagai nyanyian sebuah lagu aku tak tahu pasti lagu apa yang mereka nyanyikan bahagia ataukah nestapa. Kanapa malam begitu lama aku semakin merasa diabaikan oleh alam, nyamuk liar yang tak bersahabat berkali-kali mereka mengusik ketenanganku, kutatap langit hitam tampak satu bintang berkedip manja padaku seolah sedang mengadu kalau dirinya kesepian karena bulan menghilang. Mungkin dia juga tahu akupun sedang ditinggal Bulan dan hidupku jadi sepi dan selalu sepi. Aku lengah sebentar ketika kembali kutatap langit bintang itu telah menghilang, dia pasti mencari bulan.
Hitam pekatnya langit menyembunyikan sinar bulan, pasti sulit untuk mencarinya, aku tersenyum sendiri terkadang jika aku memikirkan tentang bintang dan bulan. Kenapa bulan selalu setia pada bintang yang telah banyak mempunyai pasangan, kenapa bulan masih saja sendiri? Adakah dia tak ingin seperti bintang, kali ini sepertinya bintang merindukan bulan yang tak tampak.
Pohon-pohon saling berbisik lewat daunnya yang rimbun sepertinya tak menyukai kehadiranku disini, mungkin mereka membicarakan tentang keserakahan manusia dan menganggap aku salah satu dari orang-orang seperti itu, aku tak menyalahkan pohon-pohon itu. Biarlah mereka berbisik dan saling berdebat tentang kehaadiranku aku tak peduli.
Kali ini dikejauhan terdengar suara raja hutan, aku ketakutan kusandarkan tubuhku disebatang pohon sepertinya dia menolak kujadikan sandaran dan menertawakan aku atas ketakutanku. Terlintas dalam benakku novel dari Mochtar Lubis yang berjudul Harimau-harimau yang kubaca saat SMA, Ku coba memejamkan mata untuk sedikit menghilangkan rasa lelahku. Aku tak peduli dengan serangan nyamuk-nyamuk nakal, biarlah mereka menikmati segarnya darahku. Aku mulai memasuki lorong gelap yang tak pernah kuketahui.
***
Dilorong yang sunyi Bulan tertawa dengan riangnya, aku mendekatinya dengan meraba jalan yang kulalui aku tak jelas melihat semuanya hanya Bulan yang tampak, matanya yang bersinar dan hitamnya rambut yang mengalahkan pekatnya malam. “Kenapa kau disini?” Tanyaku, “Aku tahu kau takut pada kegelapan dan aku akan menemanimu.” Jawabnya dengan senyum manisnya. Ya, aku benci dengan gelap, karena kegelapan selalu memisahkan aku dengan bayang-bayangku, karena itu aku selalu berada disamping bulan yang selalu menerangi hidupku.
Bahagia merayap keseluruh aliran darahku, Bulan masih ingat tentang diriku dan ketakutanku. “Aku ingin kita bersama lagi.....” Kata-kata ku terputus oleh tiupan angin yang mengigil, Bulan berhenti tertawa dan memandangku dalam hitamnya malam, “Masih juga kau belum sadar dengan mimpi-mimpi mu?” tanyanya dengan nada tinggi “Aku akan selalu bermimpi untuk bertemu denganmu, sampai kapan pun.” Aku mencoba meraihnya namun tak sempat tanganku menyentuhnya, sebuah ombak menghempaskan Bulan ketengah samudra yang luas.
Pantai yang indah, kenapa aku sampai pada bumi berpasir ini,terik matahari membuat pasir-pasir ini bercahaya dan bayang-bayangku kembali menemaniku, aku ingin mereguk air yang segar dengan rasa asin ini, tapi aku tak cukup nyali aku takut tengelam, aku bukan perenang yang hebat tapi aku dapat merenangi kehidupan ini, ku telusuri pulau yang tak kuketahui namanya ini, ada sepasang kakek dan nenek bermain pasir dengan riang. Mereka melihat kearahku.
