SELAMAT DATANG DI HUNIAN SASTRA

SELAMAT DATANG DI HUNIAN PECINTA SASTRA INDONESIA

AYO KITA BELAJAR MENGEKSPRESIKAN DIRI DENGAN MENULIS DAN MENULIS!

Sabtu, 13 November 2010

GADIS DALAM HAYALAN

Ponselku berbunyi aku dengan segera melihat pesan yang masuk aku berharap dari dia, aku mengeluarkan nafas kecewa katika ku buka ternyata bukan darinya dan aku membanting ponsel yang mengecewakan ku rebahkan tubuhku dengan malas, mungkin ini sudah larut hingga dia sudah tidur dan tak mengirim pesan untukku.
Suara ketukan pintu membangunkanku, nyatanya hari beranjak pagi dan sepertinya aku akan telat masuk kantor,
“Ayu, bergegaslah! Bagus sudah menunggumu.” Kata ibu dari balik pintu kamarku,
“Ya ibu, secepat mungkin aku selesai.” Aku mandi dengan singkat berharap Bagus masih sabar menungguku, dia kekasihku sudah dua tahun kami berpacaran, dia baik dan sabar menghadapi aku dengan segala kekuranganku.
“Aku sudah siap.” Kataku mengagetkan Bagus dan ibu
“Harusnya setengah jam yang lalu Ayu, sekarang kamu pasti terlambat, nak Bagus juga terlambat.” Ibu membela Bagus
“Tidak apa-apa bu, ini yang pertama kali kami terlambat dan semoga yang terakhir.” Jawab Bagus, aku tak sempat sarapan pagi ini, kami berpamitan dan segera berangkat.
“Kenapa semalam tak membalas pesanku?” tanya Bagus
“Aku sudah tidur dan baru bangun tadi pagi.” Jawabku berbohong
“Ya sudah.” Suasana hening mengantarkan kami ketempat kerja, untuk mengantarkan aku Bagus harus melawan arus untuk kekantornya, aku sudah bilang agar dia tidak mengantarkan aku tapi dia tetap keras kepala.
Akhirnya aku sampai ke kantor dan Bagus kembali kearah kantornya, pandanganku melayang kesegala arah mencari pak Rama yang entah kenapa dia sepertinya dapat masuk kecelah-celah hatiku yang tak dapat dimasuki Bagus,
“Cari siapa bu Ayu?” kata Joko office boy yang keluar dari ruang pak Ibrahim, aku mendekatinya dan bertanya
“Lihat pak Rama jok?” Joko tersenyum dan menjawab
“Barusan saya mengantarkan kopi buat beliau di ruang pak Ibrahim” Joko berlalu dan aku segera keruanganku.
Rama seorang pria yang umurnya jauh diatasku mungkin dia lebih tua dua puluh lima tahun denganku tapi entah aku mengaguminya semenjak pertama kali dia memperbaiki komputerku yang diganti windows baru. Hampir dua bulan aku kenal dengannya baru sekitar dua minggu ini kita bisa dikatakan dekat, tapi dia jarang kekantor karena dia pengawas dikantor cabang.
Kenapa tidak ada berkas yang harus ditanda tangani pak Ibrahim? Aku berharap ada dan aku punya alasan keruangannya dan melihat pak Rama. Pintuku tiba-tiba diketuk “Masuk!” Jawabku, wajah yang ku rindukan membiaskan senyumnya padaku, aku tersentak kaget dan pipiku terasa hangat,
“Ada pesan dari pak Ibrahim, ini data-data untuk laporan keungan bulan ini.” Katanya sambil meletakkan map dimeja kerjaku, kutetap memandanginya.
“Ibu Ayu!” aku tersentak
“Ayu saja pak tidak usah pakai ibu,” kataku gugup, ah apa yang terjadi padaku ini? Kenapa seperti ini? Pak Rama melihatku sekilas lalu pergi rasanya aku ingin memanggilnya tapi aku tak berani. Hati memang sukar dimengerti, apa bagaimana aku harus membohongi diriku sepertinya aku mencintainya, tapi tak mungkin lelaki seusianya pasti sudah beranak istri. Aku pun sudah punya Bagus, sepertinya aku semakin ngelantur aku tak ingin kisahku seperti cerpen Dia Beristri karya Titin Supriatin temanku waktu SMA.
Jam makan siang sebentar lagi, ponselku berbunyi tanda pesan masuk pasti Bagus mau makan siang bersama, “Selamat siang!” Tertera nama pak Rama, “Siang juga.” Aku membalasnya dan sampai jam makan siang tiba kita memutuskan makan bareng.
Aku memesan nasi goreng tanpa ayam dan Pak Rama memesan nasi bakar, kami berbincang-bincang seputar pekerjaan sampai sedikit kearah lebih pribadi wajahnya riang membuatku semakin mengaguminya dia tak berseperti bapak-bapak pada umumnya, dari pembicaraannya terlihat dia suka membaca dan banyak pengetahuan, ponselku ada pesan masuk dari Bagus segera kumasukkan dalam tas.
“Dari pacarnya?” Pak Rama bertanya
“Dari ibu biasa tanya sudah makan atau belum.” Kenapa aku berbohong.
Saat pulang yang dulu selalu kurindu kini telah berubah menjadi waktu yang ku benci aku ingin menambah jam kerja tapi tak mungkin aku termasuk Accounting yang selalu tepat waktu mengerjakan tugas. Bagus sudah menjemputku dengan motor Tigernya, aku tak melihat pak Rama.
Jalanan pasti macet seperti ini jika jam pulang kerja membuatku muak, apalagi kena lampu merah tapi sepertinya Bagus tak pernah jenuh dengan keadaan seperti ini, tepat disampingku sebuah mobil dengan warna merah marun pelan-pelan membuka kacanya dan tersenyum kearahku, pipiku kembali hangat, Pak Rama. Jika diperbolehkan aku ingin lampu merah ini ditampah lagi lima menit saja agar aku tetap melihat senyumnya. Ternyata permintaanku tidak dikabulkan lampu kuning menyala dan diikuti lampu hijau dengan cepat Bagus melejit dan pandanganku tertinggal jauh dibelakang.
Debu-debu beterbangan mengikuti Bagus pergi betolak dari rumahku tanpa kembali menoleh sedikitpun, sesuatu yang aneh terjadi aku biasa saja, anganku terus terbayang pak Rama, berkali-kali aku mengusir bayangan yang terus menari dikepalaku, tapi masih saja tarian itu makin menjadi.
Rembulan telah tampak cahayanya menembus melewati celah-celah dedaunan yang memantul lewat jendela kamarku yang sengaja kubiarkan gelap tanpa cahaya lampu hanya cahaya kecil dari rembulan. Aku kembali memikirkan pak Rama, apa yang aku lakukan pasti malam seperti ini dia sudah berada disamping istrinya atau sedang bersama anak-anaknya, ada yang lebih pantas aku pikirkan. Bagus, ya Bagus lebih pantas aku pikirkan karena saat ini pasti dia memikirkan aku. Bayang Bagus semakin menghilang tergeser bayangan pak Rama yang makin lama makin jelas.

