SELAMAT DATANG DI HUNIAN SASTRA

SELAMAT DATANG DI HUNIAN PECINTA SASTRA INDONESIA

AYO KITA BELAJAR MENGEKSPRESIKAN DIRI DENGAN MENULIS DAN MENULIS!

Selasa, 19 Oktober 2010

NOKTAH PERSAHABATAN


“R
ara kamu marah?” tanya Divo teman sepermainanku. Aku terus melangkah menunggu bus sekolah. Tiba-tiba sebuah tanganmenarikku lalu memutar tubuhku dengan paksa hingga ku berhadapan dengannya. Aku hanya bisa menghela nafas.
“Ada apa lagi? Aku mau naik bus, aku sudah telat” kataku sambil melihat jam, “Harusnya aku yang tanya sama kamu, kamu ini kenapa? Belakangan ini kamu semaumu sendiri, kamu sama sekali tidak menghiraukan perasaan orang lain.”
“Perasaan Ghasa maksutmu?” saat itu ada bus berhenti aku naik dan meninggalkan Divo “Rara tunggu !!!” aku tak lagi mendengar suaranya, kendaraan terus melaju dengan titikan airmataku.
Ghasa,  rasanya aku terlalu muak mendengar nama itu, nama yang bertahun-tahun menghiasi hari-hariku dan Divo. Kami bertiga berteman sejak kecil, Ghasa cowok berwajah menarik dengan rambut lurus dan mata setajam elang serta berkulit putih tinggi semampai. Tak ada yang kukatakan kecuali rasa syukur memiliki sahabat dekat sebaik dan setampan Ghasa, walau dia sedikit kekanak-kanakan, berbeda dengan Divo yang bersifat dewasa dan bertanggung jawab. Bus berhenti aku turun dan berjalan kesekolah, bel masukpun berbunyi.
“Ra, bagaimana kabar Ghasa?” Tanya Emil teman sebangkuku
“Maaf aku lagi tidak ingin membicarakan Ghasa”
“Kenapa begitu? Kalian marahan gara-gara aku?”
“Tidak Mil, sudah jangan dibahas!” suasana antara kami benar-benar kaku, Emil tidak bicara apapun.
Aku memasukkan buku catatanku yang kubuka tanpa ku tulisi apapun, bukan pelajarannya yang tak berbobot tapi aku rindu dengan canda tawa Ghasa, sudah dua hari kami tidak berkomunikasi.
“Rara, mau pinjam buku catatanku?” Tawar Emil
“Terimakasih, aku pulang dulu”
“Jalan bareng yuk!” aku mengangguk, tiba-tiba ada Divo
“Divo, Ghasa mana?” Tanya Emil dengan riang
“Ghasa ada pratek, Ra ayo pulang!” ajak Divo
“Lalu Emil?” Tanya ku
“Aku sama anak-anak saja, jaga Rara ya Vo!”
“Ok, kita duluan.” Emil mengangguk, aku dan Divo berlalu meninggalkan Emil, aku tidak percaya Ghasa ada praktek karena praktek Ghasa selalu bersama Divo.
“Divo! Memang benar Ghasa ada praktek?” Tanyaku
“Tidak, dia sudah pulang katanya mau jemput Lina.”
“Terus yang jemput Santi dan Norma siapa?”
“Ra, sebenarnya aku juga tidak suka sikap Ghasa yang sekarang kenapa dia begitu?” tanya Divo dan aku malas menjawabnya
“Lalu bagaimana dengan Emil? Mereka belum putus kan?”
“Belum, mana mungkin Ghasa bilang mungkin yang benar-benar mencintainya itu Emil.” motor Divo terus melaju, kecepatannya dikurangi ketika sampai didepan rumahku yang berhadapan dengan rumah Ghasa.
“Terimakasih, ayo mampir dulu?”
“Nanti saja sekalian aku mau kerumah Ghasa.” aku mengangguk dan Divo berlalu dari hadapanku.
“Ra kok tumben Cuma berdua, Ghasa mana?” Tanya ibu setelah mencium taangan ibu “Ghasa ada praktek bu, jdi tidak bisa pulang bersama.” jawabku bohong.
Ghasa akhir-akhir ini berubah, dia jadi playboy. Dulu dia tidak kenal dengan cewek selain aku walau banyak gadis-gadis denga senyum manisnya tapi dia selalu cuek, tapi entah kenapa sejak aku bilang Emil suka padanya langsung dia menjawab “Ya aku akan menerima Emil tapi semuanya hanya demi kamu kaerena dia temanmu” aku hampir tak percaya.
Setelah beberapa minggu dia datang dan cerita kalau ada gadis yang menyukainya “dia cantik diterima tidak? Menurut kamu bagaimana Ra?”
“Dia pasti Lina kan?” tebakku
kok  kamu tahu?”
“dia pernah bilang kalau suka sama kamu?” jawabku
“kamu suka dia tidak? Aku janji akan tetap sayang sama Emil, kalau aku bisa menerima Emil demi kamu kenapa kamu tidak mengizinkan demi aku” Ghasa memang paling bisa mengambil hatiku dan membuatku tidak tega
“Terserah kamu, ambil keputusan yang terbaik menurut kamu” itulah keputusanku dan Ghasa menerimanya, jarak beberapa hari saja dia jadian sama Sinta tetangga temannya.
Sampai akhirnya dua hari yang lalu dia jadian sama Norma, anak terkenal jutek dan kebetulan aku dan Divo tidak menyukainya. Mulai saat itu aku tidak komunikasi dengan Ghasa. Waktu terus belalu, rembulan telah tampak malam yang gelap menjadi terang. Angin malam masuk lewat jendela kamarku, tak terasa dalam desah nafasku airmataku  menuliskan sebuah kalimat dipipiku. Malam semakin larut dan kalut ku tutup jendela kamarku dan kurebahkan tubuhku, kucoba memejamkan mata dan kugapai dunia mimpi.
Burung-burung berkicau menyambut datangnya pagi yang cerah, harum bunga melati dikebunku terbawa angin pagi yang sejuk. Setelah mandi kumulai aktifitasku.
“Bu ayah mana?” Tanyaku sambil mengoleskan selai diroti
“Ayah sudah berangkat ada rapat penting” jawab ibu
“Tapi Rara ingin berangkat sama ayah, sekarang bagaiman?
“Biasanya naik bus atau sama Ghasa” kata ibu
“Sudahlah Rara berangkat dulu bu! Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam. Hati-hati Rara!” pesan ibu, diluar terlihat Emil “Rara, ayo aku sengaja jemput kamu sekalian sama Ghasa dan Divo”
“Maaf Mil aku sudah sms Divo mau berangkat pakai motor, kamu sama Ghasa berdua saja” Wajah Emil terlihat kecewa “Ra kamu tidak ikut satu mobil? kalau begitu aku ambil motor saja, mobilmu taruh rumah saja Mil?” Ghasa tiba-tiba muncul diantara kami “Ya aku sama Divo, itu Divo sudah datang” kami berangkat bersama walau dengan kendaraan berbeda, sampai disekolahku aku dan Emil turun “nanti aku jemput” kata Ghasa pada Emil lalu meneruskan jalan kesekolahnya.
Tak biasanya aku merasa bosan pada pelajaran, aku berharap pelajaran cepat berakhir,dan aku ingin segera pulang. Setelah aku dilanda kebosanan akhirnya berakhir pula kelas yang membosankan.
Malam ini Ghasa datang kerumah, walau aku masih marah tapi aku tidak bisa marah aku terlalu menyayanginya “kita keluar yuk!” ajaknya ragu “Tapi mendung” Ghsa tidak menghiraukan ucapanku. Ghasa menyeret tanganku dan aku menurut. Dikesunyian malam yang mengerikan, ketika semua benda-benda yang menyenangkan menghilang dibalik selubung gelap dan mendung tebal aku berjalan dalam bayangan bersama Ghasa.
“Ra, aku sudah putus sama Norma kalau kamu tidak suka dengan dia kamu bicara Ra, tapi jangan marah sama aku. Aku juga sudah putus sama Lina dia terlalu manja kalau Sinta baru rencana untuk putus dia suka mengatur” jelasnya
“Jadi Cuma Emil yang kamu pilih?”
“Aku sedang jalan sama Elly?” jawabnya enteng
“Elly ana SMA 13 tetangga Ita? Dia kan suka ganti cowok, aku tidak mau Elly menyakiti kamu Sa” aku memandang wajah Ghasa yang terlihat gelap pengaruh mendung malam ini. Akhirnya tetesan kristal membasahi kami berdua Ghasa melepas jaket kesayangannya dan berubah fungsi sebagi payung.
Embun pagi masih bergayut diatas dedaunan, semilir angin berhembus melewati celah jendelaku. Suryapun menyambut pagi dan mengusir embun-embun. Aku membuka jendela “Ghasa?!” tiba-tiba dia berada didepan jendela kamarku “sekarang hari minggu kita jalan-jalan berempat?” tak lupa dengan senyum manisnya “tidak bisa aku mau kerumah Divo, urus saja pacar-pacar kamu” ku tutup kembali jendelaku “ok, aku jalan-jalan sama Emil saja” teriaknya dari luar.
Aku kerumah Divo dengan bersepeda, Divo sudah menyambutku dengan senyum ramahnya, ku lihat koleksi komiknya yang sudah dia kumpulkan bertahun-tahun dan sesekali aku cerita tentang Ghasa yang suda putus dengan pacar-pacarnya, tentang kedekatannya dengan Elly.
“kita sekarang jarang kumpul ya Ra, aku mau tanya kamu jangan marah”
“Tanya apa?”
“Kenapa kamu selalu menolak cowok yang mencintai kamu? Apa kamu sudah mencintai seseorang? apa itu Ghasa?” pertanyaan Divo membuatku kaget
“Apa? Memang belum ada yang cocok Vo, aku mencari kombinasi antara kamu sama Ghasa” jawabku ringan.
 Setelah kita berbincang lama Divo mengantarkan aku pulang sambil bersepada, sampai depan rumah kumelihat Ghasa lagi duduk dengan kak Bram. Aku dan Divo sepakat untuk mampir. “Ghasa sudah pulang jalan-jalan?” tanya Divo “Dirumah Emil ada temannya, tidak jadi jalan-jalan” aku dan Divo ber “o” panjang. “kak Bram aku lihat komiknya ya?” kak Bram punya hobi yang sama dengan Divo “ayo masuk, Rara temani Ghasa ya”.
Tak sengaja pandanganku dan Ghasa bertatapan, lewat sorot matanya yang tajam Ghasa menatapku dan berkata “cinta adalah derma yang tulus, karena datang dari kedalaman jiwa yang lembut bukan dari kesombongan dan kemarahan” belum sempat aku tanyakan makna ucapan Ghasa kak Bram dan Divo sudah menghapiri kami dengan membawa komik.
Waktu berlalu bagai hantu dalam gelapnya malam, aku mengenang kata-kata Ghasa dan pertanyaan Divo. Apa benar aku mencintai Ghasa? Tidak aku hanya terlalu menyayanginya sama seperti sayangku sama Divo tidak ada yang lebih.
Hari berganti hari Emil terlihat murung “Emil kamu kenapa?” dia mengeluarkan saputangan dan mengusap airmatanya yang tak lagi terbendung,
“aku putus sama  Ghasa dia pendekatan sama Putri temanku” Emil memelukku tetesan airmatanya membasahi baju hitamku
“sabar Mil, lagi pula kamu terlalu baik untuk Ghasa” Emil melepas melukannya dan memandangku dengan mata yang berkaca-kaca
“Ra aku tahu Ghasa playboy, aku juga tidak menyalahkanmu kenapa kamu tidak jujur padaku, dia sahabatmu pasti kamu tidak ingin dia terlahat jelek dimataku, tapi aku tidak keberatan diduakan Ghasa karena aku yakin cintaku lebih tulus dari semua pacar Ghasa” aku terharu mendengar ucapan Emil
“maafkan aku Mil aku telah menyembunyikan Ghasa yang sebenarnya” aku memeluknya terdengar Emil berkata dalam isak tangisnya “kamu tidak salah Ra”

Dimalam gelap tanpa bintang kunang-kunang berkedip dalam kelam menyinari udara hitam, sang purnama engan menampakkan wajahnya hingga bumi terasa gelap dan sepi yang terdenagar hanya suara binatang malam.
Selesai jamaah isyak bersama ayah dan ibu aku membuka album fotoku terlihat foto-foto bersama Ghasa dan Divo yang masih berwajah polos. Anganku kembali kemasa dimana Ghasa masih suka bermain dengan mobil-mobilannya, sedanga aku dan Divo lebih suka bermain sekolah-sekolahan. Tiba-tiba terdengar suara ayah
“Ra ditunggu Divo dan Ghasa diluar, katanya mau keluar sama kamu”
“sebentar ayah, Rara ganti baju dulu” aku keluar kamar dan terlihat Ghasa tak sabar menunggu dia memukul angin kosong, setelah berpamitan aku naik motor Ghas. Cahaya lampu jalanan membuat terang walau tanpa dewi malam, Divo dibelakangku sambil sesekali mengodaku dengan mengarahkan motornya kesampingku. Kami turun ditaman kota dan aku tak sabar bicara tentang Emil.
“Ghasa kamuputus dengan Emil?” tanyaku
“kok tidak cerita?” tanya Divo
“ya, aku putus belum sempat cerita ini baru aku mau cerita” jawab Ghasa
“kanapa kamu jadi begini? Mau kamu apa? Lina, Santi, Norma, Elly, bahkan kamu tega sama Emil dan mendekati Putri teman Emil dia korban selanjutnya?” aku tak tahan lagi menahan airmata
“sudahlah Ra jangan menangis sekarang kita dengar alasan Ghasa melakukan semua itu” ucap Divo dengan bijaksana
“Ra kamu terlalu sombong untuk berkata cinta. Aku tahu aku dan kamu punya perasaan yang sama perasaan lebih dari rasa persahabatan, aku memilih cara ini untuk melihat perasaanmu padaku” aku tak mengerti yang diucapkan Ghasa “aku ingin kamu tahu aku mencintaimu lebih dari sahabat dan aku yakin kamu juga punya perasaan yang sama kan?” tambah Ghasa
“tidak. Tidak Sa, aku tidak bisa” aku melepas genggaman Divo dan berlari secepat mungkin, terdengar Divo dan Ghasa memnggilku sambil mengejarku namun tak lagi kuhiraukan, aku tak melihat kanan kiri jalan ketika tiba-tiba sebuah bus siap menabrak tubuh mungilku tak dapat lagi kumenghindar, seketika sebuah tangan mendorongku membuat aku tersungkur dan sekaligus selamat dari bus.
“GHASA!!!!!!!!!!” teriak Divo, kulihat darah segar mengalir dari luka dikepala Ghasa. Aku dan Divo memeluk erat tubuh Ghasa yang kini tak berdaya. Ambulnce membawa kerumah sakit.
Tinggallah satu nama tiada tempat untuk bercerita sahabat tersayangku meninggalkan dunia ini, aku dan Divo menaburi bunga mawar diatas gundukan tanah yang terlihat masih segar dan didalamnya terbaring seoarang pemuda yang tampan, sambil teriring doa semoga Allah menerima Ghasa disisi-Nya.kita, “Ra dalam kehidupan pasti ada noktah mengakhiri sebuah perjalanan semoga Alla mencantumkan kenangan terindah di hati kita” aku menatap wajah Divo dan memeluknya bersama airmata
“tapi aku tak ingin noktah seperti ini Vo, semua ini salahku Vo”
“tiada yang salah Ra, semua sudah suratan takdir dari Allah”
Aku dan Divo meninggalkan peristirahatan terakhir ghasa dengan sejuta kenangan indah tentangnya yang tak dapat ikut terkubur bersama jasad Ghasa, beristirahatlah dengan tenang sahabat kami akan menyayangimu sampai ajal menjemput kami.




***************************NOKTAH PERSAHABATAN*****************************

TUBAN, FEBRUARI 2006
By: Titin Supriatin

Jumat, 15 Oktober 2010

Ucapan Terimakasih

Tak dapat ku ucapkan
Ungkapan yang mewakili
Ucapan terimakasihku
Untuk dirimu
ah binggung jadinya mau berpuisi, jadi biasa aja ya,,,
terimaksib ya Aa' udah mau berbagi ilmu membuat blog....