“Kek, ini namanya pantai apa?” Tanyaku pada mereka
“Pantai pemimpi, hanya mereka-mereka yang suka dengan dunia mimpi yang sanggup datang ke pantai ini, aku tahu kau pemimpi yang sedang bermimpi.” Aku tak mengerti jawaban kakek itu, apa aku sedang bermimpi? Sepertinya tidak semua tampak begitu nyata. “Benar, kau sedang bermimpi .” Jawabnya seakan tahu apa yang aku pikirkan “Beruntung dirimu dapat bermimpi kepantai yang indah seperti ini, dalam dunia nyata kau tak akan dapat menjumpainya lagi, semua telah rusak, kotor dan menyedihkan, semuanya ulah dari bangsa mu, coba lihat kami adalah sisa-sisa dari dunia nyata yang terselamatkan olah dunia mimpi dan kami tak mau kembali lagi kedunia mu” katanya melanjutkan, aku hanya diam terpaku tak hanya hutan yang tak menyukaiku.
“Tapi aku tak pernah merusak apapun yang ada didunia ini,mungkin ada dari sebagian saudaraku yang melakukannya namun aku yakin mereka tidak bermaksud merusak kalian.” Aku mencoba membela manusia-manusia tak tak sepantasnya dibela.
“Apapun yang kau katakan kami tak percaya lagi, tanah saja menangis kala di jadikan bahan pembuatan manusia oleh sang pencipta, kalian terlalu rakus.”
“Apa yang harus kulakukan untuk menebus kesalahan kami?”
“Bersahabatlah dengan alam, kami sudah tua jangan lagi merusak kami, kami butuh orang-orang seperti kau, tapi aku sulit menemukanmu, sampaikan saja pesan kami pada mereka nak, sekarang kembalilah kamu keduniamu, kamu akan menemukan Bulan, Bulan telah menuntunmu kemari tanpa kau sadari, pergilah!”
“Kakek dan nenek tahu aku sedang mencari bulan?”
“Pasti, kami bersahabat dengan pemimpi sepertimu, bawalah bintang laut ini untuk Bulan, dia pasti senang.”
“Terimakasih kek, nek. Dengan apa aku kembali kehutan, sedang aku pun tak sadar bagaiman aku sampai pada tempat ini.” Tanyaku sambil menerima bintang laut
“Pejamkan saja matamu Bulan akan menuntunmu kembali pada tempat asalmu.” Kali ini nenek yang menjawab, aku hanya menurut. Saat kupejamkan mata kembali kegelapan merayap memenuhi alam, tampak Bulan kembali tersenyum dan memegang tanganku dengan jari-jarinya yang seperti duri.
“Mau kemana?” Tanyaku
“Mengantarkan kau kembali, aku akan menunggu kau kembali.” Jawabnya dengan nada setengah berbisik hingga dia harus mendekatkan kepalanya kearahku.
***
Ketika embun pagi jatuh dari daun pepohonan tepat dikelopak mataku aku terbangun dan tersadar dari kegelapan lorong-lorong. Jauh berbeda dengan malam yang mencekam, pagi ini begitu indah, angin sejuk terasa dikulitku. Perutku memainkan sebuah nada, sepertinya cacing dalam perutku sedang berdansa, aku tercengang saat seekor bintang laut ada digenggamanku,mana mungkin dalam hutan ada bintang laut? Aku mencoba mengingat apa yang telah terjadi denganku.
Sepertinya aku berjumpa dengan Bulan dan dia membawaku kelaut dan kembali mengantarkan aku kesini, tapi......., mungkin hanya mimpi tapi bintang laut ini ada, aku ingat ini hadiah dari kakek dan nenek yang ada ditepi pantai itu, tepatnya dalam mimpiku, mungkin juga dalam nyata, aku sulit membedakan mimpi dan nyata.
Aku berjalan menuju sungai untuk meneguk kesegaran airnya yang jernih. Kulihat bulan tampak pucat memantul di air, mungkin dia bersedih semalam tidak dapat menyinari alam atau mungkin lelah terus bersinar.