Mataku terbuka membuka pesan yang masuk, pipiku kembali terasa hangat ketika kubaca pesan pak Rama “Ayu, apa besok punya waktu pulang kerja untuk menemani saya kepesta pernikahan teman kantor.” Tanpa pikir panjang aku menjawab “Ya, pasti bisa pak.” Dinginnya sang bayu tak dapat menghilangkan rasa hangat dipipiku. Aku berharap bulan cepat berganti mentari.
“Sayang nanti pulang kerja tidak usah jemput aku, aku ada acara dikantor sama teman-teman.” Kataku pada Bagus
“Kenapa tidak aku temani saja?” tanya Bagus
“Apa kamu tidak malu? itu acara cuma ada para gadis saja, tidak enak sama mereka kalau aku ajak kamu.” Lagi-lagi aku berbohong. Dan Bagus tak lagi menanyakan sesuatu aku lega karena semakin Bagus banyak bertanya maka akan semakin banyak kebohongan yang ku buat.
Teriknya surya tak mengurungkan niatku untuk mencari gaun, ku lewatkan jam makan siang. Entah sepertinya cacing-cacing dalam perutku bisa di ajak kompromi aku tak merasakan lapar, sudah terbayang jelas aku akan berjalan bersamanya dan pasti orang-orang akan terpesona dengan kehadiran kita, aku tak sabar menunggu senja tiba.
Aku berada dalam pesta yang megah sepasang pengantin yang serasi dengan resepsi adat Jawa pengantin wanita nampak anggun dengan kebaya warna hitam dan hiasan bunga melati, aku kurang tahu siapa dia. sepertinya aku tak mengenalnya, dengan kemeja warna abu-abu dan ikat pinggang yang diserasikan dengan warna sepatunya pak Rama tampak berwibawa. Dia menggandeng tanganku, aku dengan gaun yang sengaja ku beli di butik dan tas jinjing yang ku serasikan dengan warna sepatuku sepertinya tak kalah dengan tamu-tamu yang lainnya.
Pak Rama akan mengenalkan aku pada rekan-rekannya, aku bahagia sekali, semua mata menatapku, pandangan yang bersahabat aku tidak pernah dalam suasana seperti ini kebahagiaanku berbeda dengan saat Bagus mengenalkan aku dengan keluarganya sungguh berbeda. Bagus maafkan aku yang telah membohongimu.
“Pak sama siapa? Cantik sekali.” Tanya seorang pemuda berkumis tipis sambil melihat kearahku,
“Coba tebak, siapa dia?” Pak Rama berbalik tanya,
“Sepertinya ada kabar baru ini, teman-teman pak Rama hebat sekarang sudah punya dua istri.”
Sontak para undangan melihat kearah kami mendengar ucapan pemuda itu, tapi aneh kenapa aku tidak marah mendengarnya aku tetap nyaman. Pak Rama tersenyum tenang menanggapi sorakan teman-temannya.
“Maaf baru kali ini saya dapat mengenalkannya pada kalian, dia gadis yang sangat berarti bagi saya dan tentunya istri saya juga.” Aku kaget mendengar pengakuan pak Rama tanpa dia melepaskan genggaman tangannya aku hanya diam mengamatinya bicara, begitu juga orang-orang semua memperhatikan pak Rama.
“Ini Ayu, anak gadis saya yang selalu saya ceritakan pada kalian semua, dan baru sekarang saya bisa mengajaknya.” Aku tak menyangka kata-kata itu keluar dari mulut pak Rama, aku terharu aku menemukan ayah, setelah dua puluh tahun kematian ayah aku tak pernah lagi mendapatkan kasih seorang ayah, kini aku tahu kenapa aku mengagumi pak Rama dia punya sosok ayah, walau ku tahu ayah tak akan tergantikan oleh siapapun.
Sepanjang perjalan pulang pak Rama menceritakan kalau tiga puluh tahun menikah tidak dikaruniai anak namun pak Rama selalu berhayal, bercerita pada teman-temannya kalau punya anak gadis bernama Ayu, maka dari itu setelah mengenalku dia berusaha mendekati aku. Bagus kamu dan aku beruntung, Pak Rama maafkan aku, aku telah berperasaan lain atas sikap pak Rama padaku.

Tidak ada komentar: