SELAMAT DATANG DI HUNIAN SASTRA

SELAMAT DATANG DI HUNIAN PECINTA SASTRA INDONESIA

AYO KITA BELAJAR MENGEKSPRESIKAN DIRI DENGAN MENULIS DAN MENULIS!

Jumat, 17 Mei 2013

Alhamdulillah Yaaaaa

Alhamdulillah, aku sudah lulus sekarang............ berakat bimbingan Bpk M. Shoim Anwar aku dapat menyelesaikan skripsiku dengan cepat. terima kasih bapak. tanggal 15 Mei aku sidang dan dinyatakan lulus.

AKU DAN SANGKURIANG

Masih ingatkah kalian dengan kisah Dayang Sumbi dan Sangkuriang? Pemuda yang ingin mengawini ibunya sendiri. Mungkin ini yng mengilhami buku berjudul Mengawini Ibu entah apa isinya aku belum tahu, aku ikut bedah bukunya ketika di Jogja. Tepatnya di Perpustakaan yang dikelola penulis kondang Muhidin M Dahlan. Itulah kelemahan kita, bedah buku yang tidak dibarengi audien yang telah membaca bukunya. Dan akhirnya pertanyaan yang ada hanya seputar proses kreatif ah klise sekali dan aku bosan. Kita tinggalkan bedah buku dan semacamnya, kembali pada permasalahanku. Jangan kaget akan ku katakana pada kalian jika aku mencintai bapakku. Hampir mirip dengan kisah Sangkuriang hanya bedanya aku wanita mencintai bapak, sedangkan sangkuriang mintai ibuny. Tapi kisahku ini tidak sama dengan sangkuriang. Dayang Sumbi waktu itu memang masih muda dan cantik karena doanya pada Dewa, hingga saat bertem dengan Sangkuriang, Dayang Sumbi terlihat seumuran. Wajar jika Sangkuriang mencintai ibundanya yang jelita. Berbeda denganku. Aku dan bapak selisih 25 tahun. Pasti sulit untuk seseorang mengerti apa yng aku alami. Aku mencintai bapakku sendiri yang telah berusia empat puluh delapan tahun. Apakah aku lama berpisah dengan bapak? Tidak. Dari kecil aku mulai mencintai bapak. Bapakku berwajah tampan, hingga umurku yang ke 23 aku belum pernah melihat laki-laki setampan bapakku. Maka dari itu aku enggan menikah. Karena aku mencintai bapak. Bukan hal mudah mencintai dia, aku harus menghadapi banyak saingan. Terutama ibuku sendiri. Bapak begitu mencintai ibu, selain ibu berparas cantik, ibu memang wanita hebat. Walau aku tak secantik ibuku, tapi mudah sekali menarik lawan jenis. Dan semua laki-laki yang jatuh ke pelukanku hanya menjadi kelinci percobaanku untuk menaklukkan bapakku. Kadang aku ingin membunuh ibuku saat cintaku begitu berkobar. Pernah telah kuasah pisau, diam-diam aku masuk ke biliknya yang senantiasa rapi. Hampir ku tancapkan pisau tajam itu, tapi bapak sedang memeluknya. Niatku urung. Aku meraung dibakar api cemburu. Keesokharinya ibu membuatkanku sarapan kesukaanku, nasi goreng dengan berbagai macam campuran sayuran dan tambahan tomat cabe menambah seleraku. Dalam hati aku bergumam. “Jika semalam sudah ku bunuh, maka sekarang aku tak dapat menikmati santapan pagi.” Ku akui aku memang anak durhaka, tak tahu balas budi. Namun aku tak kuasa menolak cintaku pada bapak. Aku ingin duduk bersanding, tidur dalam peluknya yang hangat sebagaimana sering kusaksikan bapak memeluk ibu. Bapak sangat baik padaku, diantara anak-anaknya akulah yang paling disayang. Bukan karena aku paling cantik bahkan mungkin aku paling jelek. Tapi karena aku paling cerdas diantara semua anaknya. Entah berapa saudaraku, aku tak ingat lagi. Yang ada di otakku hanya ada bapak. Tak sempat ku pikirkan yang lain.

SARIMBIT

Mall di Ibu Kota semakin menjamur, persaingan semakin ketat. Banyak mall yang menawarkan berbagai fasilitas untuk menarik hati pengunjung. Kini yang sedang tren adalah internet nir kabel yang ditawarkan. Aku pun menikmati fasilitas itu, tujuanku hanya ingin membuka internet mulai dari surel, facebook, google sampai blogger. Puas dengan dunia maya, aku berjalan menyusuri toko-toko yang ada. Mataku tertuju pada toko batik bernama Klaras, yang memajang berbagai macam batik. Aku terhenti pada sepasang batik yang biasa dikenal dengan sarimbit. Coraknya membuatku ingat pada masa satu tahun yang lalu. *** Aku sering mendengar ungkapan “cintai dengan sederhana”, namun cintaku padanya tak bisa sesederhana itu. Usia yang terpaut 10 tahun tidak membuat cintaku reda, aku mencintainya sebagaimana api melahap kayu bakar, mirip sajak Sapardi Djoko Damono. Aku tahu dia pasti seperti itu pula. Dia mengayomi dan menjagaku. Hubungan kami benar-benar sempurna, apalagi orang tua kita saling merestui, lengkaplah sudah. Bulan Februari tiba, saat para pasangan kekasih saling menunjukkan kasih saying mereka yang biasa diungkapkan dengan hadiah. Namun kami berbeda, Mas Iman mengajakku membeli sarimbit. “Ah, apa tidak terkesan resmi sekali.” Celotehku “Siapa bilang? Batik cocok segala suasana. Dan ini budaya harus dilestarikan.” Mas mulai menggurui, aku tertawa dalam hati lalu mengangguk. Sepertinya tak ada pasangan sebahagia kita, kurang setahun lagi aku lulus SMA dan mas Iman akan segera meminangku menjadi pendampingnya. Aku tak sabar. “Nurul, apa kamu sudah benar-benar mencintai Iman?” Tanya bapak tiba-tiba “Tentu, kenapa bapak bertanya seperti itu lagi.” “Hanya memastikan. Jika bapak ingin kamu kuliah dulu bagaimana?” “Maksudnya saya belum boleh menikah?” Bapak tak melanjutkan bicara, lalu melangkahkan kaki ke Musholla. Setahun berlalu, rupanya begitu cepat karena aku selalu menikmati hari-hariku yang indah, aku lulus dengan nilai yang tidak begitu memalukan. Sepulang mengajar mas Iman ke rumah. Jantungku berdetak dengan kencang keringat dingin bercucuran. Betapa bahagianya aku, Allah begitu baik padaku. Di dalam kamar aku menunggu pembicaraan bapak dan mas Iman. “Apa kabar Iman?” “Alhamdulillah pak. Bapak bagaimana?” “Ya, seperti yang kamu lihat. Bapak sehat.” “Ibu di mana pak?” “Masih ada pengajian. Ada yang mau disampaikan nak Iman?” “Iya pak, dik Nurul sudah lulus. Seperti janji saya dulu saya akan melamar dik nurul besok atau lusa saya akan dating dengan orang tua saya.” “Sebelumnya bapak minta maaf, bukan bapak menolak niat baik nak Iman. Hanya saja bapak ingin adikmu kuliah dulu. Jika kau memang mencintainya tunggu sampai dia lulus.” “Saya tidak keberatan, akan saya sampaikan kabar ini pada orang tua saya pak. Semoga akan mendapat keputusan terbaik.” “Syukurlah jika kamu memahami.” Entah bagaimana kelanjutan dialog itu, aku sudah lemas tak mampu mendengar dengan rinci. Bapak pasti memaksaku kuliah dan ingin menjadikanku guru. Ya, bapak kepala sekolah pasti malu jika punya anak yang tidak berpendidikan. Secepat ini kebahagiaan berganti. “Nduk.” Suara bapak mengagetkanku, “Ada apa pak?” “Kamu menangis? Kamu sudah dengar pembicaraan bapak dengan Iman?” aku hanya mengangguk. *** Rupanya keluarga mas Iman tak bersedia menunggu kelulusanku, karena usia mas Iman yang kian bertambah, aku tetap belum mau kuliah. Dan bapak memondokkanku disebuah pesantren. Agar aku tak dapat bertemu mas Iman, namun diam-diam kami tetap bertemu. Ketika aku pulang mas Iman yang mengantarkanku. Akhirnya bapak mengetahui perjumpaan kami, bapak semakin murka. Enam bulan kemudian aku menerima undangan, mas Iman menikah dengan tetangganya. Aku terpukul. Aku menangis. Dadaku sesak. Hancur, luluh lantak. Ditengah keterpurukanku mas Iman menelponku. “Dik, nanti datang ya.” “Aku tak sanggup mas.” “Demikian juga aku, jika kamu tak datang maka aku akan merasa berdosa menghancurkanmu.” “Baik, aku akan datang dengan satu syarat. Kita pakai sarimbit yang pernah kita beli dulu.” “Tentu, yang penting kau hadir.” “Ya, aku akan hadir.” Janur kuning indah menghiasi, aku melankahkan kaki dengan pasti. Aku tak tahu apa mas Iman benar-benar memakai sarimbit di malam pernikahannya ini. Aku tak peduli. Aku memasuki keramaian, semua orang memandangku ketika mas Iman menghampiriku dengan mengunakan sarimbit. Dia memenuhi janjinya. Orang-orang saling berbisik entah apa yang diperbincangkan. “Mana istrimu mas?” “Dia di dalam, aku sudah cerita semuanya. Dia tak mau menemuimu.” “tidak apa-apa, aku juga tak berlama-lama. Aku senang kita bisa pakai sarimbit ini lagi, walau dengan suasana yang berbeda. Aku tetap mencintaimu mas.” “Aku juga dik.” Kemudian aku pamit, aku tak tahan ingin menangis. Sampai di rumah, aku mengunci kamarku dari dalam meraung, aku tak dapat melakukan apa-apa selain menangis sambil memeluk foto mas Iman. Berhari-hari aku tak keluar kamar, bapak dan ibu bingung. Bapak mendibrak pintu kamarku, didapatinya aku bermandi air mata. “Apa yang kamu lakukan nak?” bapak mengambil foto mas Iman dari pelukanku “Apa kamu masih mencintainya dan ini yang membuatmu seperti ini?” aku mengangguk pelan. “Berarti kamu menyalahkan bapak, atas semua ini nak? Jangan siksa dirimu seperti ini.” Aku tak mampu berkata-kata. Mungkin sudah dua minggu aku tergeletak, aku sangat rindu mas Iman. Aku tak kuat, aku mengambil ponsel lalu mengirim pesan untuknya Mas, aku kangen Terkirim: Mas Iman +628133050xxxx 16-Mei-2010 22:55:30 Lama aku tunggu tak ada balasan, aku semakin sakit. Aku tak dapat memastikan aku tidur atau terjaga. Tak ada siang maupun malam. Semua sama KELAM. Tiba-tiba ponselku bordering, tertera nama Mas Iman. Aku segera menjawab dengan gairah. “Mas, kenapa tak kau balas pesanku?” “Maafkan aku, semalam istriku yang membuka pesanmu. Dia menangis, aku bingung dik. Aku belum mampu menyentuhnya. Aku mencintaimu. Tapi tak tega aku menghianati istriku.” “Apa dia marah pada kita mas?” “Tidak, dia yang merasa berdosa hadir di tengah cinta kita. Sudahlah, kau harus bangkit. Jangan sakiti dirimu. Lihat orang-orang yang mencintaimu dik.” “Aku, ingin bersamamu mas.” Segera ku putus telepon. Aku tak sanggup lagi berlama-lama. Remuk redam sudah hatiku. Entah apa yang kemudian akan terjadi pada hatiku. *** Kini aku meneruskan kuliahku di salah satu perguruan tinggi di Surabaya, seperti keinginan bapak. Tapi aku bukan Nurul yang dulu. Aku menjadi Nurul yang berhati keras, aku tak lagi dapat merasakan cinta. Hatiku telah mati, semua pria yang mendekatiku tak pernah ada yang ku hiraukan. Biar aku jalani semua sendiri. Aku akan tetap menunggu menjadi istri mas Iman. Kembali menggenakan sarimbit seperti dulu. Surabaya, Mei 2012

Pro dan Kontra Tokoh pada Pengarang* (Catatan untuk M. Shoim Anwar)

Kiai Jogoloyo, Kiai Bandrun, Santi, dan Tandijaya sedang berkumpul. Mereka saling membeberkan takdir yang tertulis dalam diri mereka. Takdir yang tidak mengenakkan menurut mereka. Kiai Jogoloyo membuka pembicaraan. “Aku sungguh tidak terima penulis itu mempermainkan lakonku.” “Demikian saya Yai,” Tambah Santi “Sekarang begini saja, kita bergantian cerita atas semua ulah pengarang pada kita. Akhir baru kita simpulkan apa yang sebenarnya dia mau dengan menjalankan lakon kita seenak udelnya.” Jawab Kiai Badrun bijak. “Baiklah, jika demikian saya akan bercerita lebih dulu Yai,” ucap Tandijaya. Mereka mengangguk bersamaan. “Saya sangat kesal dengan dia, bisa-bisanya dia menjadikan saya selingkuh dengan gadis 25 tahun lebih muda dari saya. Tapi bukan itu masalahnya, yang saya paling tidak suka ialah ketika Santi harus sakit. Dan istri saya mengetahui perselingkuhan kami. “Harusnya dia bisa memposisikan dirinya, jika ia menjadi saya. Berat sekali menjalani hidup menjadi Tandijaya. Saya kadung mencintai Santi namun tak bisa melepas istri saya. Ketika Santi sakit saya ingin mendekapnya dan memberinya semangat untuk bertahan. Tapi jauh dari yang saya inginkan,istri saya malah yang dating melabrak keluarga Santi.” Santi menangis mendengar menuturan Tandijaya, sambil membenahi jilbabnya ia mulai bicara. “Aku tidak masalah menjadi tokoh yang jatuh cinta dengan pria 25 tahun lebih tua, dengan senang hati aku menjadi wanita perokok, menjadi mahasiswa yang tidak kunjung lulus. Dan sedikit ada kebanggaan dalam diriku ketika menjadi wanita yang kuat. Paling tidak aku bisa merasakan teori feminisme, tapi tampaknya penulis itu tetap membela kaum lelaki. Tokoh perempuan tetap dibikin lemah dan nelangsa. Aku harus penyakitan, menjadi penghuni tetap rumah sakit. Mendapat cemooh dari istri Tandijaya. Bagaimana aku bisa terima. Jika dia ingin membuatku menjadi wanita yang kuat. Mengapa tidak total seperti tokoh Firdaus ciptaan Nawal. Apalagi akhirnya aku harus menyerah dengan keadaan dan memakai pengbungkus kepala ini. Sungguh menyebalkan.” Muka Santi memerah lalu disulutnya sebatang rokok. “Kiai Jogoloyo, bagaimana apa anda mau berbicara?” Tanya Kiai Badrun “Tentu, rasanya aku ingin membalik lakonku dengan dia. Kalian pasti sudah tahu bagaimana dia menulis tentang diriku. Aku merasa dilecehkan. Bagaimana mungkin dia menulis tentang Kiai yang masuk partai dan mati mengenaskan. Sungguh tidak punya sopan santun. Dia harus tahu, jika dia tidak cepat mematikanku dalam peristiwa memalukan usai kampanye itu. Aku akan mengubah dunia politik. Aku yakin politik akan lebih berperikemanusiaan. Aku akan membenahinya, kerena perlu diketahui. Di sana harus ada orang-orang beragama. Kalo tidak malah semakin buruk. Tapi dia tergesa membunuhku. “Tidak sepatutnya pula dia mengubah pesantrenku dengan kelakuan santri yang nyleneh. Santri-santriku semua nurut padaku. Dan penulis itu harusnya tahu tanpa aku ada di pondok tidak akan mengubah perilaku santriku. Jelas ini mempermalukan sekaligus melecehkan dunia pesantren terutama mencoreng nama Kiai. Hingga tak punya wibawa di masyarakat. “Masih tidak puas dia merusak hidupku. Di akhir cerita ditulis pula politikus partai kecemplung kali. Kenapa sampai sedemikian dia membenciku.” Sambil menuding tulisan yang dimaksud. Lalu buku ungu itu ditutup. “Sekarang giliran saya.” Kiai Badrun berucap namun ada yang memotong. “Tunggu, saya ingin lebih dulu.” “Kamu Olive?” perempuan itu mengangguk dadanya tampak rata. Kiai Jogoloyo, Santi, Tandijaya, dan Kiai badrun pun menanti Olive bicara. Tapi Olive trus meraung sambil memegang dadanya. Kemudian bangkit menuju rak buku. Matanya mencari salah satu judul buku. Karena takkunjung didapat dia melempar tiap buku yang dipegang. Kiai Badrun berdiri membantu Olive. Seakan mengerti apa yang dicari Olive. Dengan cepat Kiai Badrun mengambil buku bersampul sketsa perempuan telanjang. “Ini yang kamu cari Olive?” “Benar, aku muak melihatnya. Aku ingin membakarnya.” “Tenangkan hatimu, duduk dulu. Tidak baik seperti ini.” “Kita harus memusnahkannya agar kita tak diperbudak cerita mengerikan ini. Kiai tak tahu apa yang aku alami?” “Saya tahu, kedua payudaramu diangkat. Kamu kena sipilis. Ditinggal kekasihmu. Saya paham.” “Lalu kenapa Kiai tampak membela penulis itu.” “Iya, kenapa Kiai Badrun tampak membelanya? Bukankah diawal kita sepakat tidak setuju dengan semua yang dia tulis?” Kiai Jogoloyo ikut bicara “Di awal saya bilang. Nanti kita menyimpulkan apa yang dia inginkan dengan menjadikan kita sebagai lakonnya. Bukan langsung main bakar.” Rahman tiba-tiba muncul dengan suara yang sangat ngotot “Benar, bakar saja bukunya. Termasuk ini.” Ia mengambil buku ungu yang tadi dipegang Kiai Jogoloyo. “Aku telah salah memarahi Dokter Heri, bukan dia yang salah mencangkokkan jantung babi. Tapi penulis itu. Enak saja, aku lebih baik mati dari pada membawa jantung babi ini. Sok jadi dokter!” Rupanya kemarahan Rahman mendatangkan tokoh-tokoh yang lain. Sogol, Bardo, Ratri, dan Qafi tampak merah mukanya. Kiai Badrun tampak bingung. Tapi tetap tenang menanyai satu-satu apa yang akan mereka ucapkan. “Kenapa dia tidak memandikanku dengan tuak?” Tanya Sogol “Sulasih istriku, kenapa dibuat selingkuh dengan kawanku?” Bardo membentak “Aku begitu haus birahi, seperinya dia sengaja menyiksaku mehanan hasrat yang begitu dalam. Sebelum hasratku terpenuhi, suamiku mati terbakar. Hiks hiks hiks. Tega sekali dia menulis begitu. Apa sekarang dia akan memenuhi hasratku?” Ratri dengan isakan tangisnya. “Aku mencintai Prabandari, tapi dia tak mengabulkannya. Ah biadab!” Qafi memukul meja kerja penulis. Menyusul Suparjan yang keberatan menjadi TKI illegal. Ruang kerja penulis makin sesak. Kiai Badrun kemudian bicara. “Sekarang kita tenang semua. Dalam hidup pasti ada dua kutub. Sekarang kita marah, kesal,mengutuk. Tapi sekarang kita panggil teman yang lain pasti ada yang merasa senang dengan penulis ini. Kita tidak boleh melihat dengan satu sisi. Pasti cacat jadinya.” “Sudah tak usah banyak pertimbanganlagi, sudah jelas kita rugi.” Kata Tandijaya, diikuti sorak kawan-kawannya. Santi, Olive, Ratri, dan tokoh wanita lainnya saling menggerutu kenapa wanita selalu dibuat sengsara. Tiba perempuan tawanan mengeluhkan hal yang sama. Giliran Prabandari angkat bicara “Tidak semua dibuat seperti itu, buktinya aku wanita yang hebat. Sudahlah bagaimanapun aku membela penulis.” “Ya, karena kamu mengalami suatu yang baik.” Sergah mereka Di tengah-tengah muncul Turno, dia mengamati sekelilingnya tampak sesak dia berdehem lalu bersuara. “Apa yang kalian lakukan beramai-ramai seperti ini. Kalian merasa dirugikan? Aku merasa sebaliknya. Walau dalam cerita aku miskin, dianggap PKI tapi aku senang. Aku mengemban amanat yang harus ku sampaikan pada pembaca. Bukan hanya aku yang merasa senang dengan penulis ini. Banyak. Aku tak bisa menerangkan dengan jelas. Tapi aku pernah mendengar penulis ini menjawab pertanyaan mahasiswanya. Kenapa semua kisahnya menyedihkan? “jika kisah ditulis menyenangkan maka tidak akan menimbulkan perenungan. Dan dengan ditampakkan kesedihan maka diharapka pembaca akan melihat kebahagiaan. Dengan diciptakan kejahatan maka pembaca akan mengalami katartis. Maka yang terniang dalam benak pembaca adalah mencegah bagaimana kejahatan yang demikian tidak terjadi.” “Kalian belum puas meneriakinya. Coba bacalah pengakuannya tentang penciptaan kita. Para tokoh saya berakhir dengan tragis bukan karena saya ingin bertragis-tragis. Para tokohnya terlibat kekerasan bukan karena saya ingin berkeras-keras. Mereka memberontak bukan karena saya ingin memberontak. Mereka tak berdaya bukan karena saya ingin tak berdaya. Mereka meledak bukan karena saya ingin meledak. Hidup mereka menjadi demikian karena ada semacam tutntutan di bawah ambang kesadaran para tokohnya. Hokum sebab akibat tiba-tiba menemukan polanya tatkala bersentuhan dengan dunia cerpen Nah apa kalian telah sadar? Dia bukan sengaja menuliskan kita begitu saja. Tapi jdia juga mengemban moral.” Semua diam, Kiai Badrun mangut-mangut. “Tapi kenapa dia menanamkan dendam begitu dalam padaku, hanya karena sebiji pisang?” mereka dikejutkan suara Kusmo. Semua diam namun seluruh mata tertuju pada dua Kiai. Kedua Kiai itu saling berpandangan seakan berisyarat Kau saja yang menjelaskan. Namun tiba-tiba terdengar suara kaki menaiki anak tangga, semakin mendekat keruang kerja penulis. Sepertinya tak salah memang suara kaki itu adalah kaki penulis yang akan menciptakan tokoh tragis, keras, miskin, tak berdaya, menderita, pendendam, dan entah apalagi yang kan dilahirkan sesuadah dia bersetubuh dengan kehidupan yang berhasil menghamilinya. Para tokoh berlarian kembali pada cerita masing-masing, tetap pada keganjalan. Tidak terima akan perlakuan penulis. Tak lama penulis masuk ruang kerjanya. Matanya langsung tertuju pada buku yang tercecer di lantai dan meja. Sebiji Pisang dalam Perut Jenazah, Asap Rokok di Jilbab Santi, Perempuan Terakhir, Oknum, Musyawarah Para Bajingan, Soeharto dalam Cerpen Indonesia dan buku karya yang lain. Penulis mengerutkan keningkan sambil mengambil buku-buku tersebut. Dia mengingat-ingat kapan pernah membiarkan buku berserakan. Ruangan tampak hening. Ditata kembali buku-buku itu di rak. Sambil berpikir, mungkin anak-anaknya yang mengambil dan tidak mengembalikannya. Kini tangannya menyalakan layar monitor dan entah nasib bagaimana yang dia tulis. *Sekelumit kisah ini tidak ada niatan melecehkan penulis. Namun merupakan apresiasi saya dalam karya-kaya beliau. Salam.... Surabaya, 05 Agustus 2012

PUSARAN

“Bagaimana kerja hari ini?” “Tak cukup baik, aku tidak bisa bekerja.” “Masih tentang Papamu itu? Sudahlah lupakan dia.” “Bagaimana kau bisa katakan itu Ndra, kau tahu bagaimana aku mencintainya. Kamu jangan munafik. Kamu juga berat kan melepaskan mamamu?” “Iya Cit, tapi setidaknya aku mengerti tentang dia. Tidak seperti kamu.” “Bagiku aku dan kamu tidak ada bedanya.” “Pesan apa? Jelas beda Cit?” “Terserah kamu, aku tak ada selera untuk makan. Aku sudah seminggu tidak bertemu Papa.” “Malas aku jika kamu bahas dia, kamu harus sadar diri. Memang aku tidak menyalahkanmu tapi setidaknya kamu bisa tahu bagaimana harus bersikap. Aku mencintai mama tapi ku tahu bagaimana untuk kedepannya, jadi aku tetap membuka hati untuk yang lain bukan seperti dirimu” “kamu sama saja dengan orang-orang ku kira kau bisa mengerti apa yang aku rasakan.” “aku mengerti, aku juga merasakannya. Ini memang dosa terindah tapi setidaknya kita bisa mengendalikaan diri.” *** “Pulanglah sayang, sudah malam. Ingat harus lebih dewasa, ini di kantor. Nanti kita jalan-jalan.” Ke: Hc 085231245XXX 22:27:37 “Tidak ada jalan-jalan, Papa tidak memikirkan saya. Dari tadi saya menunggu tapi Papa tidak menghiraukan. Saya tidak akan pulang.” Pengirim: Hc 085231245XXX 22:32:11 “Jangan sayang, ini belum kiamat. Hari esok masih panjang, jangan menyiksa diri. Ingat ya, harus lebih sabar.” Ke: Hc 085231245XXX 22:40:34 “Papa sudah tidak sayang, saya tidak akan pulang sebelum diusir satpam Pa. Saya sudah bilang kita pulang bersama, tapi Papa tega ninggalin.” Pengirim: Hc 085231245XXX 22:45:09 “Ya, besok kita bertemu. Tenangkan diri, ini bertengkar dengan Nyonya kalau keluar lagi.” Ke: Hc 085231245XXX 22:51:10 “Pulang ya? Pulang sayang. Besok malam kita ketemu. Pulang ya? Jangan merendahkan jabatan sekertaris yangg kau pegang. Ya?” Ke: Hc 085231245XXX 23:08:34 “Tidak ada urusannya dengan jabatan.” Pengirim: Hc 085231245XXX 23:11:50 “Pulang sayang. Pulang ya. Apa itu caramu untuk menteror papa? Jangan kau sakiti diri sendiri. Pulang ya?” Ke: Hc 085231245XXX 23:13:13 “Saya memang sakit jiwa. Saya tidak menteror siapapun.” Pengirim: Hc 085231245XXX 23:19:41 “Ayo ini sudah malam, kawanmu pasti cemas. Papa juga jadi tidak tenang sayang.” Ke: Hc 085231245XXX 23:31:15 “Ini kantor mulai gelap, saya mau jalan-jalan saja.” Pengirim: Hc 085231245XXX 23:37:51 “Mau kemana? Nanti kamu bisa diperkosa.” Ke: Hc 085231245XXX 23:38:01 “Saya bisa jaga diri, sudah ponsel saya matikan saja. Selamat istirahat.” Pengirim: Hc 085231245XXX 23:40:01 “Tapi tidak bisa menjaga diri dari kekerasan lelaki, kalau masih anggap Papa. Pulang.” Ke: Hc 085231245XXX Tunda “Nampaknya aku sudah tidak berguna. Ke: Hc 085231245XXX Tunda *** “Aku semakin binggung.” “Kenapa? Ada masalah dengan kekasihmu?” “Iya, dia semakin tak bisa lepas dariku. Bagaimana brondongmu?” “Aku sudah mengingatkan dia, aku sepuluh tahun lebih muda darinya dan sudah berkeluarga. Tapi dia tetap mencintaiku, kemarin ulang tahunku dia membelikan baju dan boneka kucing untukku.” “Dia juga sama, memang akulah yang salah. Seharusnya aku tak menyambut cintanya, harusnya dari dulu aku menyadarkannya. Aku kasihan dan aku juga terlanjur cinta namun tetap rasional. Semalam dia tak mau pulang karena aku tinggal pulang.” “Tiada yang salah, semua sudah ada yang mengatur.” *** “Sekarang di mana?” Ke: Hc 085231245XXX 22:10:02 “Halte.” Pengirim: Hc 085231245XXX 22:10:42 “Apa kamu pingin papa ke sana? Ini udah dirumah.” Ke: Hc 085231245XXX 22:15:15 “Terserah Papa.” Pengirim: Hc 085231245XXX 22:17:50 “Tunggu, jangan kemana-mana. Papa perjalanan.” Ke: Hc 085231245XXX 22:30:01 *** “Kenapa lagi? Apa papa punya salah?” “Papa masih Tanya kesalahan papa dimana?” “Sudah, sekarang mau apa? Pasti belum makan. Ayo makan!” “Tidak, aku tak mau makan. Aku hanya mau sama papa.” *** “Ma, aku ingin bersama mama setiap saat.” “Tapi, adik harus tahu. Saya sudah berkeluarga, adik bisa setiap saat bersama saya jika dikantor seperti ini.” “Aku ingin lebih.” “Ya, kita bisa makan di luar.” “Lebih dari itu.” “Candra, jangan mendekat lagi.” *** Aku tak pernah tahu bagaimana awalnya, aku sangat menyayangi sekertarisku. Dulu dia hanya karyawan biasa, namun karena kepandaiannya, dia aku angkat sebagai sekertaris. Aku menyayanginya seperti anakku sendiri. Ketika ada rapat dia yang mendapingiku. Hingga akhirnya aku mengajak dia ke luar kota. Awalnya aku hanya iseng dari pada sendiri, namun dia langsung mengiyakan. Kita tidur satu kamar di sebuah penginapan kota buah, sudah jelas dingin bukan main. Dia berbaring menghadap tembok, tanpa selimut. Pasti dia kedinginan. Aku selalu mendengar gerak tubuhnya, hingga dini hari dia masih terjaga. Ku beranikan tanganku meraih tubuhnya, dia tidak menolak. Aku membiarkan tanganku meraba dadanya kali ini dia menangkis halus tanganku. Namun aku tetap memeluk erat tubuh dinginnya. Kini hubungan itu semakin jauh, dan begitu mencintaiku. Tak bias lepas lagi. Aku bingung. Bagamana! *** Papa, aku mencintaimu. Tapi kini sepertinya kau semakin menjauh dariku. Dulu awal aku mengatakan rasaku padamu kau sambut dengan hangat. Hingga memnita izin untuk menikmati tubuhku, dengan senang hati ku serahkan. Kau pernah mengirim pesan. Aku mulai berarti dalam hidupmu, kau memintaku untuk tak meninggalkanmu. Tapi kini siapa yang meninggalkan. Kaulah yang meninggalanku Pa. Apa aku menyesal? Tidak, aku akan mengenangmu Pa. mengenang gairahmu, baikmu dan petuahmu. Semua tentang kamu Pa. Jeruk hangat, degan tanpa es dan gula, tanganmu yang selalu memegang perut ketika memimpin rapat. Bau keringatmu. Aku merinduanmu Papa. *** Citra, teman wanitaku mencintai pria 25 tahun lebih tua darinya, gila. Kukira dulu aku paling gila mencintai wanita yang 10 tahun lebih tua. Aku selalu menasihatinya agar jangan merusak rumah tangga orang. Aku selalu bilang habiskan semua lelaki di bumi ini tapi jangan yang punya istri. Hahaha aku tertawa sendiri bagaimana aku menasihatinya, sedang aku sendiri mencinta istri orang. *** Kenapa nasibku hampir sama dengan kawanku, dicintai orang yang jauh lebih muda. Tapi sepertinya gadis yang mencintai kawanku itu lebih parah. Jika aku mendengarkan certia dari temanku, dia ku simpulkan GILA. Bagaimana tidak dia tak bias makan tanpa kawanu, selalu menangis dan selalu, selalu, selalu ingin bersama kawanku. \ Aku terkadang ingin marah dengan gadis itu sealigus kasihan. Tak akan mungkin kawanku ma uterus bersamanya, istrinya jauh lebih cantik, kaya dan terpandang. Sedang gadis itu hanya seorang sekertarisnya yang tidak akan makan jika tak digaji kawanku. Aku menduga kawanku hanya kesihan dengan gadis itu, walau dia tak pernah mengatakan jujur padaku tentang itu. Tapi aku bias menebak, karena kawanku orang yang sangat baik. Bagaimana akhir semua ini, semua seperti mimpi saja. Oh aku ternyata meridukan Candra. Kenangan, Malang 11 Juni 2011