Entah sampai kapan aku terus begini menjelajahi bumi untuk mencari Bulanku yang hilang, gadis yang selama ini hidup denganku. Hampir seluruh hidupku kuhabiskan dengannya. Sepertinya semua tempat telah aku jejaki tapi tak dapat kutemukan satupun jejaknya, aku tahu dia jenuh hidup denganku karena aku selalu tengelam dalam karya-karyaku, andai dia tahu dialah sumber inspirasiku dalam bersyair tapi dia tak pernah pahami itu. Aku berharap ucapan kakek dan nenek itu benar aku akan segera bertemu dengan Bulan.
“Penyair itu pemimpi, dia hanya bisa hidup dengan hayalan dan mimpinya, ketika dia terbangun dari mimpi pasti dia tak bisa menerima kenyataan yang ada.” kata-kata itu diucapkan Bulan sebelum dia pergi dari hidupku.
Sekarang untuk siapa aku bersyair bila Bulan tiada lagi disisiku, kini aku harus bangun dari mimpiku dan menerima kenyataan yang ada bahwa Bulan tak lagi ada. Atau memang Bulan hanya ada dalam syair-syair indahku? Jika benar betapa bodohnya aku. pasti kini Bulan sedang menunggu persembahan syair dariku. Dan jika memang benar kemanapun Bulan kucari maka tak akan kutemui jejak Bulan karena dia hanya hidup dalam diriku bukan dimanapun.
Haruskah aku kembali ke istanaku? Aku tak mengerti apa yang terjadi, bukankah Bulan jenuh dengan pemimpi sepertiku? Tapi kenapa dia membawaku kedunia mimpi, apa yang sedang terjadi dengan hidupku, kemana ku bertanya, dipenghujung langit aku berteriak tentang dilemaku, apa memang aku hanya ada didunia mimpi, tapi kenapa aku ada di dunia yang fana ini, menjadi kumpulan dari manusia-manusia yang dibenci oleh alam raya, sungguh memuakkan, memalukan dan aku menyesal menjadi bagian dari mereka.
Dengan lesu aku melangkahkan kakiku dan membalikan arah jalanku, ya aku akan segera kembali pada kehidupanku dimana disana dapat kutemukan Bulan dalam syairku.
Langkahku makin cepat seakan ada sesuatu yang mendorongku agar secepatnya sampai ke istanaku yang lama aku tinggalkan, rerumputan tampak segar dengan embun yang masih melekat, aku merasa dia tersenyum, karena aku telah sadar untuk kembali pada mimpiku dan meninggalkan kefanaan ini.
Nyanyian burung-burung yang merdu pasti akan membuatku rindu pada perjalanan ini, tapi tak terlintas dalam benakku aku akan kembali lagi melangkah disini.
Dikejauhan telah tampak istanaku dengan hiasan syair-syair ditiap dindingnya, didepan istana menjulang tinggi pohon asa yang hampir berbuah. bunga-bunga senja bermekaran bagai permadani yang indah, Bulan tersenyum dibalik tirai jendela yang tembus pandang. Aku mempercepat langkahku.
Betapa bahagianya aku, Bulan telah menunggu kedatanganku dengan lesung pipitnya senyumnya membias, kugoreskan penaku dikertas yang tak putih lagi mungkin kerena terlalu lama aku meninggalkannya. Inilah hidupku bersama Bulan nan selalu menyinariku dari kegelapan dan syairku yang selalu menghibur dalam sepiku hingga waktu terus mengutukku tuk kembali dalam kenyataan.
Tapi inilah hidupku, aku hidup untuk diriku dan Bulan, bukan untuk orang lain aku tiada peduli hujatan orang disekelilingku karena mereka pun tak peduli denganku.
Akan aku lakukan apa yang menurutku pantas untuk dilakukan walau itu hanya dalam khayal dan mimpiku, asalkan Bulan selalu disampingku. Bersama Bulan kurawat pohon asa, sebelum bunga-bunga senja berhenti berbunga.




~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~JEJAK REMBULAN~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~


Surabaya, Juli 2007

Tidak ada komentar: